Haii prend🖤
kalian dari provinsi/daerah mana nih??
aku sulawesii, ada yg sama gak??
Ghadira membuka pintu rumahnya dengan sangat pelan, sebab jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Ghadira takut jika Mamanya-Fia marah besar karna tau dirinya pulang malam.
Selesai kakinya diobati oleh Sandy, laki-laki itu meminta tolong pada Ghadira untuk mengerjakan tugasnya. Meskipun Ghadira masih kelas 2 SMA, pengetahuannya sudah jauh lebih tinggi dari siswi pada umumnya.
Maka dari itu Sandy sering kali menyuruh Ghadira untuk mengajarinya materi yang belum ia pahami.
Jantung Ghadira serasa berhenti berdegup ketika lampu ruang tamu tiba-tiba menyala. Dengan ragu ia menoleh ke arah dimana saklar lampu terletak.
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Fia menatap tajam kearah putrinya, sembari bersedekap dada .
Ghadira menelan ludahnya susah payah, sambil menggigit bibir bawahnya karna gugup. "Lauri, habis kerja kelompok di rumah Mauren, Ma."
"Jangan bohong kamu! Tadi Mama telfon Mauren, dan dia bilang dia lagi gak sama kamu!"
Ghadira terdiam, ia tidak tau ingin menjawab apa sekarang.
"Kamu habis ketemu pacar kamu itu kan?!"
"Jawab, Mama! Jangan diem aja!"
"Lauri, minta maaf. Tadi Lauri cuma bantuin kak Sandy kerja tugas, itu doang kok." Ghadira menunduk, takut melihat wajah Fia yang sudah memerah karna marah.
"Kamu ini masih sekolah! Kamu harusnya fokus belajar, bukan pacar-pacaran! Kamu kira bayar uang sekolah itu pake daun?! Enggak! Mama harus kerja banting tulang buat ngebiayain kehidupan kamu sama adik kamu!"
"T-tapi, Kak Sandy itu bukan pacar aku, Ma."
"Jangan ngelak kamu!"
Fia menghela nafasnya kasar, ia memijit pelipisnya yang sedikit pusing. "Kamu masuk kamar sekarang! Dan jangan harap Mama bakal kasih kamu uang jajan besok!"
Dengan perasaan kesal, Ghadira pun masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan memutuskan untuk mengganti seragam sekolahnya. Selesai berganti pakaian, Ghadira menggerakkan kursi rodanya itu ke arah meja belajarnya.
Ketika kecelakaan yang dialami Ghadira beberapa tahun yang lalu, Bagas dan Fia sering kali bertengkar dan akhirnya memutuskan untuk berpisah. Waktu itu umur Ghadira sudah memasuki 14 tahun. Ghadira dan adiknya-Lira memutuskan untuk tinggal bersama Fia.
Sejak Bagas menikah dan memiliki keluarga baru, pria itu sudah sangat jarang mengunjungi kedua putrinya. Tentu saja hal tersebut membuat Ghadira dan Lira sedih, sekaligus merindukan Papa-nya.
Ghadira memejamkan matanya, dan menarik napasnya dalam-dalam. "Kenapa keluargaku berbeda?"
"Coba aja aku dikasih satu permintaan, aku bakal minta supaya keluargaku bisa kayak dulu lagi. Ada Mama, Papa dan adik dirumah ini. Kita tinggal se atap, gak beda atap lagi. Kita berempat makan di satu meja yang sama, gak kayak sekarang cuma bertiga. Kita saling bercanda, bukannya saling berdebat hanya karna masalah ekonomi."
"Tuhan ... aku memang anak pertama, tapi bukan berarti aku sekuat itu. Aku juga capek jika terus-terusan dituntut untuk bisa mandiri. Aku lemah. Aku lemah kalo soal keluarga."
(◕ᴥ◕)
Kata demi kata mulai Ghazwan ketik dari keyboard laptop miliknya. Selesai makan malam dan mengerjakan tugas sekolah, ia segera melanjutkan kembali novel yang saat ini sedang berada ditahap revisi.

Bulan depan novel dengan judul The Plot Of A Novel akan segera terbit. Tentu saja itu membuat Ghazwan semakin semangat untuk menciptakan lebih banyak karya lagi.
Berbicara soal karya, dulu laki-laki itu pernah diremehkan oleh teman-teman dan bahkan keluarganya sendiri. Mereka berkata, menulis hanya akan membuang-buang waktu saja.
Belum tentu apa yang kamu tulis, orang-orang menyukainya. Memang ada yang minat membaca cerita yang kamu buat? Penulisannya saja salah, bagaimana ada yang suka.
Itu ucapan mereka.
Kata-kata itu sempat membuat semangat Ghazwan pupus. Namun, segera ia tepis. Ghazwan lebih memilih menutup telinga, dan kembali melanjutkan hobinya, dari pada mendengar ucapan mereka yang hanya akan membuatnya putus asa.
Lebih berguna lagi jika ia semakin mengembangkan hobinya, daripada harus mendengarkan perkataan orang-orang yang hanya akan membuatnya down.
Lagipula mereka hanya akan melihat hasil tanpa proses.
Jadi, jangan pernah menyerah untuk terus berkarya. Tak apa tulisanmu tidak banyak yang baca, karna semuanya itu dimulai dari bawah.
(◕ᴥ◕)
Pukul 6 lewat, Ghazwan sudah selesai bersiap-siap untuk ke sekolah. Seusai memakai seragam, ia berinisiatif untuk membantu Oma-nya yang tengah menyiapkan sarapan pagi di dapur.
Semenjak orang tua Ghazwan tiada, ia memutuskan untuk tinggal bersama Oma di Jakarta. Wanita tua yang umurnya kini sudah memasuki 58 tahun itu menatap Ghazwan dengan tersenyum.
"Kamu mau sarapan apa hari ini? Nasi goreng atau roti?" tanya Oma Karin kepada Ghazwan.
Laki-laki itu berfikir sesaat, lalu melangkah mendekati Oma-nya. "Ghazwan, mau sarapan roti aja."
Karin mengangguk paham. "Yasudah, kamu tunggu aja dulu. Biar Oma bikinin."
"Biar Ghazwan bantu."
"Tidak usah, lebih baik kamu duduk saja. Oh ya, gimana sekolah barunya? Bagus kan?"
"Bagus, Oma. Murid-muridnya juga ramah semua."
Oma mengulas senyum lebarnya. Ia mulai mengolesi roti tersebut dengan selai kacang kesukaan Ghazwan. "Nah, rotinya udah jadi. Sekarang makan ya."
"Makasih, Oma," ucap Ghazwan, lalu menikmati roti buatan Karin.
Ditengah-tengah kunyahannya, Karin menatap Ghazwan dengan tatapan sendu. Kening laki-laki itu berkerut melihat ekspresi wanita tua di hadapannya. "Kenapa, Oma?"
"Oma, kangen sama Papa kamu. Minggu depan kita ke kuburan orang tua kamu ya," katanya, dengan kedua mata Oma yang mulai berkaca-kaca.
(◕ᴥ◕)
Ghadira tiba di sekolah dengan diantar oleh Sandy menggunakan mobil yang dinaikinya kemarin. Sandy yang tau bahwa Fia tidak menyukai anaknya berdekatan dengannya pun menyuruh Ghadira menunggu di perempatan jalan.
Entah kenapa Sandy tak ada kapok-kapoknya diceramahi oleh Fia agar tidak mendekati Ghadira lagi. Semakin Fia melarangnya, semakin besar pula rasa pedulinya pada Ghadira. Sandy sendiri tidak tau dengan perasaannya itu.
Semuanya dimulai ketika 2 tahun yang lalu.
Sandy terus berlari dengan sempoyongan, agar dirinya bisa kabur dari para preman yang tengah mengejarnya. Wajah laki-laki itu sudah dipenuhi lebam akibat bogeman yang diberikan preman tersebut.
Dari arah berlawanan ia tak sengaja menabrak seorang perempuan yang membuatnya tersungkur ke belakang. Sandy menggeram marah, ia menatap tajam ke arah perempuan tersebut.
"Kalo jalan liat-liat!" bentak Sandy, lalu tak lama ia terdiam kala melihat perempuan dihadapannya itu memakai kursi roda.
"M-maaf, Kak. Tapi kan-"
"Woi, berhenti!" teriak preman yang semakin mendekat ke arah mereka.
Sandy membelalakkan matanya lebar, ia kemudian mencari tempat persembunyian agar bisa terlepas dari kejaran para preman.
"Kalo Preman itu nanya gue dimana, lo bilang aja gak tau. Awas aja kalo lo ngomong!"
Ghadira yang ketakutan pun hanya mengangguk ragu. Ia menelan ludahnya cepat, lalu berlagak seolah-olah tidak tau apa-apa ketika preman itu menghampirinya.
"Woi, Cil! Bocah yang tadi lari kemana?" tanya Preman dengan badan yang buncit dan rambutnya yang agak keriting.
Ghadira tersentak kaget, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eum, bocah yang mana ya?"
"Yang tadi nabrak lo! Cepet ngomong! Atau gak-"
"Dia lari kesana!" potong Ghadira, karna takut jika para preman tersebut berbuat macam-macam padanya.
"Gak bohong kan?" tanya Preman itu semakin melototkan matanya.
"Enggak! Dia lari ke sana tadi!" sahut Ghadira, meyakinkan.
Kedua preman itu pun meninggalkan Ghadira, dan berlari ke arah yang ditunjuk oleh Ghadira tadi. Sandy menghela napasnya lega, ketika melihat preman tersebut sudah pergi. Ia segera menghampiri perempuan yang sudah membantunya itu.
"Thanks, udah bantuin gue," ucap Sandy sambil menatap Ghadira dari atas hingga bawah.
Ghadira tersenyum, lalu mengangguk. "Sama-sama, Kak. Yaudah, kalo gitu aku pergi ya. Permisi."
"Eh, tunggu-tunggu," ujar Sandy, seraya menahan kursi roda milik perempuan itu.
Kening Ghadira berkerut. "Apa lagi, Kak?"
Sandy mengusap keningnya yang berkeringat itu. "Nama lo siapa?"
"Aku Lauri, kak."
Sandy membulatkan mulutnya. "Oh ... terus sekarang lo mau kemana?"
"Mau pulang. Memangnya ada apa ya, Kak?"
Sandy belum menjawab, ia berjalan ke arah belakang Lauri dan memegang kursi roda perempuan berseragam SMA itu. "Biar gue anterin kalo gitu."
"Eh, gak usah, Kak. Aku bisa pulang sendiri kok," jawabnya, tak enak.
Sandy tak menggubrisnya, ia mendorong kursi roda Ghadira dengan perlahan-lahan. "Rumah lo dimana?"
Ghadira menoleh ke arah laki-laki itu sekilas, lalu kembali menatap jalan di depan. "Di dekat perempatan sana, Kak."
Sandy mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Lo setiap hari ke sekolahnya kayak gini?"
Ghadira terdiam sesaat, lalu kemudian mengangguk.
"Lo gak capek?" tanyanya, lagi.
Ghadira tersenyum tipis, dan menghela napasnya pelan. "Capek sih, Kak. Tapi, mau gimana lagi. Kalo gak kayak gini, nanti gak bisa sekolah kayak anak-anak yang lain."
Sandy berdehem singkat. "Kenapa gak pesen taksi? Kan gampang."
"Uang jajan aja kurang, Kak. Gimana caranya mau pesen taksi."
"Lo sekolah dimana emang?"
"Di SMA Sanjaya, Kak."
Sandy berfikir sejenak. "Yang deket taman itu?"
Ghadira menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak."
"Lo kelas berapa?" Pertanyaan Sandy membuat Ghadira bingung.
Sandy yang melihat raut wajah Ghadira pun langsung berdecak kesal. "Udah, jawab aja."
"Aku kelas, 10 MIA 3."
Saat pertemuan tak sengaja itu terjadi, keduanya semakin dekat. Itu dikarenakan, Sandy yang selalu saja tiba-tiba datang untuk menjemput Ghadira di sekolah tanpa sepengetahuannya.
Awalnya Ghadira menyuruh Sandy untuk berhenti menjemputnya, tapi laki-laki itu tetap kekeuh. Ia beralasan bahwa dirinya ingin berbalas budi pada Ghadira karna sudah menolongnya.
"Nyokap, tau kalo lo pulang malam semalam?" tanya Sandy ketika selesai menurunkan Ghadira ke kursi roda miliknya.
Ghadira hanya mengangguk lesu. Tadi pagi ia belum sarapan, dan Fia juga tidak memberikannya uang jajan.
"Trus, lo dimarahin?"
Lagi-lagi Ghadira mengangguk, membuat Sandy berdecak marah.
"Ngomong, jangan cuma ngangguk-ngangguk doang. Gak punya mulut lo?"
Ghadira mendengus kesal mendengar ucapan Sandy, ia memutar bola matanya malas. "Iya, aku diomelin sama Mama. Trus juga, Mama gak ngasih aku uang jajan hari ini."
Sandy hanya geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan Mama Ghadira itu. Bisa-bisanya ia tidak memberikan uang jajan pada anaknya sendiri, padahal keadaan Ghadira saja sudah sangat sulit.
Jika tidak ada Sandy, mungkin saja Ghadira sudah harus bersusah payah ke sekolah dengan kursi rodanya itu. Sandy kemudian merogoh kantong celananya, dan mengeluarkan selembar uang berwarna biru pada Ghadira.
Ghadira mengangkat sebelah alisnya. "Buat apa, Kak?"
Sandy meraih tangan Ghadira dan meletakkan uang tersebut pada telapak tangan perempuan itu. "Ini uang jajan buat lo."
"Gak usah, Kak. Lagian, kak Sandy udah baik mau nganterin aku ke sekolah."
"Udah, ambil aja. Anggap, ini sebagai tanda minta maaf gue karna udah nyuruh lo bantuin gue ngerjain tugas sampe malem."
Ghadira menatap uang yang diberikan oleh Sandy. "Ini kebanyakan, Kak. Sepuluh ribu aja, cukup kok."
Sandy menutup pintu mobilnya dan mendorong kursi roda Ghadira menuju gerbang sekolah. "Ambil aja, jangan banyak bacot."
"Yaudah, kalo gitu gue pergi ya. Lo belajar yang bener, jangan ngapelin guru penjas mulu," ucapnya, sambil terkekeh geli.
Ghadira mencebikkan bibirnya kesal. "Ih, mana ada! Kakak tuh yang suka ngapelin ibu penjual sayur deket rumah aku."
Sandy menatap tajam Ghadira. "Apa lo bilang?"
"Heheh, enggak-enggak."
Sandy menepuk pelan kepala Ghadira, lalu tersenyum. "Yaudah, masuk gih. Gue juga mau ke kampus habis ini."
Setelah itu Sandy masuk ke dalam mobilnya, dan membuka sedikit kaca mobil tersebut agar bisa melihat Ghadira yang tengah melambaikan tangan padanya.
"Hati-hati, Kak."
Ghadira menatap mobil Sandy yang kian menjauh dari penglihatannya. Ia pun segera masuk ke kelas sebelum bel berbunyi.
Setibanya di kelas, terlihat sudah ada beberapa siswi yang datang. Ghadira merasa sedikit aneh, sebab teman sekelasnya menatapnya sambil berbisik.
Ghadira tak menggubris bisikan-bisikan itu, ia memilih untuk pergi ke arah mejanya. Ghadira membelalakkan matanya lebar, kala melihat mejanya sudah penuh dengan sampah-sampah kertas.
"Ups, Mega lo buang dimana tadi sampahnya?" tanya Dara sambil memasang wajah terkejut.
Mega menatap Ghadira yang tengah menatapnya. "Ya ampun, gue kira itu tempat sampah. Ternyata, itu meja lo, Lauri? Sorry, ya."
Ghadira mengepalkan kedua tangannya, ia memejamkan mata sambil terus berucap kata sabar dalam hati.
Sedangkan satu temannya lagi yang bernama Wanda, perempuan itu hanya diam sambil bersedekap dada.
"Maafin temen gue ya, Lau. Temen gue ... sengaja emang hh."
Dara dan Mega tertawa, mereka kemudian meninggalkan Ghadira yang hanya diam dan meratapi nasib.
Wanda yang melihat itu pun hanya menghembuskan napasnya kasar. Ia tak habis pikir dengan kelakuan kedua temannya itu.
"Nih," ucap Wanda, sambil menyerahkan tempat sampah pada Ghadira. "Lo yang sabar aja. Dara orangnya emang gitu," sambungnya, lalu membantu Ghadira memunguti kertas-kertas tersebut.
Ghadira tau, dari mereka bertiga hanya Wanda saja yang masih mempunyai rasa empati. Perempuan yang terlihat galak di luar itu, ternyata juga memiliki sisi baik.
Ini bukan kali pertamanya Wanda membantu Ghadira. Wanda sering kali menolong Ghadira secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Dara.
Setelah semuanya selesai dipungut, Ghadira tersenyum pada Wanda. "Makasih," ucapnya.
Wanda hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan Ghadira untuk menyusul kedua temannya yang pergi entah kemana.
To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments