Aghazwan Caesar Anggara. Orang sekitar kerap memanggilnya dengan sebutan, Ghazwan. Laki-laki kelahiran, 14 februari 2004 ini sekarang sudah berada di bangku kelas 3 menengah atas. Jika ditanya tentang apa hobinya, tentu saja ia akan menjawab membaca dan menulis. Entah itu novel, cerpen, bahkan puisi.
Pagi ini adalah hari pertama Ghazwan masuk ke sekolah barunya. Ghazwan anak pindahan dari Bandung dan sekarang memilih menetap di Jakarta bersama Oma-nya.
Dengan langkah kakinya yang lebar, laki-laki itu terus menatap setiap pintu kelas yang ia lalui. Ghazwan diperintahkan oleh kepala sekolah untuk masuk ke kelas XII MIPA 1. Hal tersebut membuat Ghazwan lega, sebab ia akan sekelas dengan sepupunya.
Setelah mendapat apa yang dicari, Ghazwan mengetuk pintu terlebih dahulu dan membukanya pelan. Ia tersenyum ramah pada guru yang tengah mengajar itu.
Bu guru menatap Ghazwan dari atas hingga bawah. "Kamu murid baru?"
Ghazwan mengangguk mantap. "Iya, Bu."
"Yasudah, silahkan perkenalkan diri pada teman-teman kelasmu." Guru dengan postur tubuh yang sedikit melebar itu kemudian mengisyaratkan Ghazwan untuk berdiri di depan papan tulis.
Ghazwan menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Perkenalkan gue Aghazwan Caesar Anggara, kalian bisa panggil gue Ghazwan. Gue murid pindahan dari salah satu SMA yang ada di kota Bandung."
Ghazwan menoleh kearah Ibu guru yang sedari tadi ikut memperhatikan seperti teman-temannya. "Sudah, Bu."
"Ehm, baiklah. Ghazwan, sekarang kamu duduk di samping, Sabina."
"Sabina, tolong angkat tanganmu," perintah Bu guru, dan tak lama seorang perempuan yang duduk di bangku ketiga paling depan bagian kiri mengangkat tangannya.
Ghazwan berjalan kearah perempuan tersebut. Ia mulai mengeluarkan satu persatu bukunya, bersiap untuk memulai pelajaran.
"Hai, kenalin gue, Sabina," sapa perempuan itu dengan tersenyum manis.
Ghazwan menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan manggut-manggut. "Ghazwan."
Sabina membulatkan mulutnya beroh-ia. "Lo kenapa pindah di sekolah ini?"
Ghazwan mengacuhkan kedua bahunya. "Gue rasa lo gak perlu tau. Dan lebih baik kita fokus belajar sekarang."
Ucapan Ghazwan tentu membuat seorang Sabina mendengus kesal. Pasalnya ini kali pertama bagi Sabina diberlakukan secuek ini pada laki-laki. Sabina pun kembali menatap Bu guru yang mulai berkomat-kamit di depan.
(◕ᴥ◕)
Suara bel istirahat terdengar begitu menggema ditelinga Ghazwan. Selesai dari kantin dan mengisi perut, Ghazwan memilih menghabiskan sisa waktu istirahatnya dengan membaca buku di perpustakaan.
Ghazwan mulai berjalan mengelilingi rak buku. Kali ini ia ingin membaca buku sosiologi agar pengetahuannya semakin luas. Setelah menemukan buku tersebut, Ghazwan pun mulai mencari tempat duduk yang tidak ramai murid, supaya ia bisa membaca dengan tenang.
Ghazwan memilih duduk di belakang rak khusus buku fiksi. Kata demi kata mulai ia ucapkan dari dalam hati agar tidak menggangu pengunjung yang lain.
"Aduh, gimana ngambilnya ya?"
"Tinggi banget lagi."
Samar-samar Ghazwan mendengar suara seorang perempuan dari balik rak buku. Karna penasaran, ia pun mendekat ke sumber suara tersebut.
"Butuh bantuan?" ucap Ghazwan membuat siswi itu terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Ghazwan melirik papan nama yang terletak dibaju perempuan tersebut. "Ghadira Laurika Anggiana."
"Ehm, emang boleh?" tanyanya, ragu-ragu.
Kedua bahu Ghazwan terangkat ke atas. "Kenapa enggak."
"Sini, gue bantu ambilin. Buku yang mana?" Ghazwan bertanya, sebab dirak itu ada banyak sekali buku.
Siswi dengan bulu matanya yang lentik itu menunjuk kearah kiri. "Itu kak, sampul bukunya yang warna merah."
Ghazwan meraihnya, lalu membolak-balikkan buku yang kini dipegangnya. "Lo suka baca buku ini?"
"Iya, soalnya cerita yang dibuku itu alurnya bagus. Aku juga suka sama karakter tokoh utamanya."
Ghazwan tersenyum singkat, lalu menyerahkan buku tersebut pada perempuan dihadapannya. "Ini. Jaga bukunya baik-baik, jangan sampai rusak."
"Btw, kita belum kenalan," ucapnya lalu mengulurkan tangan. "Ghazwan, anak kelas 12 MIPA 1."
"Aku Lauri, Kak. Dari kelas 11 MIPA 3," sahut Lauri dengan jantungnya yang berdegup kencang.
Ghazwan merasa sedikit iba dengan keadaan Lauri. Perempuan itu hanya bisa duduk dikursi roda, dan tak dapat merasakan berjalan bebas seperti siswa siswi yang lainnya.
Lauri mempunyai dua lesung pipi, hingga terlihat manis jika sedang tersenyum. Rambut yang dikepang satu dan bando berwarna biru muda yang terletak di kepala. Poni yang hampir menutupi matanya, membuat Lauri tampak lucu dimata Ghazwan.
"Kalo gitu aku pergi dulu ya, Kak. Makasih udah bantu ambilin bukunya," ucap Lauri dan bersiap menggerakkan kursi rodanya.
"Eh, bentar," cegah Ghazwan menahan Lauri untuk tidak pergi.
"Kenapa, Kak?"
"Aku boleh minta Instagram lo? Atau gak nomor WhatsApp, juga boleh," kata Ghazwan dengan nada pelan.
Kening Lauri berkerut heran. "Buat apa, Kak?"
Ghazwan tertawa ringan, ia mencoba mengusir rasa gugupnya. "Oh ini, buat nambah-nambah kontak aja. Lagipula kan gue juga murid baru di sini, jadi butuh temen banyak."
"Ohh gitu," gumam Lauri. Ia kemudian merogoh saku bajunya dan mengambil hp. "Ini, Kak."
Dengan antusias Ghazwan pun mencatat nomor Lauri dari dihpnya. Entah kenapa ia ingin mengenal Lauri lebih jauh lagi. Dan jika diperhatikan, Lauri adalah anak yang baik, manis, dan memiliki hobi yang sama seperti Ghazwan. .
"Nanti kalo aku butuh rekomendasi novel yang bagus, gue kabarin ya," ujar Ghazwan dan Lauri hanya mengangguk mengiyakan.
"Ehm, Ghadira."
Lagi-lagi kening Lauri berkerut. "Ghadira?"
"Gue panggil lo, Ghadira aja ya."
"Kenapa gitu?"
"Biar samaan. Gue kan Ghazwan, nah lo Ghadira."
Ghadira menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Kedua pipi perempuan itu memerah, menahan diri untuk tidak salah tingkah.
"Yaudah, kalo gitu aku permisi ya, kak. Sekali lagi makasih." Ghadira pergi meninggalkan Ghazwan yang kini hanya diam, dan menatap punggung perempuan itu yang kian menjauh.
(◕ᴥ◕)
Ghadira terus memutar roda besar pada kursi rodanya itu dengan cepat menuju gerbang sekolah. Hari ini Ghadira dijemput oleh Sandy, dan ia tak ingin laki-laki itu menunggu lama.
Semua siswa siswi SMA Sanjaya kini mulai mengeluarkan kendaraan mereka masing-masing dan segera meninggalkan area sekolah. Namun, tak banyak juga dari mereka yang menempuhnya hanya dengan berjalan kaki.
Ghadira membuka pintu mobil yang terparkir tepat di depan gerbang sekolah, dan tak lama Sandy turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya.
Selesai mengangkat tubuh Ghadira agar duduk di jok mobil, Sandy beralih pada kursi roda milik perempuan itu dan memasukkannya ke bagasi.
"Lama banget, habis ngapain sih?" Laki-laki yang berada di hadapannya kini menatap tajam Ghadira.
Keduanya sudah saling kenal sejak Ghadira masih kelas 1 SMA, dan sampai sekarang Ghadira sendiri bingung dengan status mereka ini apa. Jika dibilang pacar, tidak juga. Sebab, Sandy tak pernah menyatakan perasaannya dengan Ghadira. Tapi kalau hanya sebatas teman, entah kenapa laki-laki itu selalu memberikan perhatian lebih pada Ghadira.
Mulai dari mengingatkan Ghadira agar tidak lupa meminum obat, menemani Ghadira ke rumah sakit, selalu ada saat Ghadira sedang kesusahan, dan terakhir, Sandy selalu mengantar jemputnya ke sekolah.
Bukan apa-apa, Ghadira hanya takut jika menaruh harapan lebih dalam lagi pada Sandy. Lagipula ia juga sadar diri, sangat tak mungkin jika Sandy memiliki perasaan padanya.
"Gue tanya, malah diem. Lo habis ngapain, Lauri?" Suara Sandy berubah lembut, membuat Ghadira gugup.
"Ehm, tadi ke ruang guru dulu, Kak. Makanya lama," jawabnya, pelan.
"Ngapain ke ruang guru? Ada masalah?" Sandy kembali bertanya, sebab untuk apa Lauri ke ruang guru ketika sudah jam pulang.
Ghadira menggeleng cepat. "Aku ngumpulin buku-buku teman sekelas dulu, kak. Soalnya batas pengumpulan hari ini gak boleh besok."
"Lo kan bukan ketua kelas, ngapain ngumpulin buku?" Sandy benar-benar bingung dengan Lauri. Perempuan itu pintar dalam urusan pelajaran, tapi kenapa mau saja disuruh-suruh.
"Lo yang susah-susah ngerjain tugas, mereka tinggal nyontek, dan sekarang lo juga yang ngumpulin buku mereka?"
Ghadira menyengir, lalu mengangguk.
"Dasar bego! Mau-mau aja sih lo dimanfaatin kayak gitu. Lain kali kalo temen lo nyuruh, jangan mau bego. Percuma juga kan dia punya tangan, punya kaki, tapi gak digunain. Lo tuh baik boleh, tapi jangan bego."
"Tapi, mereka bilangnya minta tolong-"
"Lo harus bisa bedain mana minta tolong dan mana dimanfaatin. Lagipula yang harusnya ditolongin itu lo, bukan mereka."
Ghadira mengangkat kepalanya sedikit tinggi. "Kenapa gitu?"
"Ya karna lo gak bisa jalan." Sontak Ghadira terdiam mendengar ucapan Sandy yang tentu saja membuatnya sedikit tersinggung. Ghadira menunduk, lalu menatap kedua kakinya yang tak ada gunanya itu.
Sandy tersadar dengan perkataannya. "Em sorry, gue gak maksud buat nyinggung lo."
Ghadira tak menggubris, ia hanya membuka pintu mobil membuat Sandy bingung.
"Mau ngapain lo?"
Dengan wajah cemberutnya, Ghadira berucap. "Aku mau pulang sendiri."
"Lo marah sama gue?"
Lagi-lagi Ghadira tak menjawab.
Sandy membuang napasnya kasar, ia kemudian menutup kembali pintu mobilnya membuat Ghadira protes.
"Kok ditutup lagi sih? Aku mau pulang sendiri aja, kak. Cepet angkat aku keluar."
Sandy menatap tajam ke arah Ghadira. "Gak! Hari ini lo pulang sama gue. Kalo lo mau pulang sendiri, coba aja keluar."
Ghadira memasang tatapan tak suka pada Sandy. Ia kembali membuka pintu mobil, membuat Sandy tersenyum remeh.
"Emang lo bisa keluar tanpa bantuan gue? Dasar keras kepala."
Ghadira mulai mengangkat tubuhnya menggunakan kedua tangan yang kini memegang jok mobil. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit pada kedua kakinya.
Sandy memutar bola matanya jengah. "Kalo lo jatuh, jangan salahin gue."
Ghadira melirik sinis ke arah laki-laki itu. "Siapa juga yang mau-awhh."
Sandy membelalakkan matanya melihat Ghadira yang sudah tersungkur jatuh ke tanah. Ia segera turun dari mobilnya dan mengangkat tubuh Ghadira agar kembali duduk.
"Awhh-sakit!"
Sandy menatap Ghadira yang tengah meringis kesakitan. Ia benar-benar khawatir, terlebih lagi ketika melihat kaki Ghadira yang lecek akibat tergores aspal.
"Ini akibatnya kalo lo keras kepala. Sakit kan? Emang enak."
Ghadira melengkungkan bibir bawahnya. Ia mengalihkan pandangannya ke samping, enggan menatap laki-laki itu.
"Sekarang kita cari tempat makan aja, biar sekalian obatin luka lo juga."
Bersambung ...
note : kalian jgn bingung ya. Ghadira sama Lauri itu orang yg sama. Ghadira Laurika Anggiana, oke.
see you🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
SAHABAT SENJA
bagus banget ceritanyaa..
2023-11-22
0