Untuk Dirimu, Diriku
Seorang remaja laki-laki, seperti umur sekitar 20 tahun memburu napas bersama luka lebar pada pelipis kepala. Darah mengalir turun, dengan muka muram dan mata redup seakan nyawa sudah lepas dari tubuh laki-laki ini tersungkur dan perlahan mengerling ke samping, menjumpai satu kereta sedang melaju kencang, ternyata dia sedang tergeletak di atas sebuah landasan kereta. Alhasil dia dilindas kereta membuat tubuhnya terpotong dua bagian.
Tubuh terkoyak-koyak darah segar memancing beberapa anjing. Biar sudah seperti tongkat patah, dia membuka mata menyenyumi para anjing liar mempertahankan kesadaran diri dan menarik diri untuk menepi setelah mendengar bunyi kereta selanjutnya. Bermodalkan kedua tangan menarik maju memaksa tubuh bagian atas supaya pindah dan menyeret hingga berhasil meminggir.
Lelaki ini menoleh belakang bagian pinggul hingga ujung kaki dihancurkan roda kereta kedua, dengan suara lemah dia berlirih, "bahkan kondisi suster ngesot lebih baik." Usai melontarkan keluhan, dia melihat ke sekeliling mengatakan, "meski di neraka sekalipun, aku bakalan rela terjun ke ujung neraka sekalipun buat mengejarmu."
Dia tetap memiliki hak atas tubuh, meski sebagian besar organ telah berhenti berfungsi termasuk jantung. Lelaki ini berusaha bernafas, tapi dia hanya bisa menggerakkan tubuh, sebatas bergerak. Tidak lama kedua mata bergilir sebelah mendapati anjing liar sedang berusaha mengunyah lengan dan dicengkeram pemuda ini sebagai bentuk pertahanan diri, sekalipun seorang mayat hidup.
Hari-hari berlalu, dia mulai kehilangan kesadaran setelah menyadari belatung mulai menggerogoti dan gagak berdatangan. Dalam momen akhir dimana jiwa tak dapat menempel pada tulang belulang, samar-samar bayangan gadis yang dicarinya bertahun-tahun muncul membuat pemuda ini melengkungkan bibir dan berupaya bergerak.
"Kematian sudah aku taklukan untukmu, hanya untuk kamu.." lelaki ini mengigit bibir yang kering, dia melihat sisi kanan dan membatin, "ah, biarpun aku sudah menghamili dan memiliki tujuh anak denganmu. Hasrat serakah dariku untukmu belum habis. Maka, dari itu ..."
Dalam penglihatan buram yang meredup, senyum si ayah menjadikan perpisahan untuk anak-anak kecil itu. Yang lagi berlarian menangis menemukan dia sudah terbelah menjadi dua dan tergeletak tanpa ada nyawa dikerumuni anjing liar, yang tidak berani memakan mayat penuh kutukan dari gairah manusia, yaitu keserakahan seorang pemuda.
"Kan kucari lagi dirimu. Lagi pula anak-anak udah mandiri mereka pasti bisa bertahan tanpaku, aku tidak memiliki penyesalan selain.. melihat jiwamu hilang dari genggam tanganku," lanjut dia membatin, selagi berusaha menyingkapkan mata berusaha mendapati tempat baru.
Suara tangis tertahan-tahan memasuki gendang telinga, seorang pria menggendong bayi dengan raut wajah sumringah dan kelegaan kecil tergantung pada ekspresi bahagianya. Dengan secuil kesadaran bayi menengok sebelah kiri, terdapat wanita tengah memburu napas, lelah dan tampak sangat lemah. Jiwa dari seorang bapak yang berada dalam tubuh ini, berteriak penuh kekesalan, tapi bagi mereka yang melihat dari luar hanya tangis bayi.
———
Sebelas tahun berlalu, Dijara tumbuh jadi anak sedikit aneh yang sangat sukar bersosialisasi dan terpaku kepada lembaran-lembaran kertas. Seringkali membisu berkurung diri, meski sesekali dipinta menghirup udara, dia benar-benar keluar menghela napas kemudian masuk lagi.
Dengan muka memelas, Dijara menatap jengkel kepada seorang pria setelah dia menendang sebuah batu dan mengatakan, "Yah, buat apa keluar di hari cerah begini?"
"Mm." Ayah tersenyum masam, membelai rambut anak dengan lembut sembari berjongkok dan menunjuk sekumpulan anak-anak bermain kemudian pamit. "Baik kalau begitu... Ayah bakal jemput kamu dua jam lagi."
"Nggak! Mereka seperti anak umur 10 tahun-an," kata Dijara menarik-narik ujung pakaian ayah, dengan muka malas anak ini pura-pura ketakutan meski terlihat jelas bahwa ia sedang berpura-pura. Ayah mengedutkan alis tersenyum anaknya mengatakan, "Jangan melihatku dengan ekspresi seolah berkata, 'kau juga anak kecil' seperti itu."
"Hahh.." ayah menghela napas, "jika begitu tunjukan apa yang kamu capai dari membaca dan menulis sepanjang malam. Ini tidak baik, kamu tau. Anak seusiamu masih bermain-main, lho kamu tak harus belajar." Ayah tampak kebingungan saat melontarkan kalimat itu, sangat amat.
Ini kota yang ramai. Pedagang kadangkala memangkal di kota ini, sebelum berkeliling ke tiap negara menjual dan membeli barang dagangan dari penjuru kota. Dijara kesal menyambut fakta, bahwa ingatannya kabur karena dia bereinkarnasi dan hanya mengingat satu hal, yaitu alasan mengapa ia berteguh hati sampai mampu menolak mati.
Dunia ini betul-betul bertentangan satu sama lain dengan bumi, yang pertamakali membuat Dijara sadar karena planet ini memiliki tiga satelit alami mengitari dan dapat bersinar pada malam hari sebab pantulan sinar matahari, setidaknya itu yang dipikirkan Dijara. Namun, buku-buku yang beredar di masyarakat mengatakan bila tiga bulan itu bersinar karena tenaga sihir memenuhi keseluruhan.
"Tuhan serta dewa, apa ayah mengenal atau memahami ungkapan itu?" Tanya Dijara, dengan ekspresi wajah seram ingin lawan bicara serius menanggapi kalimatnya.
Ketidaktahuan, jawaban itu keluar lewat alat ucap pria ini yang menggandeng tangan Dijara. Sihir menjadi perkara maupun alasan menguasai dunia. Bila bumi menganggap hal yang tidak bisa dijelaskan, disebut karena dewa. Dunia ini secara keseluruhan menganggap hal yang tidak dapat dijelaskan, ada sangkut paut maupun jadi alasan.
Satu dapat dipelajari Dijara, hanya ilmu antropologi yang tidak terlalu mengandalkan sihir dan kalau berkata manusia tidak menyembah mahkluk. Beberapa menjadi pengecualian, seperti mahkluk yang diagungkan bahkan seperti disembah tapi tidak ada agama di dunia ini, mungkin lebih tepat disebut ditakuti dan dihormati saja.
"Ah, tidak juga lho Riia. Bila melihat dari sudut pandang sihir tidak ada, penjelasan Adi beneran kuat, bahkan jikalau dipikir-pikir lagi memang seperti fakta.." gumam ibu menyimak perkataan Dijara, dengan sedikit serius mengindahkan cerita dari anak mereka tanpa curiganya.
"Bukan itu yang aku masalahkan. Bila kamu sekolah, tapi punya pemikiran seperti itu..." ayah mengigit bibir, menjeda kalimat yang dapat ditebak Dijara. Pria berumur lebih dari 30 tahun ini mengepalkan tangan, dia membisu seribu kata sebelum menarik napas seperti berupaya untuk menenangkan diri dan melanjutkan, "kamu takkan memiliki teman, lho. Itu benar-benar yang ayah takutkan."
Ekspresi itu muka seorang ayah, Dijara paham. Lagi pula dia memiliki lebih dari lima anak. Dengan helaan napas agak lemah Dijara ini meneruskan tulisan, menambahkan jawaban ibu sebagai pendapat dan dapat dipastikan kalau mereka menerimakan argumen Dijara sebagai satu hal pemikiran baru. Bahkan mencerna lebih dalam lagi.
Sihir ada untuk menjelaskan apa yang tak dipahami oleh manusia, sebelum berhasil memahami. Namun, bagi Dijara perkara ini cukup menjadi masalah besar di masa yang akan datang, karena dia tidak memiliki kapasitas dari energi sihir. Ungkapan sihir seperti tidak terlalu asing baginya, mungkin dia mempunyai hal ajaib semacam itu sewaktu sebelum tewas, pikir Dijara. Mengingat-ingat lagi kehidupan dia sebelum lahir kembali, itu tidak aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Zahira
unik menarik alur ceritanya, tolong share ig, fb, tiktok biar lebih booming
2023-12-02
2
Bewuwang
nolep hhaha
2023-12-01
1