Hopeless Reincarnation
Saat masih muda, Aram pikir kehidupannya akan punya alur indah dan bahagia. Layaknya kisah-kisah romantis dari cerita-cerita picisan yang disenanginya dulu. Pekerjaan yang stabil, kehidupan berkecukupan, atau, menikah muda sebelum usia 22 dengan anak kembar yang imut. Tapi, takdir mudah saja menertawakan itu.
Nyatanya, diusia yang sudah menginjak tiga puluhan, pekerjaan Aram hanya jadi “budak” di perusahaan kecil pinggiran ibukota. Gaji pas-pasan bahkan membuatnya harus kerja lembur di malam Minggu. Lalu, saat seharusnya Aram pulang ke kosan dengan tenang, ia justru menanggung omelan ibunya di telpon.
“Coba foto yang cantik gitu, lho, Ram. Senyum biar kelihatan ramah. Mama, kan, juga bingung ngasih liat ke orang yang mau kenal sama kamu kalau mukamu serem awur-awuran kaya gitu.”
“Lho, bukannya bagus begitu, Ma? Biar mereka lihatnya hati Aram aja, gausah mandang fisik. Apalagi muka Aram yang emang RBF*.”
*resting bi*** face (RBF) mengistirahatkan wajah namun dengan ekspresi yang secara tidak sengaja menimbulkan kesan marah, kesal, atau menghina.
“Rbeef erbeef apalagi istilah kamu itu, aneh-aneh. Dicariin jodoh, kok, ogah-ogan terus. Adek aja minggu depan lamaran, lho.” Aram mengerucutkan bibir, sudah tahu arah pembicaran ini akan ke mana.
“Iya, Ma. Aram masih di perjalanan ke kos. Aram tutup telponnya, ya.”
“Pokoknya kamu jangan lupa pulang ke rumah, ya. Mama kecewa kalau kamu lagi-lagi ga menghargai acara keluarga.”
‘Klik.’
Aram mematikan panggilan itu dengan menghela napas. Perjalanan menuju kosan yang harusnya hanya lima belas menit akhirnya terhenti cukup lama di tempat duduk pinggiran jalan.
Entah kenapa percakapan tadi membuat pikiran jenuh Aram malas melangkahkan kaki untuk pulang. Aram mencoba mencari penghiburan di media sosial.
Sebuah story baru dari teman masa kuliahnya muncul dengan unggahan fotonya dengan gambar make-up acak-acakan, Aram membaca caption “Bridal shower with my cupids”.
Aram bingung, seingatnya acara bridal shower temannya itu diadakan besok malam. Dia ingat karena juga mendapatkan undangannya. Dengan ragu, Aram menelpon nomor temannya.
“Aramm, I’m so so sorry!!” Suara teman Aram dari ujung telepon terdengar tampak sedih yang dipaksakan. “Temen kita yang lain ternyata banyak bisanya hari ini. And u said, busy till late night kalau hari Sabtu, kan? Aku ga enak bilang ke kamu kalau acaranya di reschedule.”
Aram paham, dia tak pernah dianggap di pertemanan itu. “Gapapa kok, aku mau ngabarin kalau besok aku juga gabisa dateng. Ternyata acaramu sudah hari ini, so, it’s okay.”
Aram bohong, dia bahkan sudah menyiapkan kado untuk temannya itu. Tapi, temannya justru memposting acara, yang katanya, dadakan itu di media sosial.
“Okay, Aram. Padahal kamu yang ngejodohin aku sama Brian, I’m still sad you can’t come. Nanti aku rencanain traktiran khusus buatmu, deh.” Aram mengiyakan dengan setengah hati. Paling hanya rencana basa-basi.
Telpon itu ditutup setelah Aram mendengarkan satu per satu ucapan sedih dari teman-temannya yang lain. Aram tahu mereka tidak sepenuhnya jujur, tapi, dia sudah terlanjur kecewa dan hanya memaklumi sedih pura-pura itu agar tak memperkeruh suasana.
Unggahan yang beberapa menit lalu dilihatnya juga sudah terhapus. Mungkin hanya itu satu-satunya sikap sungkan yang bisa dia lihat dari teman-temannya. Meskipun, Aram ragu jika sekarang tetap menyebut mereka sebagai temannya.
Tak ingin melankolis, Aram melanjutkan melihat postingan lain. Kali ini postingan video dari salah satu ‘teman kerja’ yang, usianya lebih muda tapi jabatannya lebih tinggi, sedang melakukan pesta penyambutan karyawan baru di kantornya. Aram kembali tertawa miris.
Sepertinya, bukan hanya membuat kesal ibunya karena jomlo sampai usia tiga puluh, Aram ternyata juga punya kemampuan tidak terlihat di lingkaran kehidupannya yang sekarang.
Jengah. Aram akhirnya mematikan handphone, namun, pantulan layarnya justru memperlihatkan wajah tak terawat Aram. Kacamata usang menyembunyikan warna matanya, sementara rambut Aram yang dikuncir asal itu mencuat, tak pernah punya model selain segi empat sebahu.
Aram memperhatikan kulitnya yang semula kuning langsat kini mengusam, baju kerjanyapun sudah tiga tahun tak pernah berganti mode baru. Aram menengadahkan wajahnya, dan tertawa. Tawa keras setengah frustasi.
“HA-HA. Takdir goblok!!!
Aram melemparkan makian ke udara kosong. Jalan tengah malam yang sepi membuatnya bisa berteriak sepuasnya. Lagipula, tidak ada yang peduli pada perempuan usia tiga puluhan. Apalagi dengan tubuh tak terawat dan uang pas-pasan dari pekerjaan yang menguras tenaga di akhir pekan.
Semua kesadaran-kesadaran itu seakan memperjelas nasibnya. Di dunia ini, Aram tak lebih hanyalah pemeran pendukung yang melihat cerita-cerita bahagia milik orang lain. Dan, Aram benci peran itu. Karena jika dia tiba-tiba menghilang dari dunia hari ini, tidak akan ada yang tahu.
Aram memejamkan mata, dia tak ingin pulang dan menerima takdirnya sebagai pemeran pendukung. Aram justru berpikir akan lebih baik dia jadi sosok antagonis yang membuat semua orang menderita. Kerena meskipun tak punya akhir bahagia, kepergiannya akan tetap jadi kebahagiaan bagi orang banyak.
Lalu, seperti menerima panggilan putus asa. Takdir itu datang.
'TIINN!!TIIIN!!TIINN!!'
Suara klakson memecah sunyi malam. Aram dengan refleks menoleh ke arah sumber suara dan melihat sebuah truk melaju cepat tak terkendali tepat ke arah dia duduk. Tak ada waktu untuk berlari. Mungkin, dari hati terdalam, Aram juga enggan untuk menghindar.
“Haha,” Aram justru kembali tertawa sambil melebarkan tangan. “Takdir benar-benar membenci diriku. Selamat datang kematian!!”
‘BRAK!!’ Suara tabrakan memecah pendengaran. Pandangan Aram menggelap.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
note:
Selamat bergabung di genre Western Fantasy!! Mulai ep depan sudah mulai masuk cerita di kerajaan isekai (dunia lain).
~Happy Reading~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Irmha febyollah
Aram ?
2024-01-06
0
CaH KangKung,
👣👣🥀
2023-11-30
0
ῆმlυlმ𓍢ִ໋🌷͙֒
🥰🥰🥰
2023-11-27
0