AKU BUKAN PELAKOR
"Dasar pelakor, berani kamu menggoda suamiku. Bahkan kalian pergi bersama kemarin." Suara keras penuh emosi itu menyentakku, ia mendekat hendak meraih rambut panjang ini akan tetapi dengan gesit aku berhasil menghindar.
Namaku Hanin, aku adik tiri Naura. Wanita yang suaminya telah direbut oleh perempuan murah di depanku ini. Dia adalah Marsya, istri baru Mas Firman. Kadang aku berfikir, ada untungnya juga kala Mbak Naura menikah aku tak bisa menghadirinya, karena kini di usia pernikahan mereka yang menginjak tiga tahun, Mbak Naura dibuang oleh Mas Firman demi sosok perempuan modis berhati iblis, Marsya.
"Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri kah?" sindirku pedas. Enak saja, mengatai diriku ini pelakor, padahal dirinya sendiri juga mantan pelakor. Bahkan Haikal ponakanku harus mengalami perundungan di sekolahnya karena menjadi anak broken home. Mas Firman yang doyan selingkuh sejak Haikal berumur dua tahun, itu cerita Mbak Naura. Tapi, jika menurutku; Mas Firman bukan hanya doyan selingkuh tapi juga rada-rada gila. Melihat wanita bening sedikit langsung kedip-kedip.
"Kamu tuh ya? Bawahan gak tahu diri. Kamu sama Mas Firman itu beda, dia itu boss. Beda dengan kamu yang cuma pegawai biasa. Jadi tolong... Jauh-jauh deh sama Mas Firman, apalagi sekarang aku sedang mengandung buah cintanya."
Aku menggaruk pelipis, ia tak lagi mengataiku pelakor, akan tetapi kenapa malah jadi merendahkanku? Untung aku tahu seperti apa wanita itu dari Mbak Naura. Jadi, aku punya senjata jika sewaktu-waktu perang kita dimulai. Seperti hari ini, hari dimana dia pertama kali melabrakku setelah aku pergi dengan Mas Firman kemarin.
"Mbak Marsya yang terhormat, yang katanya istri Mas Firman. Aku memang cuma pegawai biasa, tapi kan gak ada salahnya dengan apa yang jadi profesiku. Toh awalnya Mbak Marsya juga cuma pegawai Mas Firman kan?" tebakku tepat sasaran, mereka menikah setelah Mas Firman berpisah dengan Mbak Nau . Senyum tipis terbit di bibir ini kala melihat matanya membelalak lebar karena ucapanku.
Aku meninggalkannya begitu saja, meladeni Marsya sama dengan menabuh genderang perang. Dan aku masih ingin menyusun skenario untuk itu.
"Heh..." Marsya menarikku saat aku melewatinya.
PLAKK...
Tangan putih itu mendarat bebas di pipi tanpa aku duga. Sempat ingin membalas, tapi aku melihat siluet Mas Firman mendekat.
Auhh...
Aku terduduk memegangi pipi, lalu meraung berdrama. Nadia sampai menahan gelak tawanya demi melihat tingkah absurd-ku ini.
"Ada apa ini?" tanya Mas Firman.
Aku melirik Nadia, lalu mengangguk singkat sebagai kode.
"Bu Marsya nampar Mbak Hanin, Pak. Saya mau misah, tapi katanya gak boleh ikut campur urusan mereka. Bu Marsya ngata-ngatain Mbak Hanin karena kemarin Bapak ngajak Mbak Hanin survey bahan baju," jelas Nadia membuat Marsya menggeram pelan. Tentu saja Nadia berbohong, karena gadis itu juga eneg akan kelakuan Marsya. Aku sepakat memintanya untuk membantuku berdrama.
"Benar begitu, Sya?"
Mbak Marsya hanya menggeleng berulang-ulang, sementara aku merasa puas karena bantuan Nadia. Gadis itu memang berada di pihakku, dibanding membela wanita itu, ia lebih memilih ikut skenario yang aku susun untuk menuntaskan balas dendam.
***
Pulang kerja, aku mampir ke kontrakan Mbak Naura. Melihat Haikal yang menunduk di teras, aku pastikan ada sesuatu yang tak beres dengan kakak perempuanku itu.
"Kal, Ibu mana?" tanyaku langsung saat menghampirinya.
"Ibu marah sama Haikal, Tante!" akunya menunduk.
Aku meremas tali slingbag yang menggantung di bahu lalu menghela napas panjang, "kenapa? Kamu berantem lagi."
Haikal mengangguk, "aku cuma mecakar wajah mereka yang jahat, Tante. Mereka bilang Ibu gila. Ibuku gak gila, ibu hanya sering marah-marah karena aku nakal."
Aku berjongkok di depan Haikal lalu mengangkat wajahnya, "Ibumu gak gila, iya dia cuma marah kok! Tapi itu bentar, nanti juga baikan lagi." Aku mengusap pelan rambutnya, lalu menarik Haikal ke dalam pelukan. Sesak, rasanya sakit hati ini melihat keadaan Haikal dan Mbak Naura.
"Ayo masuk, kamu sudah makan belum? Tante bawain lauk enak nih," tunjukku pada plastik putih yang tenggorok di kursi. Ayam goreng yang aku beli di perempatan ujung jalan, khusus untuk Haikal karena hari ini aku dapat gaji.
"Wah, makasih Tante. Ibu pasti senang," gumamnya dengan mata berbinar bahagia. Hatiku terenyuh dibuatnya, Haikal memang anak yang baik.
Ku gandeng tangan kecil Haikal dan masuk ke dalam, melihat Mbak Naura duduk memeluk lutut, aku pastikan ada sesuatu yang membuatnya kepikiran.
"Mbak?"
Mbak Naura mendongkak, "Nin? Darimana?"
Bukan menjawab, aku duduk di sampingnya dan mengusap lembut bahu rapuh itu.
"Jangan kaya gini, Mbak! Haikal masih butuh kamu. Jangan gampang marah, dia masih terlalu kecil untuk mengerti kerumitan urusan orang dewasa."
"Aku ketemu Mas Firman," akunya.
"Aku malah tiap hari ketemu, kalau bukan karena membalas rasa sakit Mbak, aku ogah kerja di pabriknya."
"Kamu harus membalas dia, Nin. Mbak sakit hati, Mbak sampai gila, Mbak gak mau dia tersenyum sementara kami,--" napasnya tersengal, bahu rapuh itu mulai bergetar. Detik berikutnya, Mbak Naura hanya bisa menangis terisak-isak.
"Mbak nggak gila, aku tegasin sekali lagi Mbak itu enggak gila. Mas Firman yang gila, laki-laki kurang syukur dan nelantarin anak istrinya!" bisikku lalu merengkuh Mbak Naura ke dalam pelukan. Mengisyaratkan Haikal ke belakang, aku berusaha menenangkan Mbak Naura yang semakin menjadi.
Jika sedihnya sudah lupa, ia akan kembali seperti semula. Mengurus rumah dan segala keperluan Haikal dengan baik. Meski ikatan diantara kami berbeda ibu. Ayah dan Ibu kami tak membeda-bedakan kasih sayang. Mbak Naura tetaplah anak sulung kesayangan Ibu pun denganku yang berstatus bungsu.
Melewati makan malam di rumah Mbak Naura dan sempat menemani Haikal belajar. Sekitar jam tujuh malam akhirnya aku pamit. Berjalan kaki ke ujung gang kemudian memesan ojek online.
Sampai di rumah, aku dikejutkan dengan keberadaan mobil disana. Mobil milik Mas Harsa. Laki-laki itu pasti sudah dari tadi menunggu.
"Mas?" sapaku. Benar saja, wajahnya ditekuk masam menyambutku di dalam bersama Ibu yang keluar dari dapur membawa makan malam.
"Dari mana sih, Nduk? Itu Harsa dari tadi nungguin emang ponsel kamu nggak aktif?" tanya Ibu.
Aku hanya meringis kecil merasa bersalah, "maaf ya, Mas? Aku habis dari rumah Mbak Naura."
"Mbak Naura kumat lagi?" tanyanya membuatku melotot tajam.
"Mbak Naura itu nggak gila ya, Mas!" tekanku.
"Bukan gitu maksud aku, Dek!"
Ibu menghela napas mendengar perdebatan kami, "makan malam dulu, yuk? Mbakmu udah baikan kan? Haikal gimana?" tanya Ibu.
"Sudah lebih baik, Bu." Aku duduk malas, entah kenapa mendengar pertanyaan Mas Harsa membuat mood-ku berantakan.
"Kenapa Mbak Naura gak ikut tinggal disini saja, Bu? Lebih aman kan?" tanya Mas Harsa, lalu menatap kami bergantian.
"Gak semudah itu, disana lebih aman karena jauh dari jangkauan Firman!" lirih Ibu.
Ibu belum tahu saja, kalau sebenarnya Mas Harsa masih memiliki ikatan saudara dengan Mas Firman. Mungkin jika Ibu tahu, entah apakah beliau akan memberi kami restu atau tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀👙𝐄𝐥𝐥𝖘𝖍𝖆𝖓 E𝆯⃟🚀
sejati seorg pelakor juga takut karma dia,makanya si Marsya liat laki nya Deket sama cwe lain bawaan nya dah takut di rebut aja dia.gas hanin blas dendam nya tapi awas Jan sampe kmu suka beneran sama si firman
2024-03-16
0
🍌 ᷢ ͩ👙⃝ʀɪsᴍᴀ 𝐀⃝🥀𝐙⃝🦜
kasian banget Naura pasti dia trauma karena diselingkuhi suaminya makanya dikirain orang kayak gila, semoga secepatnya itu si firman dapat karma udah tega menelantarkan istri dan anaknya
2024-03-16
0
Md. Wulan 🍇ᵇᵃˢᵉ
bisa jadi restu tak turun klo tahu hubungan mas Harsa dan firman masih keluarga
2024-03-16
0