"Adinda ya? anak pak Anton!" tanya seorang bapak bapak, saat Adinda dan Lusi sudah sampai di kebun pak Anton.
"Iya pak, saya Adinda, anak mendiang pak Anton." sahut Adinda sambil menjabat tangan pak Roni.
"Akhirnya saya bisa ketemu kamu nak, sudah sejak beberapa hari saya menunggu kedatangan kamu ke sini." ujar Pak Roni dengan binar bahagia.
"Iya pak! maaf. Saya baru bisa datang hari ini." ujar Adinda tidak enak hati.
"Iya nak, saya ngerti kok." pak Roni tersenyum. " Mari kita kebun, kamu harus tau berapa luas kebun mu." ujar Pak Roni.
"Baik pak." Adinda mengikuti pak Roni dari samping bersama Lusi.
"Ini kebun pertama, saat ini di tanami dengan cabe, luasnya satu hektar, dan pendapatannya dua bulan ini, Alhamdulillah naik tiga kali lipat dari biasa." terang pak Roni.
Adinda hanya mengangguk tanda mengerti, mereka melanjutkan langkah ke tempat lainnya.
"Ini kebun ke dua, di tanam sama beberapa macam sayuran, dan di sebelah sana juga ada sama di tanam dengan kentang." ujar pak Antoni.
Adinda hanya mengangguk angguk, jujur dia sangat shok dengan kenyataan yang ada, jujur selama ini hidupnya memang sangat cukup, namun dia tidak menyangka sang ayah mempunyai banyak aset, dia pikir ayahnya hanya pekerja kontoran, ternyata dia juga punya usaha lainnya, bahkan pendapatan dari hasil pertaniannya jauh lebih besar dari pada gaji dia di kantor.
"Capek ngak Nak?" tanya Pak Roni, melihat keringat Adinda sudah mengalir membasahi dahi dan bajunya sudah basah, maklum berjalan menyusuri kebun yang satu ke yang satu lagi.
"Lumayan pak, cuma aku suka, pemandangan di sini sangat indah, jadi capeknya sedikit terbayar." cengir Adinda.
"Klau gitu, kita berhenti dulu di saung sana, abis itu, baru kita ke kebun jeruk, dan kebun durian, nanti kita pakai mobil aja ke sana." ujar pak Roni.
"Baik pak, aku mau istirahat dulu, lumayan ini bikin kaki pegel." kekeh sahut Adinda
Pak Roni membawa Adinda ke saung yang ada di pinggir kebun, saungnya lumayan besar, ternyata di sana tempat menyimpan hasil panen yang baru di petik, sebelum di bawa ke kota.
"Mari nak, silahkan duduk." ujar pak Roni mempersilahkan Adinda dan Lusi duduk, gadis cantik itu dari tadi tidak bersuara, saking kagetnya melihat warisan Adinda yang berhektar hektar itu, dan di tambah di ajak jalan begitu lama, membuat dia diam seribu bahasa untuk menghemat tenaga.
"Terimakasih pak." sahut Adinda.
"Pak Roni, ada pak Dadang menunggu dari tadi." ujar seseorang kepada pak Roni.
"Iya No, dimana dia?" tanya Pak Roni.
"Lagi melihat kentang di sana pak." jawab laki laki muda itu.
"Ya sudah, kamu lanjut kerja lagi, nanti saya temui dia." ujar Pak Roni.
"Dinda, bapak tinggal sebentar ya, ada langganan, mau ngambil pesanan." ujar pak Roni.
"Iya pak, silahkan." sahut Adinda.
Pak Roni lansung meninggalkan Adinda di saung itu, untuk beristirahat, dia menemui pelanggan yang membeli hasil panennya.
"Gila! Din. Kamu tiba tiba jadi horang kayah." kekeh Lusi, setelah kepergian Pak Roni.
"Andai aku bisa memilih, aku lebih suka hidup sederhana, bersama ayah bunda, namun aku ngak bisa milih." ujar Adinda lesu, jujur dia masih suka teringat orang tuanya, terutama sang ayah, baru belum genap satu bulan ayahnya meninggal, rasa kehilangan itu masih sangat terasa bagi Adinda, namun dia berusaha ikhlas menerima takdirnya.
"Iya. Kita memang tidak bisa memilih, setidaknya kamu pernah merasa sangat di cintai oleh ayah mu, dan dia meninggalkan banyak warisan untuk kamu bertahan hidup, banyak di luar sana yang tidak seberuntung kamu, jadi kamu harus ikhlas menerima ini semua." tutur Lusi.
"Kamu lihat aku, punya orang tua lengkap, namun ngak perduli sama aku, dulu aku masih bisa terima ada mama yang memyanyangi ku, aku bisa merasakan kasih sayang seorang papa dari ayah mu, sekarang. Aku juga seperti anak yatim piatu, punya orang tua, tapi ngak perduli sama aku, papaku sibuk dengan keluarga barunya, mamaku sibuk dengan anak sambungnya, bahkan mereka lupa menanyakan kabar ku, jangan kan ingat mengirim uang, mengirim pesan untuk sekedar menanyakan keadaanku saja tidak." tutur Lusi tersenyum getir.
Adinda lansung memeluk sahabatnya itu, dia tau perasaan Lusi, dia yang di tinggal mati sama orang tuanya, sangat sakit, apalagi temannya ini, ada orang tua, namun tidak perduli sama sekali sama dia, malah Lusi dengan mata kepala sendiri melihat sang mama, begitu menyayangi calon saudara tirinya, yang dulu kasih sayang itu, utuh untuk dirinya, namun sekarang sudah di gantikan oleh orang baru, dia juga pernah melihat ayahnya, begitu mencintai anak anak dari istri ke duanya, namun kasih sayang untuk dirinya tidak pernah ayahnya berikan, sakit sungguh sakit hati Lusi, namun dia berusaha baik baik saja.
"Maaf, maafin aku membuat kamu bersedih, kita akan hidup bersama hmm, kita akan berjuang untuk mencapai cita cita kita, tunjukan kepada mereka yang tidak menganggap kita, tunjukan klau kita mampu tanpa mereka hmm." bisik Adinda menenangkan Lusi, dia merasa bersalah sekaligus sedih terhadap sahabatnya itu.
"Kamu benar ya, ngak akan ninggalin aku, mentang mentang sudah jadi orang kaya, kamu ngak akan lupa sama aku kan?" ujar Lusi menatap dalam mata Adinda, mencari kebohongan di sana, namun dia tidak menemukannya, dia sungguh tidak ingin kehilangan sahabatnya itu, dan dia pun sudah berjanji kepada ayah Adinda, akan selalu menemani Adinda selamanya.
"Ck, kamu pikir aku teman apaan!" cibik Adinda kesal dengan ucapan Lusi.
"Hehehe... Maaf." kekeh Lusi, wajah sedihnya tadi sudah hilang entah kemana.
"Gimana klau kita ajak Rini sama Sita kuliah di kota bareng kita!" ujar Adinda memberi usulan.
"Aku sih, senang banget klau kita kumpul bersama, cumakan kamu tau sendiri, keadaan mereka seperti apa, biaya dari mana, apa lagi di kota biaya hidup sangat besar, belum kontrakan, biaya kuliah, uang dari mana?." ujar Lusi sedih.
"Itu mah soal gampang, nanti biar jadi urusan aku, dan kita bisa buka usaha bareng nantinya di sana, mereka jadi bisa biayain kuliah dan hidup mereka selama kuliah." sahut Adinda.
"Serius ini, ok. klau gitu, kita ngak jadi pisah satu sama lain, ahhh.... Senangnya." pekik Lusi kegirangan.
Adinda terkekeh melihat tingkah Lusi yang senang, karena tidak jadi berpisah dengan para sahabat mereka. Adinda pun sama sangat bahagia, karena hanya sahabatnya itu saja yang Adinda punya sekarang.
"Din, aku sudah ngak sabaran mau bilang sama mereka." ujar Lusi dengan mata berbinar.
"Kira kira mereka mau ngak ya?" pikir Adinda.
"Pasti mau lah, apa lagi kita akan tinggal bareng, pasti mereka juga senang kaya kita ini." ujar Lusi, dia yakin ke dua sahabatnya itu bahagian mendapat kabar ini.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Merica Bubuk
Thor, org dibalik pohon saat ayah dinda meninggal siapa ya ?
2024-09-30
1
Astri
alhamdulillah dinda kedepanx gak akan kesusahan krn banyak peninggalan ayahx yg bisa dia gunakan kelak dan semoga otor mmpertemukan dinda dgn mertua yg baik hati nantix
2024-06-21
2
Jamaliah
mantap punya sahabat kyk gini 👍👍👍👍
2024-06-08
0