Give Love To Your Baby
Suasana malam di ibu kota saat ini tampak sunyi. Terlihat seorang pria baru saja turun dari mobil mewahnya. Pria itu melangkah, dan menginjakkan kakinya masuk ke dalam sebuah rumah mewah. Langkahnya terhenti sesaat, ketika dua orang pelayan di rumah itu datang menghampirinya. Pelayan tersebut mengambilkan tas kerja miliknya dan juga mengambil jas nya yang sudah pria itu lepas.
"Dimana putraku?" Tanya pria itu sembari menggulung lengan kemeja putihnya.
"Tuan kecil sedang ada di kamar nya Tuan, dia tidak mau makan malam sebelum Tuan pulang katanya," ujar pelayan itu dengan menundukkan kepalanya.
Pria itu menatap tajam ke depan, rahangnya terlihat mengeras. Dengan cepat, dia melangkah lebar ke arah tangga dan menaikinya. Sedangkan kedua pelayan itu, menatap kepergian tuannya dengan tatapan khawatir. Mereka khawatir, Dario akan memarahi majikan kecil mereka.
"Tuan kecil pasti akan di marahi lagi oleh Tuan muda." Lirih pelayan itu.
"Kau benar, Tuan kecil anak yang baik kok. Hanya saja, dia kesepian. Semoga Tuan muda tidak memarahinya lagi." Sahut yang lain.
Kedua pelayan itu memutuskan untuk pergi. Sementara itu, pria tersebut terhenti di sebuah pintu dan membukanya dengan sedikit kasar.
Cklek!
Tampak, seorang bocah laki-laki gembul tengah memakan sebuah ciki di atas rajangnya sembari menonton televisi. Bocah itu terlihat terkejut dengan seseorang yang baru saja memasuki kamarnya. Melihat kelakukan bocah itu, pria tersebut pun menjadi marah.
"Altaf! Sudah berapa kali Papa bilang! Kau tidak boleh memakan racun itu! Kenapa juga kamu tidak makan malam hah?!" Sentak pria itu.
Yovandra Askara, Seorang pria tampan berusia 29 tahun. Dia merupakan seorang duda dengan anak satu. Sebelumnya, dirinya telah menikah dengan seorang model. Namun, setelah lima bulan usia putranya. Yovan dan istrinya bercerai, karena sang istri lebih memilih kembali masuk ke dalam dunia karirnya di banding dia dan putranya.
Putra Yovan bernama Altaf, seorang bocah gembul menggemaskan berusia 5 tahun. Bocah itu selalu mencari perhatian sang Papa, seperti saat ini. Dia sengaja tak makan malam dan hanya mengisi perutnya dengan makanan ringan agar sang papa memperdulikannya. Dia hanya ingin, sang papa memperhatikan dirinya.
"Papa." Lirih Altaf sembari menyembunyikan Chiki nya di belakang tubuhnya.
Yovan menggeram kesal, dia mendekati putranya dan mengambil Chiki itu tanpa persetujuan Altaf. Dengan tatapan tajam, Yovan menunjukkan Chiki itu di hadapan putranya.
"Kamu tau gak seberapa bahaya makanan ini untuk tubuh hah?! Kamu bisa sakit Altaf! Papa sudah memberikanmu cemilan sehat, kenapa makan makanan beracun ini?!" Sentak Yovan.
"Solly Papa." Lirih Altaf sembari memainkan jarinya.
"Selalu bilang begitu, kapan berubahnya Altaf! Makanan ini gak sehat, Papa gak pernah ajak kamu beli beginian. Dari mana kamu ... tunggu."
Menyadari sesuatu yang salah, seketika Yovan terdiam. Matanya menatap putranya yang sedang tertunduk dengan mata menyipit. Dia mencurigai sesuatu, otaknya berpikir keras mencari jawaban dari mana sang putra mendapatkan Chiki itu.
"Kamu dapat dari mana Chiki ini Altaf?" Selidik Yovan.
Seketika, Altaf meneguk kasar lud4hnya. Matanya bergerak liar, otaknya tengah menyusun serangkai kata indah untuk mengelabui sang papa. Namun sayangnya, Yovan sudah menebak kelakuan putranya. Mata pria itu beralih menatap ke arah lemari putranya yang sedikit terbuka. Entah dorongan dari mana, Yovan melangkah mendekati lemari itu.
"Pa ... Papa!" Panik Altaf.
Melihat sang papa yang berjalan menuju lemarinya, Altaf langsung panik. Dia segera turun dari ranjang dan berlari menghampiri Yovan. Namun sayangnya, langkahnya kalah cepat dari sang papa. Terlambat sudah, Yovan sudah meraih pintu lemarinya.
Krett!!
Pintu lemari terbuka dengan lebar, menimbulkan siara decitan uang cukup keras. Mata Yovan membulat sempurna saat melihat banyaknya makanan ringan yang tak sehat ada di dalam lemari putranya.
"Lupa ku pindahkan lupana." Lirih Altaf.
Yovan memejamkan matanya, d4danya bergerak naik turun menahan amarah. Dia lelah seharian bekerja, dan di saat pulang, Putranya malah membuat ulah yang membuat dirinya marah.
"PELAYAAANN!!" Teriak Yovan.
Tak lama, datanglah dua orang pelayan dengan berjalan tergopoh-gopoh menghampiri nya. "Ya Tuan." Seru keduanya.
"Buang makanan sampah ini, jangan sampai putraku kembali memakannya." Titah Yovan.
"Ndaa Papa! Janan! itu Altaf beli pake uang Altaf. Jangan buang!" Seru ALtaf.
Yovan beralih menatap putranya, matanya menatap tajam Altaf yang menyorot sendu ke arahnya. "Mulai besok, Papa akan tiadakan uang jajan lagi untukmu! Kau harus membawa bekal! Di sekolah, kau juga tidak boleh jajan apapun. Termasuk makanan sehat di sana!"
"APA?! NDAAA!! NDA MAUU!!" Pekik Altaf dengan mata membulat kaget. Bagaimana bisa dirinya bertahan tanpa jajan? Jajan sudah menjadi bagian dalam hidup Altaf.
Yovan seolah menulikan pendengarannya, dia beranjak dari kamar Altaf dan berjalan menuju kamarnya. Dia tak memperdulikan tangisan Altaf yang sangat kencang hingga saat dirinya di kamar, dirinya masih dapat mendengar tangisan putranya.
"Astaga." Lirih Yovan setelah dirinya duduk di tepi ranjang sembari menutup tangannya dengan kedua telapak tangannya.
"Anakku baru satu, tapi kenapa sulit sekali di atur." Lelah Yovan.
"ALTAF MAU MAMAAA!! PAPA JAHAT! ALTAF MAU MAMAAA!!"
Yovan menarik tangannya dari wajahnya, dia dapat mendengar teriakan Altaf yang mencari sang mama. Dengan helaan nafas berat, Yovan mulai membuka kancing kemejanya. Permintaan putranya sangatlah sederhana, tapi sulit untuk Yovan lakukan. Dia, bukan pria yang mudah jatuh hati dengan seorang wanita. Bagaimana dia akan memberikan seorang ibu untuk putranya?
"Mama mu saja tidak peduli nak. Dia bahkan meninggalkanmu saat kamu baru usia lima bulan." Lirih Yovan.
Tatapan Yovan beralih menatap bingkai fotonya, dimana di sana dirinya tengah berfoto bersama Altaf yang saat itu masih berusia satu tahun. Perlahan, tangannya terangkat dan meraih bingkai itu. Jarinya mengelus foto dirinya dan juga Altaf yang ada di sana.
"Papa hanya punya kamu, kalau kamu sakit Papa sedih. Maaf, kalau selama ini Papa belum bisa melengkapi cinta yang kamu inginkan." Batin Yovan.
.
.
.
Pagi hari, terdengar burung berkicau. Terlihat, seorang wanita keluar dari dapur dengan membawa mangkok berisikan sayur. Rambutnya yang di cepol asal, dan apron yang di kenakan terlihat sedikit kotor. Jangan lupakan, keringat yang berada di kening dan pelipisnya yang menandakan betapa lelahnya wanita itu pagi ini.
"Sarapan sudah, beres-beres rumah sudah. Tinggal ... bangunin Qiara." Gumamnya.
Wanita itu bernama Aletta Safira, seorang wanita cantik yang menjadi single mom untuk putrinya. Dia telah bercerai dengan suaminya setelah putrinya lahir. Suaminya menceraikannya karena memilih selingkuhannya yang merupakan sekretaris sang suami. Aletta belum ada niatan menikah lagi, dia masih trauma dengan pernikahan yang berujung perpisahan di karena kan orang Ketiga. Kini, dia hanya fokus membesarkan putrinya dengan seluruh cinta yang dia punya.
Aletta berjalan ke arah sebuah kamar yang yang di tutupi gorden saja. Lalu, dia memasukinya dan mendapati seorang anak perempuan tengah tidur di ranjang dengan gaya yang tak bisa di ungkapkan.
"Astaga." Kejut Aletta.
Bagaimana dia tidak kaget, dirinya melihat anak perempuannya tidur dengan kaki yang berada berada di kepala ranjang. Sementara kepalanya sudah sampai di tepi kasur, jangan lewatkan mulutnya yang terbuka. "Astaga ... Qiara ... Qiara." Gumamnya.
Qiara Alzena, sosok bocah menggemaskan yang selalu membuat Aletta mengelus d4da. Siapa lagi jika bukan putrinya, satu-satunya keluarga yang Aletta miliki saat ini. Walau begitu, Qiara selalu bisa mewarnai kehidupan Aletta yang dirinya rasa sangat suram. Putrinya selalu memberikan Aletta perasaan bahagia lewat senyum indahnya dan tawanya.
"Qiara hei, bangun sayang. Kamu harus berangkat sekolah loh." Seru Aletta sembari menghampiri putrinya. Qiara yang saat ini sudah masuk TK, membuat Aletta harus membangunkannya setiap lagi dan menyiapkan segala keperluan putrinya berangkat sekolah.
Aletta mendudukkan dirinya di tepi ranjang, lalu dia mengusap lembut pipi putrinya dengan sayang. "Qi ... Qiara sayang ... bangun yuk." Panggil Aletta sembari menepuk lembut pipi gembul putrinya.
"Eum? Papa dateng yah Ma? Papa na dateng?" Celoteh anak itu sembari membuka matanya.
Jantung Aletta berdegup kuat, perasaannya terasa sesak. Setiap pagi dan terbangun dari tidurnya, Qiara selalu berkata hal yang sama di setiap harinya. Dia menantikan sosok papanya datang untuk menemuinya. Walaupun, keinginannya itu hanyalah harapan semata. Papa Qiara, sampai saat ini tak pernah mengunjungi sang putri. Bahkan, hanya sekedar bertukar kabar.
"Qia ...." Lirih Aletta dengan menahan sesak di d4danya.
.
.
.
Terlihat, kedua bocah menggemaskan sedang berlari memasuki gerbang sekolah. Karena terburu-buru, keduanya saling menabrak. Sebelum keduanya memasuki gerbang. Hingga membuat keduanya terjatuh dan meringis.
"Awsss!! Bica nda kalau jalan liat-liat hah?! Cakit na p4ntatku!" Pekik Qiara
"Memang citu doang yang cakit hah?! Liat! Lutut na Altaf juga cakit!" Seru Altaf.
Di saat keduanya asik adu mulut, terlihat Aletta berlari ke arah keduanya dengan tatapan khawatir. Dia lebih dulu membangunkan putrinya, dan mengecek keadaan sang putri. "Qiara! astaga ... Mama bilang apa? Jangan lari! Bel nya masih lama, kenapa harus lari hm?" Omel Aletta sembari membersihkan rok putrinya.
Altaf yang akan beranjak berdiri pun tertegun melihat Aletta, raut wajahnya terlihat menyendu saat melihat Aletta yang begitu perhatiannya mengecek keadaan Qiara. Dengan mandiri, Altaf mulai beranjak dari duduknya. Dia bahkan tak menyadari jika saat ini lututnya terluka akibat tergesek aspal.
"Dia yang duluan kok!" Seru Qiara sembari menunjuk ke arah Altaf.
Tatapan Aletta beralih menatap Altaf, terlihat bocah itu sedang membersihkan celananya yang terkena debu. Tatapannya terhenti sejenak pada luka yang ada di lutut Altaf. Jiwa keibuan Aletta keluar, dia segera menarik lembut tangan Altaf yang sedang menepuk celananya.
"Lututmu terluka." Gumam Aletta sembari menatap lutut Altaf yang mengeluarkan darah.
"Ayo kemarilah! Tante obati." Ajak Aletta sembari menggandeng tangan anak itu.
Altaf menatap tangannya yang di genggam lembut oleh tangan Aletta. Hatinya berdesir aneh, dia belum pernah merasakan hal ini. Perasaannya menghangat ketika Aletta dengan lembut menariknya pergi. Altaf mendongak, dia menatap wajah cantik Aletta yang sedang menatap ke arah Qiara.
"Ayo Qiara, kau juga harus bertanggung jawab." Ajak Aletta.
"Tapi kan dia duluan kok! Bukan calah Qia Mama!!" Rengek Qiara.
"Qiaa." Peringat Aletta.
Qiara menggembungkan pipinya kesal, dia mengikuti sang mama yang berjalan menuju taman depan sekolahnya. Di sana, ada sebuah kursi, Aletta mendudukkan dirinya di sana. Sedangkan Altaf, duduk di sebelah kirinya. "Sebentar, Tante semprotin pake pembersih luka yah. Memang sedikit sakit, tapi biar lukanya gak kotor." Ujar Aletta sembari mencari keberadaan barang yang ia cari di dalam tasnya.
Qiara mendudukkan dirinya di sebelah Aletta, dia mengayunkan kakinya sembari melihat keadaan luka Altaf yang lumayan menyakitkan untuknya. Seketika, Qiara meringis pelan. "Becal juga lukana. Pelacaan tadi yang di dolongna kenceng Qia deh. Tapi p4ntatna Qia dan ada luka geclekna. Kok dia ada." Gumam Qia, berperang dengan pikirannya sendiri.
Tatapan Qiara terangkat, keningnya mengerut saat melihat Altaf yang sedang mengamati Aletta. Otak kecilnya nya pun berpikir keras, mengapa Altaf segitunya menatap mamanya.
"Nah, sebentar yah. Tante semprotin, kalau sakit ngomong aja yah." Ujar Aletta sembari mengarahkan semprotan itu ke luka ALtaf.
Suara semprotan berbunyi sangat nyaring di telinga Altaf, sekaligus memberikan sensasi perih yang membuatnya meringis kesakitan. Namun, Altaf mencoba untuk menahan sakit di kakinya dengan cara menggigit bibirnya. "Heeehh!! Janan kau gigit bibilmu itu! Doel nanti!" Pekik Qiara yang mana membuat Aletta menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah Altaf.
"Sakit yah? Tadi kan tante bilang, kalau sakit ngomong aja. Jangan di tahan," ujar Aletta dengan lembut.
Altaf melepas gigitannya pada bibirnya, dia mengerjapkan matanya. Sesaat, dirinya terpaku dengan kecantikan ibu dari temannya. Sosok wanita cantik yang memperlakukannya dengan lembut, mampu membuat hatinya menghangat. Altaf, dia merindukan sosok ibu di kehidupan nya
"Kata papa, laki-laki halus kuat. Halus bica tahan cakit. Nda boleh cengeng, nanti jadi pelempuan kalau cengeng." Jawab Altaf dengan polosnya. Mendengar itu, Aletta tersenyum. Dia mengusap rambut hitam Altaf dengan lembut.
"Dengar, kita harus bisa menunjukkan rasa sakit kalau kita sakit. Kamu pun harus begitu. Bukan karena lemah, laki-laki kan juga manusia. Kulit kita sama, pasti juga merasakan sakit. Jadi, kalau sakit harus bilang yah," ujar Aletta dengan memberi pengertian pada bocah seumuran putrinya. Dengan lugu nya, Altaf mengangguk. Aletta yang melihat anggukan Altaf mengacak gemas rambut bocah laki-laki itu.
"Tante gak punya obat merah, nanti pulang sekolah minta sama Mama kamu buat obatin lukanya yah," ujar Aletta yang mana membuat Altaf kembali menunduk.
"Mama, Altap nda ada mama. Dia ada na papa." Bisik Qiara. Aletta tertegun sejenak, pantas saja Altaf terdiam. Rupanya, dia menyinggung perasaan bocah laki-laki itu.
"Altaf nda punya mama, Altaf ada na papa. Biacana Altaf minta tolong bibi, nanti Altaf minta obatin sama bibi." Ujar Altaf sembari tersenyum tipis.
Aletta merasa terenyuh saat melihat senyuman manis dari Altaf. Dia tahu, jika Altaf sedang sedih. Namun, anak itu masih tetap bisa tersenyum untuk menenangkannya. Sejenak, Aletta merasa terharu melihatnya. Dia tak tega dengan Altaf yang terluka seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Vera Wilda
Saya mampir thor, saya suka cerita perbocilan 😁😁
2024-12-05
3
Ita rahmawati
bab awal tp udh lgsg suka dn panjangnya ini bab 🤭
2024-11-26
1
Salyna
CIKI
2024-12-10
0