"Tuan, wanita tawanan sudah datang. Ia sudah berada di halaman," ucap seorang laki-laki dengan tegas. Membuyarkan lamunan Bastian.
Bastian segera membalikan tubuhnya menghadap Daniel anak buahnya yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.
"Bawa dia masuk, ingat jangan ada yang menyakiti. Tunggu aku turun ke bawah, Aku yang akan membawanya sendiri ke kamar," ucap Bastian dengan bibir bergetar.
"Siap Tuan!"
Entah tiba-tiba jantung Bastian terasa berdetak kencang. Peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia mencoba menenangkan dirinya dan mengatur nafasnya.
Bastian laki-laki yang tak pernah merasa takut pada siapapun. Entah kali ini menghadapi seorang wanita seperti Sania menjadikan tubuhnya gemetar dan ia seperti orang bingung.
Bastian mengambil nafas dalam-dalam dan menghempaskan dengan perlahan. Ia kembali menata detak jantungnya agar kembali normal dan melangkah keluar ruangan menuruni anak tangga.
Bastian berhenti, berdiri terpaku saat melihat Sania dengan kedua tangan terikat, serta mata dan bibir tertutup pula. Dalam hati Bastian tak tega melihat Sania diperlakukan seperti itu.
Namun semua itu tak lepas dari permintaan Bastian sendiri.
Bastian segera mengisyaratkan agar kedua anak buah yang memapah Sania segera melepasnya.
Mereka pada bingung melihat ulah bosnya. Ada apa dengan tawanan itu? kenapa tuan Bastian sendiri yang mengambil alih. Padahal jelas-jelas tawanan itu putri dari tuan Edward musuh bebuyutan tuan Bastian.
Mereka diam tak ada yang berani membantah. Mereka hanya bergerak minggir dan membungkukkan badannya tanda hormat. Sambil berdiri mematung, saat Bastian menggandeng lembut tangan Sania untuk dibawanya ke kamar Bastian sendiri.
"Maafkan aku Sania," kata batin Bastian menatap Sania yang matanya masih tertutup rapat.
Entah Sania merasakan perasaan lain. Ia berjalan menaiki anak tangga dengan digandeng seorang laki-laki yang Sania tak mengerti siapa laki-laki itu. Namun pegangan tangannya sangat beda dengan tangan laki-laki tadi. Sebab tanpa terdengar dari telinga Sania, laki-laki itu bicara sampai langkah Sania terhenti.
Lagi-lagi Sania pasrah apa yang bakal dilakukan laki-laki yang membawanya ke sebuah tempat dan membuka ikatan tangannya hingga penutup mata dan mulutnya.
Sania menatap samar sekeliling ruangan. Ia tak asing dengan sosok bayangan yang ada di depannya.
Seketika Sania kaget, dengan spontan ia memanggil nama laki-laki yang ada di depannya.
"Tuan Bastian," lirihnya dengan rasa ketakutan.
Apa yang hendak Tuan lakukan padaku? Membunuhku? Atau hendak memperkosaku seperti anak buah Tuan Bastian?" suara lantang Sania menatap tajam Bastian.
Tanpa sadar tiba-tiba air mata Sania jatuh menetes. Ia tak kuasa menahan kesedihannya.
Sekilas bayangan keempat laki-laki yang merenggut kesuciannya kembali melintas dalam pikirannya. Sania merasakan seolah yang ada didepannya laki-laki yang brutal merenggut kesuciannya.
Sania menjatuhkan tubuhnya dengan duduk bersimpuh di lantai.
"Bunuh saja aku Tuan. Aku sudah kotor. Aku wanita hina dan ternoda."
Sania kembali menangis tersedu-sedu.
Bastian duduk jongkok mensejajarkan dengan duduk Sania. Ia menatap Sania yang menangis tersedu-sedu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Sania!" panggil Bastian dengan lembut, "tolong lihat aku."
Namun Sania malah menjerit dan berteriak histeris.
"Pergi, pergi dari sini ...! Aku tak mau melihat kamu di sini, kamu jahat, kamu sudah menghancurkan hidupku!"
Bastian merasa iba melihat Sania menangis histeris, ia bisa merasakan betapa hancur hati Sania.
Tanpa Bastian sadari, Bastian langsung meraih tubuh Sania dan memeluknya.
"Sania maafkan aku, sungguh aku minta maaf. Aku berjanji hendak membahagiakan kamu, dan aku ingin menikahi kamu sekarang, kamu tau di luar sudah menunggu pak penghulu.
Mendengar kata-kata Bastian, tangis Sania agak mereda. Nafasnya masih tersengal-sengal dan dadanya terasa sesak.
Bastian melepas pelukannya, dan mengusap lembut rambut Sania yang tergerai tak beraturan. Dan setengah berbisik Bastian mengatakan.
"Lihat aku Sania, dan tatap mataku."
Bastian mendongakkan kepala Sania.
Hingga mata Sania yang sembab terlihat persis di depan wajah Bastian.
"Bersiaplah, aku akan menikahi kamu sekarang. Aku akan menepati janjiku. Percayalah, aku akan berusaha mencintai kamu."
Bastian mengusap wajah Sania yang basah kena air mata dengan ibu jarinya dan membantu Sania agar berdiri.
Bastian yang terkenal mahal senyuman, mencoba tersenyum mengarah Sania.
Sania tetap diam terpaku, tak sepatah katapun keluar dari bibir mungilnya. Ia hanya menatap Bastian dengan hati dan perasaan yang hancur berkeping-keping. Kedua bola matanya tak bisa membendung keluarnya bening air mata.
"Dan aku minta, dalam ijab kabul nanti. Aku tak mau melihat kamu mengeluarkan air mata kesedihan. Bersiaplah, sebab sebentar lagi juru rias akan segera datang.
Bastian meraih handuk yang ada didekatnya dan dikalungkan ke leher Sania. Ia segera melangkah keluar kamar.
Sania tak segera beranjak dari berdirinya. Ia tetap diam melihat sepintas kepergian Bastian dari sudut kerling matanya.
Rasa kecewa dan kesal hinggap di hati Sania. Ia menyesali nasibnya. dalam sekejap nasib itu berubah dengan terenggut sebuah kesucian yang ia banggakan. Sania berpikir kalau semua ini sebuah takdir. Ia hanya menyesali nasibnya. Seandainya dirinya tak datang ke ibu kota, kemungkinan tak akan terjadi hal seperti ini.
Sania ingin menjerit dan berteriak, kalau Allah tak adil.
"Kenapa kesengsaraan ini terus menerpa dirinya, Ya Allah!" jeritnya dengan meremas rambutnya sendiri. Dan menangis tersedu-sedu bak anak kecil yang kehilangan mainan.
"Kenapa semua ini terjadi padaku ya Allah, aku takut pada diriku sendiri. Dan aku merasa kotor dengan perbuatan biadab anak buah Bastian."
Sania menangis lagi, dengan duduk di lantai seperti tadi. Dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
Dengan hatinya yang kalut, Sania ingin mengakhiri hidupnya sendiri.
Sania berdiri. Ia mencari gunting atau pisau yang mungkin ada di laci. Ia terus berlari mengitari ruangan, mencari sesuatu untuk menyakiti tubuhnya.
Tiba-tiba mata Sania terhenti dengan adanya benda yang dicari tergeletak di meja rias.
Perlahan Sania mendekati meja rias. Ia menatap tajam benda itu dan meraih gunting, serta mengangkatnya tinggi-tinggi, dan hendak menghujamkan ke dadanya.
Tok ... Tok ... Tok.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar yang mengagetkan Sania. Namun Sania tak segera menjawab. Perlahan Sania meletakan kembali gunting yang ada di genggamannya ke atas meja rias.
Sania tersadar apa yang dilakukan itu kesalahan besar untuk mengakhiri hidupnya dengan cara tragis.
Dengan menyebut nama Allah tiga kali dan menarik nafas dalam-dalam. Sania terus mengucapkan lafal doa.
"Ampuni aku ya, Allah? Apa yang hendak aku lakukan," ucapnya lirih dengan mengucap berkali-kali serta menundukkan kepalanya. Ia mengusap air matanya sambil membenahi rambutnya yang acak-acakan.
Tanpa disadari Sania, pintu kamar sudah terbuka. Mungkin Bastian lupa menguncinya. Ia percaya kalau Sania tak bakalan kabur dengan penjagaan di luar sangat ketat.
Anak buah Bastian sudah berdiri di depan pintu bersama seorang perempuan cantik.
"Nona, ini juru rias yang akan merias, Nona."
Sania cepat-cepat menghapus air matanya lagi. "Ya, masuklah. Aku hendak mandi," suara dingin Sania
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Raden Aska
maldng brnar nadibmu Sania. semoga fi balik semua itu ada kebahagiaan menantimu
2023-12-15
1