Panca melangkah menuju ke sebuah mini market yang tak jauh dari hotel, ada rasa sesal di hatinya karena tak memberi perlengkapan obat untuk persediaan putra kesayangan Tuan Besarnya itu, sayang rasanya melihat kulit putih Dean mendapat noda bekas luka.
"Ini Bos, tolong pake ini, biar luka nya nggak infeksi" ujar Panca bijak.
Meski enggan Dean akhirnya menuruti sang asisten untuk mengobati luka di tangannya lalu menutup lukanya dengan kain lebih pantas.
Bukan masalah agar terlihat aestetik, tapi masa iya seorang pengusaha muda kaya raya tangannya terluka dan hanya di lilitkan kain taplak hotel, ia yang sebagai asistennya pun akan merasa terbebani mental.
"Bagaimana keadaan Papih?" tanya Dean.
"Bos Papih masih belum ada banyak perubahan, sabarlah bos, pasti Bos Papih akan kuat dan sembuh tak lama lagi" kalimat Panca sedikit menghibur lara di hati Dean.
"Lalu kapan rumah itu bisa aku tempati?."
"Mungkin nanti sore Bos, orang kepercayaan kita sedang menata dengan perabotan yang anda butuhkan, juga kamera pengawas di beberapa titik."
"Untuk apa kamera CCTV, kau bilang lingkungan itu aman" tolak Dean.
"Meski aman tapi kita tak boleh lengah bos, lebih baik menjaga dari paga mengobati" sindir Panca sambil melirik tangan Dean.
Dean hanya menghela nafas panjang, memang luka di tangannya itu akibat dari kecerobohannya sendiri.
"Baiklah tolong juga suruh orang-orang kita pindahkan semua baju dan tas ku dari sini ke rumah itu, aku ingin malam ini tidur di rumah itu."
"Baik Bos, oiya satu lagi berita penting Bos, kita sudah mendapai identitas berondong brengsek itu."
"Hmm siapa dia" tanya Dean santai.
Panca hanya diam membeku, setelah ia dengan susah payah bahkan rela mengganti anak buah kepercayaan untuk mencari identitas pemuda itu tapi hanya mendapat balasan dengan deheman ringan.
"Mungkin ibu Bos begitu menyukainya Bos, dan...."
"Cukup, jangan lagi kau sebut dia ibuku"ucap Dean dingin.
"O hmm maaf Bos, mungkin ibu Anita sangat mencintai pemuda itu, orang kita mendapat beberapa informasi daftar barang yang ia dapat dari pemberian Bu Anita, belum lagi jumlah uang transferan yang ia kirim rutin ke nomor rekening pemuda itu Bos."
"Kau kirimkan identitas pria itu secepatnya, aku ingin lihat tampangnya dengan jelas sebelum aku mencincang tubuhnya."
"Siap bos, eh Bos mau ke mana bos?"
"Mau cuci mata, kau jaga Papih untuk sementara waktu."
"T tapi tanganmu Bos?" tanya Panca cemas.
"Kau tak usah memikirkanku, kau pikirkan saja bagaimana caranya agar Papih cepat sembuh, dan Gue bisa pulang kembali ke S secepatnya."
Panca hanya terdiam saat Dean berucap sinis lalu pergi meninggalkan kamar hotel.
Pria bermata tajam itu melaju kendaraannya kencang membelah jalanan, luka di tangannya yang kembali mengeluarakan darah tak ia hiraukan.Dua jam perjalanan akhirnya ia menepikan mobilnya di sebuah pinggiran pantai yang di tumbuhi pepohonan pinus,angin sepoi menyapa rambutnya yang lebat, matanya tajam memandang laut lepas, sesekali layar ponsel ia lihat namun beberapa yang pesan masuk tak menarik perhatiannya.
Meski cuaca mulai terik tapi keberadaan pepohonan yang rindang membuatnya tubuhnya terlindung dari sinarnya yang menyengat kulit.
"Con, bagaimana kapal kita, kapan bisa berangkat? ku lihat cuaca mulai membaik" tanya Dean lewat telepon.
"Maaf Bos, surat jalan belum kita dapatkan, orang yang mengurusi ternyata sedang cuti Bos satu minggu..." ucap Condet lirih.
"Brengsek sialan....cari orang itu ke rumahnya buat dia tanda tangan di surat itu,kalau tidak mau sekalian kau potong saja tangannya bila tak berguna lagi" ucap Dean dingin.
"T tapi dia sedang cuti kawin bos" jawab Condet lagi.
"Bagus...kalau begitu kau sekalian saja potong burungnya biar tak bisa lagi berkicau selamanya"ucap Dean dingin lalu menutup panggilan.
Seorang pria paruh baya berdiri dengan tubuh gemetar di belakang Dean dengan kelapa muda di tangannya.
"T tuan...ini..k kepalanya Tuan" ucapnya dengan bibir pucat.
"Hmm terima kasih Pak..." jawab Dean sambil menyodorkan kertas merah pada penjual kelapa tersebut.
"M maaf tuan, kami belum ada kembalian, belum ada penglaris" jawabnya dengan wajah tertunduk.
"Tidak usah Pak, buat Bapak saja."
Pria itu tertegun tak percaya, rupanya wajah dan ucapan tak selalu mencerminkan kepribadian.Meski nada ucapan kasar dan terdengar dingin tapi pemuda tampan itu dengan mudahnya memberikan uang yang baginya sangat besar.
"T terima kasih Tuan, terima kasih banyak..." pria itu meraih tangan Dean lalu menciumnya.
"E eh jangan Pak...tangan saya kotor" tolak Dean .
"Ah t tidak apa Tuan, ah tangan Tuan terluka dan berdarah ...maaf Tuan maafkan saya" sesal pria itu yang kini mengelus tangan Dean.
"Tunggu sebentar Tuan saya akan ambilkan obat" pria tua itu berlari kembali ke rumah biliknya yang sederhana.
Dean hanya diam mematung, tak berapa lama pria itu keluar dari rumahnya dengan membawa mangkuk kecil berlari teegopoh-gopoh ke arah Dean.
"Sini saya obati Tuan"ucapnya meraih tangan Dean.
"Tidak perlu Pak ini sudah di obati " tolak Dean yang merasa cukup aneh dengan isi mangkuk yang berwarna hijau pekat.
"Tenang lah Tuan, ini ramuan sangat mujarab untuk mengeringkan luka, lebih ampuh dari obat mana pun, dan ini terbuat dari dedaunan yang Bapak ambil di gunung sebelah sana, mari Taun, lihatlah luka Tuan kembali berdarah ..dengan ramuan Bapak pasti darahnya akan berhenti dan lukanya mengering."
Dean hanya bisa pasrah saat pria tua tersebut meraih tangannya dan memborehkan cairan hijau pekat ke luka di tangannya.
Dean mendesis lirih saat rasa perih menjalar ke tangannya.
"Tahan Tuan, hanya akan terasa pedih sebentar, nanti akan menjadi berubah dingin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments