Kabar mengenai peristiwa di lonceng menara menyebar ke seluruh desa. Para warga menjadi semakin ketakutan dan lebih memperhatikan keluarga mereka. Beberapa bahkan mulai menyiapkan barang-barang mereka untuk meninggalkan desa untuk sementara waktu.
"Desa ini sudah dikutuk! Kita semua akan mati seperti mereka!"
"Habislah kita semua!"
Zolta melihat keadaan desa mulai memburuk. Para warga mulai paranoid, mereka bahkan kesulitan untuk tidur malam karena ingin menjaga keluarga mereka dari peristiwa yang serupa.
Sebenarnya, desa ini tidaklah mendapatkan kutukan apapun. Penyebab fenomena bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini di desa di dalangi oleh perwujudan Makhluk Astral dari warga desa yang telah meninggal.
Setidaknya, itulah dugaan sementara yang didapat oleh Zolta setelah mendapatkan keterangan dari Baron Meyer kemarin.
Zolta hari ini mulai melakukan investigasinya, dia sedang berada di kediaman salah satu warga. Dari bentuk dan luas rumahnya, terlihat yang mendiaminya termasuk keluarga yang berada.
"Ah— kau seorang Hunter, ada urusan apa kau di rumahku?" Seorang pria paruh baya membuka pintu rumah lalu menanyai kepentingan Zolta berada di kediamannya.
"Mister Radan, aku ingin menanyai beberapa hal tentang mendiang putri Anda—Sefina."
Radan merupakan seorang saudagar kain. Dia mempunyai reputasi yang baik di Desa Edoin. Dia dan keluarganya tinggal di Kota Bourbon sebelum pindah ke sini dengan alasan ingin mendapatkan suasana yang lebih tenang di pedesaan.
"Aku tidak suka membicarakan kematiannya, cepat katakan apa yang kau perlukan," ucapnya dengan nada suara dingin.
"Bagaimana keadaan Sefina beberapa hari sebelum kematiannya?" tanya Zolta tanpa basa-basi.
Zolta sedang menyelidiki tentang kematian beberapa wanita dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan sebelumnya. Dia menelusuri emosi siapa yang tertinggal dari tiga wanita yang meninggal dalam kurun waktu itu. Emosi yang begitu besar sehingga dapat termanifestasi menjadi makhluk astral setelah kematian tubuh fisiknya.
Zolta menduga, pelaku utama dibalik peristiwa yang terjadi di desa ini adalah sesosok Makhluk Astral Wanita jika dilihat hanya seorang pria Single saja yang menjadi korban.
"Aku tidak begitu dekat dengannya karena terlalu sibuk dengan pekerjaanku, tunggu sebentar di sini." Radan lalu masuk kembali ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa sebuah buku diari. "Ini diari mendiang putriku, sekarang pergilah dari kediamanku, Hunter."
Setelah memberikan buku itu pada Zolta, Mister Radan kemudian masuk ke dalam dan menutup pintu rumahnya.
Menurut laporan Patrol Guard, Sefina meninggal karena sebuah kecelakaan dua bulan yang lalu. Akan tetapi, detail mengenai kejadiannya tidak dijelaskan. Setelah menerima buku diari itu, Zolta kemudian kembali menyusuri desa, mencari kediaman keluarga dua wanita lainnya.
Tidak lama kemudian, dia sampai di sebuah rumah biasa di dekat kebun bunga. Terlihat seorang wanita dan seorang pria yang tengah mengobrol di sana. Di lihat dari ekspresi ceria keduanya, mereka nampak tidak terpengaruh dengan suasana negatif yang sedang ada di desa akhir-akhir ini.
"Maaf mengganggu waktu kalian, Tuan dan Nona," sapa Zolta.
Keduanya terkejut melihat kedatangan Zolta. Sang Pria menatap tajam kontras dengan Sang Wanita yang kemudian tersenyum lembut padanya.
"Ah, Tuan Hunter. Apa yang membuatmu datang kemari?" tanya Sang Wanita.
"Anda Miss Adler, benar? Aku ingin menanyakan beberapa hal tentang mendiang adik Anda—Sara."
Mendengar pertanyaan Zolta, ekspresi Miss Adler berubah drastis. Melihat wajah Miss Adler yang menjadi murung, tiba-tiba pria di sampingnya maju mendekati Zolta, mengarahkan jari telunjuk ke wajahnya. "Pergi kau Hunter, Adler masih berkabung dengan kematian Sara! Jangan mengganggunya dengan topik ini!" bentak pria itu pada Zolta.
Miss Adler kemudian memegang tangan pria itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Jorge, aku baik-baik saja. Bisakah kau kembali di lain waktu?"
Mendengar ini, pria yang bernama Jorge menghela nafas lalu meraih tangan Miss Adler. "Aku mengerti, sampai jumpa, My Lady." Dia kemudian menatap tajam Zolta sebelum meninggalkan Zolta dan Miss Adler berdua.
Setelah pria yang bernama Jorge pergi, Miss Adler mengundang Zolta masuk ke dalam panti asuhan dan menawarinya segelas teh. "Lalu, apa yang ingin Anda tanyakan mengenai Adikku, Tuan Hunter?"
"Bagaimana kondisi Sara di hari-hari terakhir sebelum kematiannya?"
Miss Adler kemudian mulai menceritakan tentang Adiknya—Sara. Dia mengatakan, adiknya sedari masih kecil mempunyai tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan. Dia selalu ceria dan nampak sering iri dengan kakaknya.
"Iri mengenai hal apa, jika saya boleh tahu?"
"Dia bilang 'Aku juga ingin mempunyai seseorang kekasih yang memanggilnya Lady' begitu katanya fufufu..., " ungkap Miss Adler sambil tertawa kecil mengenang Adiknya.
Dia melanjutkan ceritanya, setengah tahun yang lalu, kondisi tubuh Sara memburuk. Miss Adler sudah sekali membawa Sara ke Kota untuk menemui penyembuh namun sayang, nyawa Sara tetap tidak tertolong. Miss Adler bilang, dia meninggal dengan sebuah senyuman di wajahnya.
Setelah mendengar cerita tentang Sara dari Miss Adler, Zolta kemudian pamit lalu pergi menuju rumah dari keluarga wanita selanjutnya—kediaman Baron Meyer.
Ya, anak perempuannya termasuk dalam wanita yang meninggal dalam kurun waktu dua bulan sebelumnya. Zolta mengetahui informasi ini pagi tadi ketika mendengarkan percakapan para warga ketika sedang sarapan di kedai minuman.
Sesampainya di kediaman Baron Meyer, Zolta diberitahu oleh pelayan bahwa, Sang Baron sedang berada di pemakaman desa. Sesampainya di pemakaman, Zolta melihat Baron Meyer sedang berdiri di depan sebuah makam.
Zolta berjalan mendekatinya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Menyadari kehadiran seseorang, Baron Meyer menolehkan kepalanya.
"Ah Hunter, bagaimana dengan investigasimu?"
"Mendapatkan progres yang cukup baik, Baron."
Setelah berbalas sapa, hening kembali terjadi. Keduanya tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun setelah itu. Beberapa saat kemudian Sang Baron lah yang pertama memecah keheningan. "Kau kemari untuk menanyai tentang mendiang putriku—Rainira, kah?"
"Benar sekali," jawab Zolta singkat.
Baron Meyer memandang batu nisan dimana putrinya dikuburkan sebelum menarik nafas dalam-dalam. "Dia adalah anak yang baik, selalu tersenyum dan tak pernah kenal menyerah."
Rainira de Edoin—Putri kedua Baron Meyer de Edoin. Seorang gadis tomboy berambut pirang yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang Ksatria Kerajaan. Akan tetapi, walaupun sudah berusaha dengan sangat keras untuk mengejar cita-citanya itu, Rainira tidak lolos ujian masuk untuk menjadi kadet di Akademi Ksatria.
Rainira juga bersikeras, agar Ayahnya—Baron Meyer untuk tidak ikut campur dengan menyuap para instruktur penguji dengan menggunakan pengaruhnya sebagai seorang Bangsawan. Melihat tekad anaknya yang begitu kuat, Baron Meyer hanya bisa pasrah.
Waktu berlalu, Rainira telah menginjak umur 15 tahun. Namun, setelah tiga kali mengikuti ujian masuk, Rainira tetap gagal lolos memasuki akademi. Ini dikarenakan tubuh Rainira yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata tubuh yang dimiliki oleh peserta lainnya, membuatnya lebih sulit untuk lulus dalam seleksi.
Menerima kenyataan pahit ini, Rainira menangis dan mengurung diri di kamarnya selama beberapa hari. Baron Meyer yang menyaksikan ini serasa teriris hatinya tak kuasa melihat putrinya mengalami kesedihan yang sangat mendalam.
"Ayahanda, maafkan Rainira yang selalu bersikap keras kepala." Setelah beberapa hari mengurung diri, Rainira keluar kamar menghadap Ayahnya untuk meminta maaf karena sikapnya beberapa hari belakangan ini.
Melihat ini Baron Meyer terkejut, mengapa demikian? Karena Rainira—putrinya yang dikenal tomboy ini akhirnya mau mengenakan pakaian layaknya putri Bangsawan wanita pada umumnya. Kali ini, Rainira terlihat lebih feminim dan lebih imut dari biasanya.
Melihat Rainira yang seperti ini hanya pernah Baron Meyer bayangkan di dalam mimpinya saja. Matanya mulai berkaca-kaca seraya dia berjalan mendekat ke putrinya itu.
"Tidak apa, Nak. Kau adalah putriku, kau bebas untuk memilih apapun jalan hidup yang ingin kau ambil," ucap Baron Meyer seraya mengusap-usap rambut pirang putrinya itu.
"Terima kasih, Ayahanda." Tak kuasa menahan tangis, Rainira kemudian memeluk dan membenamkan wajahnya di pelukan Baron Meyer.
Dua tahun berlalu, Rainira kini berusia 17 tahun. Wanita yang dulunya tomboy itu kini sudah berubah menjadi wanita bangsawan yang mempesona. Menjadikannya wanita kebanggaan warga Desa Edoin.
Terlihat Baron Meyer yang penuh senyum melihat putrinya itu dari kejauhan. Dia lalu mendengar suara langkah kaki dibelakangnya. "Sepertinya, sudah saatnya kita memilihkan calon pengantin untuk putri kita, Suamiku."
Senyum Baron Meyer kemudian menghilang seketika, dia berbalik menatap tajam kepada wanita di hadapannya. "Rainira lah yang akan menentukan jalan hidupnya sendiri!" tegasnya dengan nada bicara yang dingin.
Tidak ada satupun orang yang boleh mengganggu kebahagian Putriku bahkan Kau—Ibu kandungnya sendiri!
Beberapa bulan kemudian, Rainira mulai menampilkan kembali sifat tomboynya, dia kini bergaul dengan para kelompok sirkus yang kebetulan sedang berada di desa.
"Rainira! Bisakah kau lebih hati-hati Nak!" Baron Meyer sedang menyaksikan Rainira melakukan sebuah atraksi berjalan di sebuah seutas tali dengan membawa sebuah tongkat sebagai penyeimbang.
Rainira tertarik dengan atraksi ini karena membuat adrenalinnya terpacu. Dia memang tidak bisa melawan akan sifat aslinya itu, berani, enerjik dan suka akan sebuah tantangan.
Perlahan tapi pasti, Rainira sedikit demi sedikit berjalan untuk mencapai ke tepian sambil menyeimbangkan tubuhnya di atas tali dengan tongkat yang ada di tangannya itu.
"Yay aku berhasil! Ayah, apa kau melihatku!?" Rainira tersenyum kegirangan setelah berhasil menyelesaikan tantangan tersebut.
Melihat senyuman anaknya yang sedang bahagia, Baron Meyer ikut tersenyum. Memang tidak ada yang lebih penting baginya selain kebahagiaan putrinya itu bagi Sang Baron.
Beberapa hari kemudian, para kelompok sirkus itu akan melakukan pertunjukan di alun-alun Desa. Rainira akan ikut tampil untuk memperlihatkan aksinya berjalan di seutas tali seperti yang sering dia lakukan di hari-hari sebelumnya.
Rainira akan berjalan menempuh jarak sejauh 40 meter dari atas lonceng menara menuju Kantor Desa. Jarak ini dua kali lebih panjang dari pada yang pernah Rainira lakukan selama latihan di hari-hari sebelumnya.
Baron Meyer sudah membujuk anaknya untuk tidak gegabah melakukan aksi tersebut. Namun, sifat keras kepala Rainira kembali kambuh. Baron Meyer juga sudah bersumpah untuk tidak mencampuri jalan hidup yang akan ditempuh Rainira. Untuk itu, dia mengizinkan Rainira untuk melakukan aksinya yang lebih berbahaya kali ini.
Atraksinya dimulai, walaupun langit terlihat sedikit gelap saat itu, Rainira mulai berjalan dengan pelan di atas seutas tali sambil membawa sebuah tongkat sebagai alat untuknya menyeimbangkan diri. Suara tepuk tangan dan teriakan semangat mulai terdengar dari para penduduk desa, tinggal beberapa meter lagi Rainira dapat mencapai ke tepian.
-Jedarrr!
Suara petir menggelegar mengagetkan para warga yang menyaksikan atraksi. Akan tetapi, tidak hanya para warga saja yang terkaget, Rainira yang sedang melakukan aksi pun demikian. Dia kehilangan keseimbangan sebelum mencapai ke tepian yang hanya tinggal berjarak dua meter saja.
"Tidak, tidak, tidak!" Baron Meyer bergegas berlari menuju anaknya.
Rainira terjatuh namun masih bisa bernafas, darah mengucur di kepalanya, mulutnya memuntahkan banyak darah dan sebagian tulang yang ada dalam tubuhnya patah.
"Ayahh... Aku tidak dapat merasakan seluruh tubuhku....," ucapnya lirih.
"Bertahanlah Nak, Ayah janji semua akan baik-baik saja! Kau akan sembuh dan dapat berjalan kembali!" ucap Baron Meyer seraya menggenggam tangan Rainira agar putrinya tidak merasa takut.
"Ayah... Maafkan Rainira... " Pandangan mata Rainira mulai kabur dan dia sama sekali tidak bisa mendengar suara dari Ayahnya yang sedari tadi berteriak.
"Terima kasih... Kau selalu mengerti akan keinginanku, Ayah." Air mata mulai membasahi pipi Rainira. "Terima kasih... Ayah, telah mengizinkanku untuk hidup sesuai dengan keinginanku."
Mendengar kata-kata putrinya itu, air mata Baron Meyer mulai berjatuhan membasahi pipi Rainira.
"Ayah..., " bisik Rainiria seraya mengusap air mata Ayahnya." Aku menyayangimu... "
Tangan Rainira terkelai lemas, dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucapkan salam perpisahan untuk Ayahnya yang sangat dicintainya itu.
Mata Baron Meyer yang sekarang berada di hadapan makam Rainira mulai dibanjiri dengan air mata. Dia berbalik menghadap Zolta yang sedari tadi mendengarkan kisah putrinya itu.
"Hunter...," panggil Sang Baron lemah. "Menurutmu, apa aku sudah menjadi seorang Ayah yang baik untuknya?" tanya Baron Meyer terdengar putus asa. "Aku hanya mengharapkan yang terbaik untuk Rainira... "
Tubuh Sang Baron bergetar, kematian putri tercintanya itu masih menjadi memori kelam di dalam hatinya.
"Apakah kematiannya itu adalah kesalahanku...?"
Mendengar pertanyaan Baron Meyer, Zolta hanya terdiam tanpa berkata apapun untuk sejenak. "Kalian saling mengerti satu sama lain dan memiliki cinta yang sama sebagai Ayah dan Anak," ucap Zolta dengan nada melankolis. "Tidak banyak manusia yang memiliki hubungan seindah Anda dengan putrimu itu, Baron Meyer."
Mendengar jawaban Zolta, Baron Meyer hanya tertunduk lesu. Dia kemudian berjalan keluar area pemakaman meninggalkan Zolta sendirian di sana.
.
.
.
Malam harinya, seorang Patrol Guard desa sedang melakukan tugas patroli di sekitaran area Desa Edoin. Seharusnya dia ditemani dengan satu rekannya yang lain. Akan tetapi, rekannya itu sedang izin cuti karena istrinya akan melahirkan.
Cuaca desa kembali di penuhi dengan kabut, suhu sekitar juga menurun karena sudah hampir memasuki musim dingin. Patrol Guard itu mengarahkan lenteranya ke sebuah jurang.
Dia melihat sesosok wanita berambut pirang yang sedang melihat ke dasar jurang. Mendapat firasat yang buruk, Patrol Guard itu kemudian bergegas menghampiri sosok itu. "Nona, apa yang sedang Anda lakukan malam-malam di tempat seperti inj?"
Wanita itu kemudian berbalik, terlihat sekitaran matanya memerah seperti baru saja menangis. "Tidak apa-apa, Tuan. Hanya saja, aku sedikit sedang depresi," ucap Wanita itu lemah.
Patrol Guard itu meletakkan lenteranya ke tanah, tangan pemuda memegang kedua bahu wanita tersebut. "Dimana rumah Anda, Nona? Apakah Anda memiliki keluarga di sekitar sini?"
Wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja merespon pertanyaan pemuda itu.
"Kalau begitu, maukah Anda menetap di rumah saya terlebih dahulu? Anda akan kedinginan jika terlalu lama berada di luar sini," tawar pemuda itu. Nada suaranya terdengar khawatir.
"Iya... Terima kasih atas kebaikan Anda, Tuan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Filanina
iya, Tuan. melakukan aksi berbahaya harusnya pakai tali pengaman.
2024-03-30
0
Filanina
hahaha sangat protektif.
2024-03-30
0
first comment dichapter ini
2023-12-27
0