Sisil terus menangis di sepanjang jalan. Bahkan Sisil tidak memperdulikan pria itu akan membawanya kemana, dan pria itu juga hanya diam saja tidak berusaha menenangkannya atu memberinya semangat gitu.
Sisil melirik Gavin. Heran juga dengan pria yang sedang menyetir itu, apa tidak berniat untuk menenangkannya?.
Sisil menghela nafas. Buat apa juga dirinya berharap kepada pria asing?
....
Tidak lama kemudian mobil berhenti di sebua gedung bertingkat.
Sisil menatap Gavin yang melepas seatbelt-nya, lalu Gavin menatap Sisil dengan tatapan datar.
"Keluar." Titah Gavin, raut wajahnya sama seperti tadi, datar tanpa ekspresi.
Sisil mengerjap, segera membuka seatbelt-nya. Setelah itu keduanya turun dari mobil.
Sisil menatap gedung bertingkat tinggi. Dan ada nama di gedung itu. ACHAZIA.
Beralih menatap Gavin, pria itu akan berjalan.
"Eh pak tunggu." Cegah Sisil.
Gavin pun mengurungkan niat untuk berjalan, melirik Sisil sekilas.
"Kenapa bapak bawa saya ke gedung ini?" Tanya Sisil tampak heran, mengusap wajahnya membersihkan sisa-sisa air mata di sana.
Pria tampan itu tidak menjawab. Melangkahkan kakinya begitu saja masuk ke dalam gedung.
Sisil gelagapan di tempat, pria itu malah meninggalkannya, walaupun heran Sisil tetap mengikuti langkah Gavin masuk kedalam gedung.
Entah mengapa Sisil menjadi cemas. Menatap punggung kekar Gavin yang berjalan di depannya.
'Ngapain ya dia bawa gue ke sini?' Batin Sisil.
kira-kira untuk apa Gavin membawanya ke gedung apartemen.
Sisil terdiam menerka-nerka kenapa Gavin membawanya ke apartemen.
Tiba-tiba mata Sisil membulat dengan mulut yang sedikit menganga. Pikirin buruk melintas begitu saja di benaknya.
Sisil menghentikan langkahnya.
'Gimana kalau dia mau jual gue?'
Sisil seketika panik sendiri, menatap Gavin yang sedang berjalan santai. Bagaimana jika pikirannya ini benar, pria itu membawanya ke apartemen karena ingin menjual*lnya.
Sisil menggeleng. Tidak,tidak mungkin pria tampan itu akan menjualnya. Sisil berusaha menepis pikiran buruk itu.
Tapi untuk apa pria itu membawanya ke apartemen? Sangat mencurigakan bukan. Sisil harus memastikannya sendiri.
Sisil kembali berjalan mempercepat langkahnya menghampiri Gavin.
"Pak. Bapak nggak berniat untuk menj*al saya kan?" Tanya Sisil to the poin, menyeimbangkan langkahnya dengan langkah lebar Gavin.
Gavin yang mendengar pertanyaan Sisil seketika mengerutkan keningnya. Apa yang di maksud gadis ini? Gavin tidak paham.
Sisil menatap intens Gavin yang hanya diam saja.
Raut wajah Sisil kembali cemas dan takut. Pria ini hanya diam saja. Bagaimana jika pikirannya ini benar? Sisil takut ingin pulang.
Sisil menghela nafas kasar. Kesal juga, kenapa pria ini hanya diam saja. "Di tanya kok diam aja
nggak bisa ngomong apa? Tuh mulut buat apa kalau bukan buat bicara". Grutuk Sisil.
Jelas-jelas pria itu bisa bicara tapi kenapa sedari tadi hanya diam?
Gavin memang mendengar semua ucapan Sisil. Namun Gavin merasa tidak perlu untuk menjawab atau menyahuti ucapan gadis aneh ini karena itu tidak penting untuknya.
Tiba-tiba Sisil bergidik ngeri. Membayangkan Gavin akan menju*lnya kepada om-om hidung belang. Ah tidak, Sisil tidak mau.
Di sepanjang langkah Sisil terus bertanya tapi tetap saja Gavin hanya diam membisu. Tidak menanggapi ucapan Sisil.
Tapi sekali-kali Sisil bisa mendengar helaan nafas berat yang kelaut dari mulut Gavin.
"Pak!!" Kembali Sisil memanggil.
"Pak, jadi bapak memang mau jual saya? Jangan diam aja dong pak! punya mulut itu di pake!" Gram Sisil kesal bukan main.
Ternyata di dunia ini ada pria sedingin Gavin seperti kutub Utara, beruntungnya wajah Gavin tampan.
Hufttt.
Merasa percuma juga terus bertanya kepada Gavin, yang bahkan tidak menganggapnya ada.
Kini Gavin berhenti di depan lift begitupun dengan Sisil.
Sisil menatap Gavin dengan tatapan kesal dan wajahnya di tekuk.
Ting.
Pintu lift terbuka.
Ada seseorang yang keluar dari lift.
itu adalah seorang pria bertubuh gempal bersama dengan seorang perempuan seksi yang sedang pria itu gandeng tangannya.
Perempuan itu bergelayut manja di tangan kekar si pria, sangat jelas sekali jika usia mereka jauh berbeda. Pria itu lebih pantas menjadi ayahnya dibandingkan menjadi seorang kekasih.
Keduanya keluar melewati Sisil dan Gavin.
Tanpa di duga pria gempal itu melirik Sisil lalu tersenyum miring.
Glk.
Sisil yang di lirik aneh seperti itu menelan ludahnya susah payah menundukan kepalanya takut. Aura pria itu menyeramkan sekali.
'Bisa-bisanya si cewek mau pacaran sama pria paru baya.' Batin Sisil merasa tidak habis pikir.
Mengapa bisa wanita cantik itu mau berhubungan dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahnya? Ah, mungkin karena uang? Makanya perempuan itu mau berpacaran dengan pria itu?
Menolehkan kepalanya ke belakang, merasa penasaran juga dengan dua sejoli itu.
"Apa benar mereka berpacaran? Atau sudah suami istri?" Gumam Sisil masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sisil mengerjap. Ketika membayangkan si perempuan itu bukanlah istrinya melainkan simpanannya.
"Ah, jangan-jangan simpanannya". Sisil masih sibuk menerka-nerka.
Kening Sisil mengerut. Kenapa juga dirinya harus memikirkan itu? Terserah mereka saja mau sepasang kekasih ataupun bukan, kenapa jadi Sisil yang kepikiran.
Gavin masuk kedalam lift setelah dua sejoli tadi keluar, menatap datar Sisil yang masih berdiri di luar lift.
"Masuk." Titah Gavin singkat padat dan jelas.
Mendengar suara dingin itu seketika Sisil menoleh menatap lift yang akan tertutup, matanya sedikit membulat dan dengan segera masuk kedalam lift sebelum lift benar-benar tertutup.
Di dalam lift. Sisil masih berfikir untuk apa Gavin membawanya ke apartemen. Kenapa juga Sisil harus menurut masuk ke dalam lift? Seharusnya Sisil pergi saja. Menggerutu kesal dalam hati.
'Gimana Ini.' Batin Sisil jari jemarinya saling bertaut cemas, tidak tau harus berbuat apa.
Sisil menatap Gavin, saat ini pria itu sedang memainkan ponselnya.
"Gimana kalau dia mau jual gue." Gumam Sisil namun masih bisa Gavin dengan, walaupun begitu Gavin hanya diam saja tidak menyangkal tuduhan Sisil dan tidak ingin menjelaskan apapun.
"Pak, bapak mau jual----"
"Jangan banyak bicara kalau kamu tidak mau saya jual." Ucap Gavin penuh penekanan dengan raut wajah dinginnya, melirik Sisil sekilas dan kembali fokus ke layar ponselnya.
Seketika Sisil langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat tidak berani bersuara lagi.
Walaupun dirinya menahan kesal dengan sikap pria dingin ini.
Ting.
Pintu lift pun terbuka di lantai 10.
Gavin keluar terlebih dahulu dari dalam lift, dengan ragu Sisil pun ikut keluar berjalan mengikuti langkah besar Gavin.
Di sepanjang langkahnya Sisil di liput kecemasan.
Kini Gavin berhenti berjalan di salah satu pintu. Sisil pun ikut berhenti di belakang badan besar Gavin. Menatap pintu yang tertutup rapat lalu menatap punggung Gavin.
Cowok tampan itu langsung membuka pintu dan melangkah masuk kedalam.
Sisil berjalan mendekati pintu, langkahnya terhenti di ambang pintu.
Menimbang-nimbang. Apa dirinya ikut masuk saja? Atau kabur saja karena takut pria itu akan menju*lnya?.
Tiba-tiba Gavin berhenti berjalan ketika merasa gadis yang ia bawa tidak ikut masuk.
Berbalik badan menatap Sisil yang hanya berdiri di ambang pintu.
Sisil terkesiap saat bertemu pandang dengan Gavin.
"Kenapa diam? Masuk." Titah Gavin, ekspresi wajahnya masih sama seperti tadi datar dan dingin.
Sisil sedikit terkejut dan dengan segera masuk kedalam lalu menutup pintu
Sisil kembali terdiam mematung.
Lagi-lagi dirinya mengikuti perintah cowok itu. Sisil jadi bingung sendiri, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Tapi Sisil juga merasa penasaran ada apa di balik ruangan ini. Rasa takut dan penasaran seketika menjadi satu.
Gavin kembali berjalan setelah memastikan gadis yang ia bawa masuk kedalam. Tanpa berfikir lagi Sisil pun memilih untuk mengikutinya karena sudah terlanjur masuk kedalam apartemen ini.
Di dalam sana tepatnya di sebuah sofa tunggal terlihat ada seorang pria, kelihatannya usianya sama dengan Gavin.
Duduk santai sambil memainkan benda pipihnya
belum menyadari kedatangan Gavin dan Sisil.
Sisil berhenti berjalan ketika melihat ada seseorang yang sedang duduk di sofa.
Deg.
Wajah Sisil menegang matanya membulat sempurna jantungnya berdetak kencang, rasa panik dan khawatir kembali menguasainya.
Jadi pikirannya ini benar, jika Gavin akan menju*lnya kepada laki-laki yang sedang duduk di sofa?. Wajah Sisil pucat pasti, tubuhnya gemetar takut.
Apa mungkin ini akhir hidupnya? Jika seperti itu lebih baik Sisil menggantikan Sella saja yang akan di jodohkan di bandingkan harus di jual kepada pria itu.
Tangan dan kaki Sisil gemetar hebat tubuhnya kaku di tempat.
"Pak! Sa-saya tidak mau di jual." Teriak Sisil membuat langkah Gavin terhenti.
Mata Sisil berkaca-kaca akan kembali menangis. Sungguh saat ini Sisil benar-benar takut.
"Cita-cita saya tinggi pak, ingin menjadi wanita karir, menjadi sukses dan ingin kuliah sampai S2!!" Lanjut Sisil dengan suaranya yang gemetar menahan tangisan. "Ta-tapi bapak tega mau jual saya kepada pria i-itu?"
Faresta. Ya, dia adalah Faresta temannya Gavin.
Faresta yang sedari tadi fokus ke layar ponselnya. Seketika mengalihkan pandangannya ketika mendengar seseorang berbicara.
Faresta mengerutkan keningnya ketika melihat Gavin dan ada seorang gadis yang sedang berdiri di belakang temannya.
Siapa gadis itu? Pikir Faresta.
"Semua cowok sama saja bisanya memanfaatkan kelemahan cewek. Bapak tega ya mau jual saya, apa bapak tidak bisa melihat jika saya ini masih muda ting-ting!! masa depan saya masih panjang" Sungut Sisil sambil menatap punggung kekar Gavin. Tangannya terkepal kuat menyalurkan rasa takut dan amarah.
Gavin menghela nafas kasar lalu berbalik badan menatap Sisil.
Rasanya telinganya ini gatal mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut gadis itu.
Berjalan mendekati Sisil dengan tatapan tajamnya.
Melihat tatapan tajam Gavin membuat Sisil terkesiap gelagapan di tempat, menelan salivanya susah payah.
Takut, itu yang Sisil rasakan. Kenapa aura pria ini menyeramkan sekali.
Jika akhirnya seperti ini lebih baik Sisil di antar pulang saja oleh Yuda. Kini rasa sesal yang Sisil rasakan.
Sisil tidak berfikir dahulu sebelum memaksa ikut dengan pria itu. Sekarang hidup Sisil terancam. Entah apa yang harus Sisil lakukan jika memang benar pria itu akan menju*lnya.
Dengan perlahan Sisil mundur ketika Gavin terus mendekatinya.
Gavin menghentikan langkahnya tepat di hadapan Sisil. Menatap Sisil datar, sedari tadi gadis ini terus menuduhnya yang bukan-bukan.
"Sa-saya akan melaporkan bapak ke pol---"
"Diam." Bentak Gavin membuat Sisil terlonjak kaget.
Langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat tidak berani bicara lagi.
Tes.
Tidak bisa menahan air matanya lagi, satu tetes air mata Sisil berhasil lolos. Gavin yang melihat itu sedikit mengerjap.
Apa dirinya terlalu kasar sampai membuat gadis itu ketakutan?
Menghela nafas berat mengalihkan pandangannya dari Sisil.
Gadis ini sudah salah paham. Sebenarnya Gavin males bicara untuk menjelaskan mengapa dirinya membawa Sisil ke apartemen.
"Siapa yang akan jual kamu, haah?" Tanya Gavin dengan menekankan suaranya, menahan kekesalannya, sedari tadi Sisil terus menuduhnya.
Sisil mengerutkan dahinya, jadi ternyata dugaannya itu salah? Gavin tidak akan menju*lnya?
Mengerjap-ngerjapkan matanya sambil menatap Gavin.
Gavin yang melihat tatapan polos Sisil seketika kembali mengalihkan pandangannya. Kenapa juga gadis itu terlihat lucu, mata polos itu seperti yang tidak tau apapun.
"Terus kenapa bapak bawa saya kesini? kenapa nggak antar saya pulang?" Tanya Sisil sambil mengusap pipinya yang basah karena air mata.
Gavin menghela nafas kasar.
"Kamu nggak bilang di mana rumah kamu". Jawab Gavin dengan wajah datar.
Karena sibuk menangis Sisil jadi lupa memberi tahu alamat rumahnya kepada Gavin.
"Bapak juga nggak nanya" Sewot Sisil.
Ya disini Gavin juga salah, karena tidak bertanya dimana rumahnya. Jadi, bukan sepenuhnya salah Sisil.
"Duduk" Titah Gavin. Sudah tidak mau berdebat lagi, itu membuang waktunya saja.
Gavin berjalan lalu duduk di sofa panjang. Bibir Sisil mengerucut kesal. Dan dengan ragu Sisil pun ikut duduk di sofa panjang sebelah Gavin.
Sisil sudah merasa tenang, ternyata Gavin tidak akan menju*lnya.
Faresta yang sedari tadi hanya diam di buat bingung dengan situasi itu. Gavin, temannya membawa seorang gadis ke apartemen?.
Dengan penasaran Faresta menatap Gavin.
"Siapa gadis itu bro?" Tanya Faresta sambil menatap Sisil.
Gavin tidak menjawab hanya terdengar helaan nafas beratnya sambil menyenderkan punggungnya ke sofa mengendorkan dasinya.
Gavin terlihat sangat lelah. Seharian bekerja di kantor di perjalanan malah menyaksikan drama anak remaja, dan sialnya lagi satu remaja ikut dengannya, membuatnya tambah pusing saja.
"Nggak ada minuman apa? Air putih gitu." Sisil merasa haus mengelus-elus lehernya. Tenggorokannya terasa kering karena menangis tadi.
Sisil menyenderkan punggungnya ke punggung sofa, melirik Gavin dan Faresta secara bergantian.
"Siapa nama kamu?!!" Tanya Faresta penasaran juga dengan nama gadis cantik yang temannya bawa itu.
Di mata Faresta. Sisil terlihat gadis yang berani cantik dan juga imut.
Sisil menatap Faresta yang duduk di sofa tunggal.
"Mau tau nama gue? Buatin minum dulu". Nego Sisil.
Seketika Faresta tersenyum sambil menaikan sebelah alisnya. Memang gadis berani.
"Mau di buatin minuman apa cantik!!" Tanya Faresta sambil tersenyum manis kepada Sisil.
Baru kali ini Faresta di perintah oleh seorang gadis. Sementara Gavin hanya diam memejamkan matanya dengan kepala menyender di punggung sofa, tidak perduli dengan kedua anak manusia itu.
"Air putih aja".
Faresta mengangguk dan bangkit dari duduknya,lalu berjalan menuju dapur.
Setelah mengambil dua gelas air. Faresta menatap dua gelas air itu lalu melihat ke arah Sisil dan Gavin.
Membuka salah satu laci yang ada di dapur dan di laci itu Faresta melihat ada sebuah kotak p3k .
Membuka kotak obat itu tanpa dikeluarkannya dari laci, mengambil sesuatu dari dalam kotak obat tersebut. Setelah itu kembali menutup laci.
Faresta menuangkan sesuatu kedalam dua gelas berisi air. Setelah kedua gelas itu di beri sesuatu. Segera Faresta membawanya untuk Gavin dan Sisil minum.
'Maafin gue bro.' Batin Faresta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments