Diruang rawat VVIP itu, kini menyisakan Marine dan Zen dengan keheningan. Hanya terdengar suara nafas Marine yang memburu menahan emosi yang sedari tadi ia tahan demi menghormati orangtua Zen. Drama yang dibuat Zen berhasil mengacak-acak hatinya.
Zen yang baru keluar dari kamar mandi kini nampak lebih segar. Ia sudah memakai pakaian santai yang dibawakan oleh kedua orangtuanya.
Masih dengan perban dibagian pelipis, tidak memudarkan ketampanan dan tampilan kerennya. Zen mulai membuka sati persatu isi tas yang ada diatas ranjangnya itu. Ia membuka parfum yang sudah pasti dipilihkan sang ayah. Aroma maskulin kini menguar diruangan itu tatkala Zen menyemprotkan wewangian itu ke tubuhnya.
Zen mengibaskan rambutnya yang masih basah dan mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Marine hanya memutar bola matanya jengah. Melihat pria tampan yang sedang sibuk dengan aktivitasnya membuatnya gerah. Zen akhirnya mengarahkan pandangannya kesana, ke sofa panjang yang sedang di duduki oleh Marine.
"Kamu kenapa diam saja, sayang? " Senyum Zen terbit dengan manisnya
"Hentikan, Zen. Disini hanya ada kita berdua. Jadi nggak perlu sandiwara lagi" Jawab Marine acuh
Zen berdiri, melangkahkan kakinya pelan dan melihat reaksi Marine perlahan ketika ia mulai mendekat. Sampailah ia berdiri didepan Marine yang masih terduduk dengan wajahnya yang kesal.
"Kenapa?" Marine mendongak melihat Zen yang kini menatapnya sambil berdiri.
Zen hanya diam, namun pergerakannya kali ini yang tidak bisa diam.
Zen membungkuk, kemudian menaruh kedua tangannya disandaran kursi sofa yang diduduki oleh Marine. Kini Marine pun berada dalam kungkungannya.
"Apalagi sekarang yang mau kamu lakukan? Huh?! " Zen masih diam dan menatap Marine lekat.
Marine menundukkan kepalanya ketika Zen semakin mendekatkan wajahnya. Pergerakan Zen yang tidak mau diam membuat tangan kirinya memegang dagu Marine untuk kembali menatapnya. Kini pandangan mereka saling bertemu lekat dan lebih dekat, bahkan hembusan nafas Zen yang beraroma mint kini sampai ke hidung Marine.
"Kenapa nggak mau dipanggil sayang? " setelah diam, kini Zen bersuara setengah berbisik
"Itu panggilan untuk seorang pacar"
"Apa hanya pacar yang boleh dipanggil sayang?" Bisiknya lagi
Kini pandangan Zen mulai turun ke hidung Marine, lalu sampai ke bagian bibir meronanya. Marine yang tidak menyadari itu terus menjawab pertanyaan Zen.
"Orang yang kamu sayangi juga bisa kamu panggil begitu. Tapi bu-"
Cuupp... !!!
Zen mengecup bibir Marine tanpa permisi, membuat Marine membelalakkan matanya. Marine tidak menolak apalagi meronta, ia hanya diam seperti pertama kali Zen menciumnya.
Ciuman itu berlanjut ketika Zen mulai memagut bibir merona itu dengan lembut. Dengan mata terpejam ia menikmati lembutnya bibir yang sedari tadi menggodanya. Jantung Marine semakin bergemuruh kencang, badan pun menjadi panas dingin dibuatnya. Zen yang masih memegang dagu Marine kini berpindah ke tengkuk lehernya dan semakin memainkan ciumannya.
"Marine!!! Sadarlah!!! " Hati Marine memberontak, namun tubuhnya enggan melakukan itu.
Kini Marine justru ikut memejamkan mata, menikmati bibir manis beraroma mint milik Zen yang terus memagutnya tanpa henti. Merasa bahwa Marine tidak menolaknya, Zen menghentikan sedetik ciumannya dan tersenyum.
Marine yang masih memejamkan matanya hanya diam dan menelan saliva. Ketika Marine hendak bicara, Zen menciumnya kembali.
Kali ini, Marine membalas ciuman Zen dan mereka berdua saling menikmatinya satu sama lain. Zen kembali memagut, menghisap dengan gemas bibir yang lembut dan manis itu. Marine pun membalasnya dengan malu dan ragu-ragu.
Ceklek...
"Zen... "
Suara Meilan yang tiba-tiba masuk ke ruangan membuat Marine membuka matanya dan mendorong Zen sampai terjatuh ke lantai. Zen yang masih lemah pun merasa kaget dan sedikit kesakitan.
"Aaarrrgghhhh.....!!! " Ringis Zen kesakitan
"Zen, kamu tidak apa-apa? " Meilan berlari dari pintu ke sofa yang mereka duduki.
Sofa yang mereka duduki berada disamping pintu masuk ruangan itu. Meilan memanggil Zen karena ia melihat ranjang nya sudah kosong, jadi ia memanggilnya untuk memastikan apakah Zen masih disana atau sudah pulang lebih dulu bersama Marine. Sebenarnya Meilan juga tidak melihat adegan itu karena terhalang pintu yang ia buka.
"Kamu terjatuh? " tanya Meilan lagi
Marine sibuk merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena ulah Zen. Kemudian ia pun menghampirinya dan membantunya berdiri.
"Sini, biar aku bantu" Senyum Marine terbit dengan canggung "Kalau belum bisa berdiri tegak, harusnya kamu jangan coba berdiri dulu, Zen" tambahnya lagi seraya mendudukan Zen di sofa.
"Zen jatuh? " tanya pak Jiang
"Iya pak, tadi dia memaksakan diri untuk berjalan dan kemudian terjatuh. Mungkin itu karena luka dikepalanya jadi masih sedikit pusing" Kini Marine yang memegang skenario.
Marine masih duduk disamping Zen sambil memegang kedua pundaknya dari belakang. Kemudian Zen memindahkan kedua tangan Marine ke hadapannya untuk ia genggam. Zen yang seolah tidak terima skenarionya diambil alih, ia pun kembali memainkan peran.
"Kalau begitu, kenapa harus pulang sekarang? Kamu mungkin masih butuh perawatan medis nak" ucap sang Ibu, Meilan.
"Ma, dokter Dave tadi sudah menyuruhku pulang dan aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat dan dirawat oleh pacarku. Itu saja" Senyum penuh kemenangan kini diperlihatkan pada Marine.
"Iya kan sayang? " tambah Zen lagi.
Meilan dan Jiangmi hanya tersenyum melihat kemesraan anaknya.
****
Marine melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah, karena kini ia membawa orang sakit dan orang tua yang memiliki penyakit jantung. Zen belum diperbolehkan berkendara dahulu, sebelum melakukan kontrol sekaligus melepas perban pada minggu berikutnya. Begitu pesan perawat bagian apoteker saat Marine menebus obat untuk Zen sebelum meninggalkan rumah sakit.
Zen berada disamping Marine yang tengah menyetir, sedangkan Meilan dan Jiangmi duduk di kursi bagian belakang.
"Nak, rumahmu dimana? Apa kamu masih tinggal dengan mereka? " Tanya Meilan memecah keheningan.
"Ah, saya tinggal sendiri bu. Kedua orangtua saya sudah meninggal sejak saya duduk di bangku SMA. Saya tinggal di apartemen blok B"
"Oh, maaf nak. Pertanyaan istriku mungkin membuatmu sedih" Timpal Jiangmi
"Sama sekali tidak, pak. Saya sudah ikhlas, jadi saya sudah biasa ketika ada orang menanyakan perihal orangtua saya" timpal Marine
"Blok B itu bukankah dekat dengan apartemen Zen? " ujar Jiangmi
"Iya, Pak. Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke apartemen Zen"
"Tapi kalau aku minta jemput, kamu selalu datang 30 menit kemudian, yang 10 menit kamu kemana? " Zen ikut bergabung
Marine tersenyum terpaksa kearah Zen "Ah, kamu seperti nggak tau aja. Wanita kan belum percaya diri kalau belum berdandan, Zen" Marine kemudian mencubit lengan Zen
"Aawww!!!!! " Zen kaget dan meringis karna merasa cubitannya yang pedih.
Lagi-lagi Jiangmi dan Meilan hanya bisa tersenyum malu-malu melihatnya.
Setelah berkendara sekitar 1 jam, Marine sampai di depan apartemen Zen dan langsung memarkirkan mobilnya.
Marine membantu Zen turun dari mobil dan memapahnya. Mereka semua masuk ke apartemen Zen bersamaan.
Klik..
Ceklek...
Pin apartemen terkonfirmasi, pintu rumah pun dibuka oleh Zen. Disana ternyata sudah ada Bu Sihan yang tengah menyiapkan makanan dimeja makan.
"Ah, Ibu, Bapak anda kemari juga" Sergah Sihan saat Meilan dan Jiangmi melewati dapur
Meilan juga Jiangmi kemudian menyapa Sihan dan duduk dimeja makan. Mereka mengobrol sembari menyiapkan makan malam, karena hari sudah sore.
Marine yang memapah Zen sampai dikamarnya.
"Ahhhh... Akhirnya aku kembali ke kasurku" Zen langsung menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur
Marine kemudian membereskan pakaian Zen dan juga obat-obatan yang harus dikonsumsinya selama satu minggu ini.
"Obat-obatanmu sudah aku susun dan minumlah sesuai dosis yang tertera dibungkusnya ya, jangan lupa makan sebelum meminum obatnya" Marine menaruh obatnya diatas Nakas dekat tempat tidur
Zen kemudian mendudukkan dirinya "Oke. Terimkasih" Senyuman itu lagi-lagi terbit bak matahari menyilaukan.
Marine menutup matanya dan menarik nafas dalam-dalam "Jadi, aku bisa pulang sekarang kan? Aku lelah, mau istirahat" keluhnya kemudian
Zen menepuk-nepuk tempat tidurnya "Yah, istirahatlah disini. Bersamaku" Zen merebahkan tubuhnya lagi
Marine mendelik dan mendengus "Apa!!!! Kamu semakin-"
"Menggoda... " Potong Zen seraya merubah posisi tidurnya miring kearah Marine
"Ck. Menggoda??? "
"Iya. Kalau tidak menggoda mana mungkin kamu mau membalas ciumanku tadi"
Marine terdiam, sedetik kemudian dia membuang muka dan hendak pergi. Namun tangannya ditahan oleh Zen.
Marine masih memalingkan wajahnya dan enggan untuk menatap Zen. Entah terlalu malu atau terlalu mau untuk menatapnya sungguh tidak berani ia lakukan lagi.
"Bukankah sekarang kita sepasang kekasih? " Zen mengusap lembut tangan Marine
"Bukan, Zen"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments