Tadabbur Cinta
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur, haalan.”
Seketika hati Silvia remuk berkeping. Tidak pernah menyangka, takdir membawanya pada peristiwa hidup yang memilukan. Hidup se atap bersama lelaki asing yang baru 2 bulan dia kenal. Sebut saja pernikahan tanpa cinta. Ya, menyedihkan.
Usai acara sakral itu, Silvia sengaja duduk menepi di sudut dalam kamarnya yang tidak terkunci. Bersandar di tembok putih, seraya menyeka air matanya berkali-kali.
Tiba-tiba saja suara pintu terbuka, ia dengar. Ya, benar. Seseorang sedang melangkah pelan, menyusup masuk ke kamarnya dan menutup kembali pintu itu. Siapa lagi kalau bukan lelaki asing yang kini bergelar suaminya.
“Kenapa nangis?”tanya lelaki itu.
“Kamu pikir menikah tanpa cinta itu menyenangkan?”Silvia menatap mata sayu lelaki muda itu dengan tatapan amarah.
“Jangan pernah berharap, aku akan melakukan segala kewajibanku sebagai istri. Andai musibah itu gak menimpaku, aku pasti gak menikah dengan lelaki asing yang bahkan aku belum tahu sedikitpun tentang tabiatmu,”ucapnya lagi.
Tapi dia hanya diam, seperti lelaki dungu yang hanya menambah kekesalannya. Sedikit pun ia tak membalas ocehan Silvia.
Yang ada, dia membuka lemari baju dan mengambil satu stel pakaian, lalu kembali keluar dari kamar Silvia. Entah kemana. Terdengar suara mamah dan papah Silvia dari luar kamar yang menegur Yusuf.
"Kemana, Suf?" tanya Pak Boy pada Yusuf.
"Ganti baju, Pah. Gerah, pakai baju ini."
"Silvia mana?"
"Di kamar, Pah. Lagi marah-marah," ucap Yusuf.
Keluarga dan orang tua Silvia masih berkumpul di rumah Silvia. Mereka menikmati aneka macam sajian makanan dan minuman yang sudah dihidangkan. Berbincang santai, hingga beberapa jam lamanya.
Mamah dan papah asuh Silvia mendatangi kamar anak asuhnya, karena khawatir setelah mendengar ucapan Yusuf.
"Silvi .. Kamu kenapa?" tanya Bu Indah.
"Mamah dan papah udah puas 'kan, lihat aku nikah sama orang yang gak pernah aku cinta? Bahkan mengenal tabiatnya aja, gak."
"Ya ampun, Silvi. Mamah tahu ini berat buat kamu. Tapi mamah yakin, ini yang terbaik buat kamu, Silvi. Yusuf lelaki yang terbaik buat kamu, mamah yakin itu."
"Lagian kamu juga harus belajar nurut sama orang tua. Restu orang tua itu sama dengan restunya Tuhan, Teh. Sudah, mamah dan papah mau pulang dulu. Kamu jangan bikin susah suamimu, tidak baik. Toh percuma juga, nunggu laki-laki yang tidak jelas seperti Andrew," sahut papah asuhnya.
***
“Argkh! Kenapa nasib hidupku se sial ini, Tuhan? Apa salahku? Kenapa Kau lakukan ini padaku? Katakan?!”
Tanpa sadar, volume suara Silvia terdengar sangat keras, hingga ke teras rumah. Tidak lama dari histeris nya, lelaki asing itu kembali hadir di kamar Silvia dengan wajah panik.
“Kenapa lagi? Kenapa kamu menjerit marah se histeris itu, Albi sayang?”tanya nya.
Seketika mata Silvia melotot dan amarahnya semakin memuncak, karena mendengar Yusuf berani memanggilnya ‘albi’ ditambah dengan kata ‘sayang’ yang membuatnya semakin ilfeel pada Yusuf.
“Apa kamu bilang? Jangan pernah panggil aku dengan panggilan sayang. Aku gak sudi, kamu panggil kayak gitu!”teriak Silvia.
“Hari ini saya sudah resmi menjadi suamimu. Itu artinya saya punya hak penuh atas kamu. Termasuk berhak memanggilmu dengan panggilan khusus. Kamu tidak bisa semudah itu melarang saya,”ujar lelaki itu.
“Kalau kamu belum bisa mencintai saya, tidak apa-apa. Suatu hari nanti, kamu pasti bisa mencintai saya seperti saya mencintai kamu,”sambungnya.
Senyuman miring. Hanya itu yang Silvia berikan pada Yusuf sebagai jawaban dari kepercayaan diri Yusuf yang terlalu tinggi, untuk bisa memilikinya. Sedangkan hati Silvia bertolak belakang jauh dengan keyakinan Yusuf.
Gadis bungsu itu masih mencintai Andrew dan dia yakin, Andrew pun sama sepertinya. Baginya, Andrew lah lelaki yang terbaik untuknya. Selama ini dia yang selalu ada dikala Silvia susah dan senang. Andrew yang selalu ciptakan tawa bahagianya. Sedangkan Yusuf?
***
Tepat pukul enam malam, rumah Silvia baru sepi dari tamu. Yusuf membersihkan rumah besar itu seorang diri, lalu menutup pintu dan semua jendela rumah. Sementara Silvia masih betah berada di dalam kamarnya dengan pakaian yang sudah ia ganti dan jilbab yang sudah ia lepas.
“Malam ini saya akan tidur di kamar ini bersamamu.”Lagi-lagi perkataan lelaki asing itu membuat Silvia semakin emosi.
“Enak aja! Gak bisa! Ini kamarku, bukan kamarmu. Kalau kamu ngantuk, tidur saja di kamar tamu,”ujar Silvia bernada kesal.
“Tapi saya suamimu, bukan tamu.”Yusuf tersenyum, seolah meledek Silvia.
“Kamu tidak mau melayani saya, 'kan? Tenang saja, saya tidak akan meminta jatah apapun ke kamu, kalau kamu tidak menginginkannya. Saya tidur di bawah, kamu yang di kasur,”imbuhnya.
Kembali pergi dan cukup lama meninggalkan Silvia di kamar seorang diri. Gadis bungsu berdiri di depan cermin, sembari menghapus air matanya. Bengkak, kedua matanya akibat terlalu lama menangis. Tapi dia sudah sedikit tenang, karena lelaki asing itu bersepakat untuk tidak menyentuhnya sedikit pun tanpa seizinnya.
***
Hampir larut malam. Tetapi lelaki asing itu belum juga masuk ke kamarnya. Rasa penasaran Silvia mulai mengusik hati dan mengajaknya keluar dari kamar untuk mencari Yusuf.
Hampir seluruh ruangan dia datangi, tetapi tidak dia jumpai wajah tampan bermata sayu. Ya, Silvia akui dia sangat tampan, sesuai dengan namanya, ‘Yusuf,’seperti Nabi Yusuf yang ia baca dalam cerita sejarah Islam.
Terakhir, kakinya berhenti di depan mushola, tepatnya di lantai dasar rumahnya. Suara lantunan ayat-ayat suci mengalun begitu merdu dan mendamaikan hatinya. Silvia mendekati pintu mushola yang terbuka. Berdiri sedikit menyamping dan terus mendengarnya sampai selesai.
“Kenapa berdiri disitu? Masuk lah.”
Dia tercengang mendengar suara teguran suaminya dan ia putuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun langkah kakinya terhenti di anak tangga bawah, karena teriakan Yusuf kembali dia dengar.
“Saya malam ini ada kerjaan yang harus diselesaikan lebih dulu. Jadi kalau kamu ngantuk, tidur dulu saja, pintunya jangan dikunci!”
Silvia menoleh dengan alis berkerut dan murung. Kala itu yang terlintas dibenak Silvia adalah pekerjaan Yusuf yang merepotkannya.
“Itu hanya modusmu aja, 'kan? Pasti nanti kalau aku udah tidur, kamu mau macem-macem ke aku. Ya, 'kan? Ngaku!”teriak Silvia kembali mencacinya. Suara tawa Yusuf membuatnya semakin geram dan tidak ingin melihat lelaki itu.
“Ngapain saya memodusimu? Saya ini suami Sah mu, Silvia. Tidak perlu repot-repot membohongimu seperti maling yang mau nyuri motor. Kalau saya menginginkanmu, saya tinggal minta padamu, 'kan?”
"Bisa gak, ngerjakan tugas di dalam kamar aja? Aku gak mau tidurku terganggu oleh suara pintu kamar."
Lelaki asing menghampiri Silvia dan tiba-tiba saja menggandeng tangannya, bersama-sama naik ke lantai dua menuju kamar Silvia.
“Ma–mau ngapain? Aku gak mau ngasih kamu apa-apa! Lepasin tanganku!”bentak Silvia lagi.
“Dasar cewek rewel. Tadi kamu sendiri 'kan yang meminta saya untuk lembur di dalam kamar? Sekarang saya ajak kamu ke kamar, malah ke GR-an. Maunya apa?”tanya Yusuf.
Lagi-lagi Silvia kembali murung, kala itu. Tapi setiap menatap sayu mata suaminya, entah mengapa hatinya terasa tenang, sama seperti saat dia mendengar lantunan ayat suci yang Yusuf baca beberapa menit yang lalu. Tak ingin lagi berbasa-basi.
Silvia masuk ke kamarnya lebih dulu dan Yusuf pamit mengambil laptopnya di ruang keluarga yang berada di depan kamar Silvia, sedikit jauh. Tidak lama, dia kembali dengan senyuman yang selalu ia berikan kepada Silvia, seperti tanpa rasa berdosa sedikit pun.
Tangan kanannya menyeret kursi office dan duduk disana, membelakangi Silvia. Sempat beberapa menit gadis bungsu melihat wajah tampan suaminya dari kaca cermin lemari, sebelum dia tidur.
Dua jam sudah, Yusuf menatap layar laptopnya. Hingga dia lupa, kalau ada gadis tercintanya yang tidur di belakangnya, saat ini.
Yusuf menoleh, “Masyaallah, sudah tidur.”
Dia mendekati Silvia dan naik ke ranjangnya secara perlahan, agar Silvia tidak terbangun lagi bersama suara ocehannya yang menggelegar.
Cup. Sekali kecupan di kening, Yusuf berikan untuk pertama kalinya. Meskipun Silvia tidak tahu, tetapi Yusuf merasa senang, bisa melakukannya.
“Allahumma inni as' aluka min khairi haa, wa khairi maa jabaltahaa 'alaihi wa'auudzubika min syarri haa wa syarri maa jabaltaha 'alaihi.”
Kembali ia mengecup kening istrinya, sembari mengusap lembut rambutnya, setelah membacakan sebuah doa khusus untuk Silvia.
Identitasnya sebagai santri, sekaligus putra tunggal dari seorang Kyai dan pemimpin yayasan pendidikan Islam, masih melekat dalam dirinya. Mengaji dan berdoa adalah senjata andalannya.
***
Hingga waktu subuh datang, Silvia masih tidur pulas di atas kasurnya. Lelaki asing yang Silvia benci itu dengan penuh keberanian, mendekatkan wajahnya demi membisikkan sesuatu pada Silvia.
“Albi, bangun. Waktunya salat subuh,” ucapnya. Bisikan yang terus diulang-ulang olehnya. Namun dengan enteng, Silvia menolak ajakan baik Yusuf.
“Masih ngantuk. Subuhan sendiri aja, lah! Ganggu orang tidur aja!”
Melambaikan tangan, kode mengusir Yusuf dari kamarnya. Lelaki santri itu hanya diam dan menarik nafas panjang.
“Astaghfirullah .., beri hamba kemudahan untuk mendidiknya dengan kesabaran, Ya Rabb.”
Pergi ke mushola seorang diri lagi. Semua tidak sesuai dengan ekspektasinya, dulu. Awal dirinya mengenal Silvia, dia yakin kalau Silvia adalah gadis baik- baik dan rajin ibadah. Tetapi semua praduganya salah dan justru sebaliknya.
Tak lama dari kepergiannya, Silvia membuka satu matanya, lalu meloncat turun dari ranjang tidurnya dan mengintip Yusuf dari lantai 2, tepat di depan kamarnya.
“Rupanya dia udah mulai salat,”ujarnya.
Gadis bungsu, segera membersihkan diri, lalu melaksanakan salat subuh di dalam kamarnya, seorang diri. Pintunya sengaja ia kunci, agar lelaki yang ia juluki lelaki asing itu tidak bisa memasuki kamarnya dan melihatnya sedang salat. Salat yang terburu-buru, tentunya.
“Untung ..., aja gak ketahuan dia kalau aku salat sendirian. Aku pengen tahu, seberapa besar sabarnya ngadepin aku. Cowok berlaga sok sabar. Kita lihat aja nanti, endingnya bakal gimana,”gerutunya bersuara lirih.
“Paling juga, habis ini minta cerai karena gak kuat sama kelakuanku,”gerutunya lagi.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di telinganya. Silvia panik dan segera mengemas mukena dan sajadahnya. Dia berlari mendekati pintu dan menempelkan telinganya.
“Mampus kau, Silvia. Dia udah ada di depan pintu. Gimana nih? aku harus alasan apa?”batinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Daniel Aufa
update sll
2023-11-08
1