CLARGA
Suasana mencekam begitu terasa di dalam ruangan ini. Ruang tamu dengan furniture barang-barang mewah, sudah jelas pemilik rumah ini bukanlah orang biasa.
Lelaki tua duduk di sofa, berkacamata dengan kerutan memenuhi sekitar matanya itu. Asap mengepul dari cerutu yang tidak di hisapnya sama sekali.
Sampai akhirnya ia bangkit dari duduknya, berdiri dengan postur tubuh yang sedikit bungkuk karena faktor usia.
“Kalian semua disini mendengar apa yang sudah di katakan pengacara mendiang kakakku tadi. Sungguh aku tidak terima dengan semuanya, padahal sangat jelas hanya akulah keluarganya!” cetus Satya Sastro.
“Lalu apa yang akan Papa lakukan?” tanya Tria-sang anak.
Tatapan Satyo beralih pada Clarrisa-sang cucu-seraya tersenyum tipis.
Clarrisa hanya terpaku pada layar ponselnya tidak mengerti apa yang terjadi.
“Sepertinya aku punya rencana yang sangat bagus, tapi rencana ini akan berjalan baik jika Clarrisa ikut terlibat,” ujar Satya.
“Apa yang bisa di lakukan Clarrisa? Dia tidak punya basic pendidikan di bidang bisnis, kalau harus nimbrung di kantor itu akan sulit!” jawab Tria.
“Tidak ada urusannya dengan kantor!” lalu Satya duduk di samping Clarrisa.
“Clarrisa ...” ucap Satya lembut seraya mengelus rambutnya.
“Ada apa, kakek?” tanya Clarrisa heran.
“Emmmh ... apa kau bisa membantu kakek?”
“Aku akan membantu jika aku bisa, tapi kalau urusan kantor aku tidak ingin melakukannya. Kakek tahu kalau basic-ku di model, aku tidak bisa menggunakan otakku untuk di kantor,” jelas Clarrisa.
“Ya karena itulah, kamu cantik makanya bisa menolong kakek.” Satya tersenyum lebar.
Clarrisa mulai meletakkan ponselnya dan penasaran dengan apa yang ingin kakeknya itu sampaikan.
“Kau tahu kalau semua harta warisan kakek Pras jatuh ke tangan Galih. Itu semua tidaklah adil, kita sebagai saudaranya tidak mendapatkan sepeserpun. Malah Galih yang hanya pembantu yang di pungut dari jalanan yang mendapatkannya,” jelas Satya.
Arnold menghela nafas panjang dan akhirnya bicara setelah sejak tadi hanya duduk diam di samping Tria.
“Pa, kenapa harus memikirkan harta orang lain? Harta keluarga kita sudah cukup, bahkan mungkin tidak akan habis tujuh turunan. Untuk apa membahas warisan paman Pras?” tanyanya.
Arnold adalah anak bungsu Satya adik dari Tria dan Giska.
“Kamu ini belum paham apa yang terjadi. Jangan banyak bertanya dan ikuti saja apa yang Papa katakan!” ujar Satya.
“Kakek, apa yang paman Arnold katakan ada benarnya. Harta kita sudah banyak untuk apa meributkan harta orang lain,” ujar Clarrisa.
“Clarrisa, kamu jangan ikut-ikutan pamanmu. Kamu juga seharusnya bersikap seperti kakek, kamu tahu sendiri selama ini bagaimana kakek Pras begitu menyayangimu seperti cucu kandungnya sendiri. Akan tetapi, kamu tidak mendapatkan apa-apa. Kakek yakin kalau ini semua ada campur tangan Rendi-asisten kakek Pras dan si Galih,” jelas Satya.
Clarrisa tidak bicara lagi dan hanya diam memikirkan apa yang kakeknya katakan karena itu ada benarnya juga.
“Itu benar sekali Clar, bagaimana kakek Pras begitu sayang padamu dari kamu kecil. Tidak mungkin tidak meninggalkan apapun untukmu. Ya, minimal Villa di pulau B atau restoran!” timpal Tria.
“Apa yang Mamamu katakan itu benar ...” ujar Satya.
Arnold bangkit dari duduknya dan hendak pergi seraya berkata, “terserah kalian saja. Aku tidak ingin terlibat! Lebih baik mengurusi bisnisku sendiri.” Lalu melengos pergi.
Tinggal Satya, Tria dan Clarrisa setelah Arnold pergi. Giska berada di luar negeri, berkarir di negara P.
“Katakan kakek, apa yang bisa aku bantu?” tatap Clarrisa.
Satya tersenyum lalu mulai bicara serius tentang apa yang di rencanakannya.
Sementara itu di sisi lain ....
Di sebuah rumah mewah dengan bendera kuning masih berkibar di gerbang depan. Menandakan jika ini adalah kediaman rumah duka Prasetyo. Dua orang berbincang di sebuah ruangan yang di penuhi buku-buku berjajar. Sepertinya ini adalah ruangan kerja.
“Pak Rendy, aku pikir-pikir sepertinya apa yang pengacara tadi sampaikan itu terlalu berlebihan. Aku tidak berhak menerima itu semua, selama ini Tuan Pras sudah sangat baik padaku. Menyekolahkanku, hidupku di biayai dan aku masih di beri gaji karena merawatnya. Aku tidak bisa menerimanya,” jelas Galih.
Galih adalah seorang pemuda berusia dua puluh sembilan tahun yang selama hampir dua puluh tahun bekerja pada Prasetyo.
Rendy memegangi kedua bahu Galih. “Justru kaulah orang yang tepat untuk menerima semuanya. Ikuti perkataanku, mulai sekarang lanjutkan apa yang Tuan Pras lakukan dulu. Urus perusahaan dengan baik dan benar! Anggap saja ini adalah rezeki yang Tuhan berikan padamu.”
Galih hanya terdiam, sebenarnya tidak masalah jika dirinya melanjutkan perusahaan karena selama ini ia sudah banyak belajar dan empat tahun terakhir memang hanya fokus di perusahaan. Akan tetapi, untuk menerima seluruh harta warisannya ia merasa tidak enak apalagi Galih juga tahu jika Tuan Pras masih memiliki keluarga yaitu keluarga Satya.
“Jangan di pikirkan! Kau istirahatlah pasti sangat lelah. Aku pulang dulu, jika ada apa-apa hubungi aku.” Rendy pamit pergi.
Galih hanya berdiam diri seraya menatap kepergian Rendy.
Tidak lama kemudian, Galih merapikan barang-barang yang ada di atas meja kerja yang berantakan. Itu adalah meja kerja Tuan Pras. Lalu ia melihat pada foto yang terbingkai dan mengambilnya kemudian senyuman tersungging di wajahnya itu.
“Tuan bersama Nona Clarrisa ... hmmm dari kecil memang sudah cantik dan sekarang saat dewasa semakin cantik,” gumam Galih.
Setelah beberapa saat memandanginya, ia meletakkan kembali foto itu dan setelah rapi Galih keluar dan pergi ke kamarnya.
Rumah besar semakin sepi setelah sang empunya meninggal dunia. Perasaan Galih tidak karuan, sekarang tanggung jawabnya sangat besar dan ia takut tidak mampu melakukan apa yang di wasiatkan oleh Tuan Pras.
Saat berbaring dan hendak memejamkan matanya, pintu kamar ada yang mengetuk. Terpaksa Galih bangkit kembali dan membuka pintu.
“Pak Agus. Ada apa?” tanyanya.
“Itu di ruang tamu ada Tuan Satya sedang menunggumu, katanya ada hal yang sangat penting ingin di bicarakan,” jawab Agus.
Galih terdiam sejenak, ia tidak tahu apa yang ingin Satya bicarakan sampai malam-malam datang menemuinya.
Ia memakai kaos lalu mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Rendy memberitahukan kedatangan Satya. Kemudian Galih menghampiri Satya di ruang tamu.
“Tuan Satya ...” sapa Galih sembari duduk di sofa lainnya.
Satya hanya mendengus lalu mengeluarkan sebuah berkas dan memberikannya pada Galih dengan tidak sopan.
“Cepat tandatangani itu. Malas saya lama-lama disini!” ujar Satya.
Satya mengambil berkas itu dan membacanya dengan saksama lembar demi lembar seraya sesekali matanya melirik pada Satya.
Berkas apa yang harus Galih tandatangani itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments