Satu minggu pasca menikah, mas Ryu kembali melakukan aktifitas seperti biasa.
Hari ini dia sudah harus kembali bekerja karena masa cutinya telah habis. Tidak seperti bunda dan ayah yang sudah berangkat dinas sejak lima hari lalu.
Lantas apa kegiatanku dan mas Ryu di rumah selama satu minggu ini?
Tak ada moment indah yang kami lalui berdua, kami sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Mas Ryu yang lebih sering berada di ruang kerja, sesekali menerima telfon entah dari siapa. Tapi yang jelas dia seperti menghindariku saat bicara di telfon.
Dari pacarnya, atau dari rumah sakit untuk urusan pekerjaan, entahlah aku hanya bisa menerka-nerka tak berani menanyakannya.
Sementara aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di lantai satu bersama dengan bik Titik.
Aku dan mas Ryu terlihat bersama hanya ketika kami makan. Tentu saja di depan bik Titik kami pun harus berpura-pura.
Dan selama tujuh hari ini aku juga terkesan seperti menghindarinya. Maksudnya, jika mas Ryu ada di kamar, aku keluar dari kamar, dan jika aku yang di kamar, mas Ryu pasti ada di lantai bawah, atau enggak di balkon dengan membawa serta laptopnya.
Jadi benar-benar tak ada perbincangan apapun di antara kami.
Saat makan bersama dengan ayah dan bunda aku juga lebih banyak bicara dengan mereka ketimbang sama mas Ryu.
"Bun, berangkat dulu ya!" Pamit mas Ryu, aku yang tengah menuruni anak tangga, di buat keheranan sebab bunda melirikku saat mas Ryu mencium punggung tangannya.
"Kenapa nggak nunggu istrimu, Ry?"
"Nunggu? Memangnya mau kemana, bun?" Balas mas Ryu bertanya. Ia lalu melirikku untuk sesaat.
"Naina mau antarin kamu sampai halaman, kan?"
"Nggak bun"
"Tapi sertinya ini harus, Ryu. Selama ini bunda selalu gitu kan ke ayah, biar di lihatnya tuh adem, harmonis rumah tangganya. Di biasain mulai sekarang, ya!"
"Aku buru-buru bunda" Balas mas Ryu, alih-alih merespon bundanya.
"Maaf bun, tadi pas mas Ryu pamit aku lagi di kamar mandi. Ini baru aku mau nyusul" Selaku saat aku sudah berada di antara keduanya.
"Ponsel mas tertinggal tadi di atas nakas" Imbuhku menyerahkan ponsel dari tanganku.
"Makasih" Mas Ryu menerimanya dengan fokus ke arah ponsel.
"Ya sudah, kamu antar suamimu sampai kedepan bunda mau siap-siap" Usai mengatakan itu, bunda langsung pergi menuju kamarnya.
Sementara mas Ryu, sebelum kembali melangkah, dia tampak menghela napas panjang, lalu memberiku kode supaya aku mengikutinya.
"Besok-besok kalau aku berangkat kerja, kamu bisa stay di kamar dulu sampai aku benar-benar keluar dari rumah, dengan begitu kita nggak perlu bohongin bunda" Ucapnya di tengah-tengah langkah kami.
"Bukankah kita memang sedang membohongi bunda sama ayah?" Entah dari mana datangnya keberanianku ini sampai-sampai aku tak mau kalah untuk merespon kalimatnya. "Pura-pura juga termasuk berbohong, iya kan?"
"Astaghfirullah" Aku beristighfar karena menabrak punggung mas Ryu yang mendadak menghentikan langkahnya.
"Maaf" Kataku begitu dia berbalik.
"Kamu ngomong apa tadi?"
Ku telan ludahku sebelum menjawab. "A-aku hanya mengatakan apa adanya sesuai kondisi kita"
"Jangan banyak bicara apalagi di depan ayah bunda" Pungkasnya sebelum kemudian berbalik dan kembali melangkahkan kakinya.
Sampai dia masuk ke mobil dan melajukannya keluar rumah, baru aku kembali masuk.
Pria itu benar-benar tak ada raut menyenangkan sama sekali.
"Nai, nanti temuin bunda di supermarket ya! Kita belanja sama-sama" Ujar bunda saat kami berpapasan di ruang keluarga.
Ku lihat beliau sudah rapi dengan pakaian dinasnya.
"Jam berapa bun?"
"Bunda keluar kantor jam dua, kamu bisa pergi dari rumah setengah dua"
"Iya bun"
"Okay, bunda berangkat dulu" Ku kecup punggung tangannya. "Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam, hati-hati bun!"
"Ya sayang"
***
Siangnya sesuai perintah bunda, aku sudah berada di supermarket yang tak jauh dari tempat kerja bunda.
Kami akan belanja bahan makanan yang memang sudah hampir habis termasuk peralatan mandi.
Sampo di kamar mandiku juga paling tinggal dua kali pakai. Juga dengan cream pencukur milik mas Ryu yang sama sekali sudah kosong saat ku lihat tadi pagi.
Semua sudah ku catat apa saja yang akan kami beli.
Hampir dua jam kami menghabiskan waktu di dalam supermarket, dan setelah mengantri beberapa orang untuk membayar belanjaan, aku dan bunda akhirnya keluar.
Bunda bilang mas Ryu akan jemput kami karena bunda nggak bawa mobil sendiri saat ke kantor, dia di antar sama sopir pribadi keluarga kami, aku sendiri kesini naik taxi sebab tak bisa mengendarai mobil. Bukannya tidak bisa si sebenarnya, tapi karena lama nggak memakai mobil, aku jadi takut kalau harus menyetir sendiri.
"Sambil nunggu Ryu jemput, bunda ke toilet dulu ya Nai"
"Iya bun"
Sesaat setelah kepergian bunda, aku mendengar ada seseorang memanggil namaku. Ketika netra kami bertemu, aku langsung mengenali wajah wanita itu.
"Kamu Naina kan?" Tanyanya saat dia menghampiriku.
"Iya"
"Masih ingat aku, nggak?"
Ya jelas ingatlah, kamu adalah orang yang pertama kali tahu kalau ayahku meninggalkanku, kamu juga yang pertama kali membocorkan ke teman-teman bahwa aku sudah jatuh miskin dan sedang berpura-pura masih kaya.
Aku nggak akan pernah lupa saat kamu mempermalukanku, mengolokku di depan kelas sekaligus di depan teman-temanku.
Karena gara-gara kamu, aku sampai di cap pembohong, meskipun itu memang benar.
"Kamu Yulsa kan?"
"Tepat sekali" Dia melirik tasku yang terbilang mewah. Tas branded hadiah pernikahan dari kak Lala.
"Kamu_" Wanita yang berdiri di depanku menggantung kalimatnya sejenak "Sudah nggak miskin lagi? Udah nggak pura-pura kaya lagi?"
Aku tersenyum sebelum menjawab kalimatnya. "Masih sama seperti yang dulu kok?"
"Maksudnya gimana, Nai?"
"Masih apa adanya?" Sahutku sambil menerbitkan senyum.
"Oh, jadi masih di posisi kelas menengah ke bawah. Atau jangan-jangan kamu lagi nemenin majikan kamu belanja?"
Belum sempat aku menjawab, bunda tiba-tiba datang. Aku serta Yulsa otomatis mengarahkan pandangan ke wajah bunda.
"Suamimu belum jemput sayang?" Tanyanya.
"Belum, bun"
"Kok belum si, ini sudah setengah lima lho, seharusnya sudah sampai"
"Mungkin sebentar lagi"
Saat melirik ke Yulsa, dia tampak bengong sembari menyimak pembicaraanku dengan ibu mertuaku.
"Oh ya bun, ini Yulsa, teman SMP aku dulu"
"Yulsa" Cicitnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.
"Halo Yulsa, saya Arimbi. Ibu mertuanya Naina"
"Oh jadi ibu mertuanya ya tante, jadi Naina udah nikah" Giliran dia melirikku.
"Pengantin baru, dia" Goda bunda yang juga meliriiku.
"Selamat ya, Naina"
"Makasih, Yulsa" Ekspresi Yulsa tiba-tiba berubah, aku yakin dia terkejut. Dan entah ekspresi apa lagi yang ia tunjukkan nanti saat tahu suamiku seorang dokter yang sangat tampan.
"Kenapa nggak kabarin, si. Aku kan bisa kasih tahu teman-teman kita yang lain supaya datang ke pernikahan kamu"
"Maaf, aku nggak punya kontak teman-teman kita, Yul"
"Ya udah aku minta nomor ponsel kamu Nai, nanti aku masukin ke group teman SMP. Kita ada groupnya loh, belum lama ini juga ngadain reuni"
"Oh ya?"
"Iya" Jawaban Yulsa, bersamaan dengan kedatangan mas Ryu.
"Maaf bun, sudah nunggu lama, ya?" Mas Ryu berkata.
"Lumayan, nak" Sahut bunda,
Pria itu mengecup tangan bunda kemudian ganti aku yang mengecup tangan mas Ryu.
"Ini kita ketemu sama teman Naina, Ry.. Teman SMP katanya" Ujar bunda. "Ini Suaminya Naina, nak Yulsa. Ryu namanya"
Yulsa mengulurkan tangannya berniat untuk berjabat tangan tapi mas Ryu malah menolak. Dia justru menangkupkan kedua tangan di dada yang membuat Yulsa seperti malu-malu.
"Ryu" Ucap mas Ryu menyebut namanya.
"Saya Yulsa"
Setelah mereka berkenalan, bunda langsung mengajak mas Ryu ke mobil dan memintaku melanjutkan pembicaraan dengan Yulsa.
"Kita tunggu di mobil, ya Nai. Kamu silakan tukar-tukar nomor ponsel dulu" Ujar bunda.
"Iya, bun"
Bunda dan mas Ryu lantas melangkah pergi setelah ku iyakan.
"Pria tadi benar suamimu, Nai?" tanya Yulsa dengan raut penasaran.
"Benar, kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, cuma mau mengingatkan kalau di jaman now fitnah kalah kejam dari pelakor. Alias pelakor lebih sadis dari pada fitnah dan istri syah "
"Maksudmu?" Tanyaku tak mengerti.
"Ibu mertua kamu tampak lebih modis dari pada kamu, kalau penampilanmu seperti ini, bisa jadi suamimu cepat bosan"
"Makasih, sudah mengingatkan. Ini nomor ponselku, kamu bisa hubungi aku kapan saja" Kataku menyombongkan diri.
Pertemuan ini bisa jadi tamparan keras untuk Yulsa sekaligus sebagai pembalasan dendamku karena aku menunjukkan sikap yang seakan sedang mengoloknya. Tapi aku juga sedikit was-was dengan apa yang Yulsa katakan barusan.
Aah.. Nggak boleh negative thingking.
"Sampai ketemu, Yulsa! Assalamu'alaikum" Aku akhirnya pamit.
"Wa'alaikumsalam" jawabnya terdengar lirih di telingaku.
Dalam hati aku tersenyum puas karena bisa balas ejekannya padaku dulu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
ani surani
ambil hikmahnya dr omongan Yulsa, kamu hrs lbh modis lg Naina 😍👍
2024-07-17
1
Tiara
Halah si Ryu ini sebetulnya pengetahuan islaminya kan bagus, tidak boleh menatap lawan jenis, tidak boleh bersalaman/ bersentuhan dengan wanita bukan muhrimnya tp kenapa masih berpacaran dan malah mengabaikan istri sahnya😀😀
2024-02-08
3
Uthie
Semoga ini bisa jadi pemicu Naina agar bisa lebih menarik lagi 👍😁
2023-10-30
0