Hari berganti minggu, pernikahan sudah di putuskan karena desakan dari bu Arimbi dan pak Bima yang sepakat akan di laksanakan beberapa hari ke depan. Ada serangkaian acara salah satunya adalah acara inti yaitu ijab qobul, kemudian di lanjut sesi foto keluarga serta resepsi.
Sebelumnya aku dan Ryu kompak keberatan, kami sama-sama menolak rencana bu Arimbi yang ingin menikahkan kami, tapi beliau malah mendiamkan mas Ryu hingga akhirnya pria itu menyerah.
Mengenai keluargaku, it's so bad karena nggak ada satupun yang datang termasuk bik Siti dan Rosa. Aku memang nggak memiliki keluarga selain mereka.
Entah ayah masih hidup atau tidak pun aku tak tahu, aku sudah berusaha mencari di jejaring media sosial dengan membagikan foto masa kecilku, yang pada saat itu tengah mengenakan sebuah kalung pemberiannya. Aku yakin jika ayah masih hidup dan melihatnya, beliau pasti mengenali foto itu, sebab itu adalah hasil jepretan dia sendiri. Tapi nihil... Usaha yang ku lakukan beberapa hari ini pun sia-sia, tak ada pria yang menghubungiku padahal aku sangat membutuhkannya untuk bisa menjadi wali nikahku.
Sedih?? Of course!!
Seorang anak perempuan pasti mendambakan ayahnya sendiri yang menjadi walinya, tapi di dongeng yang sedang ku mainkan ini adalah hakim yang akan menikahkanku.
Menghembuskan nafas berat, tatapanku lurus pada bingkai fotoku dan ibu yang di cetak besar oleh bu Arimbi dan di pajang pada dinding kamar tamu.
Aku baru tahu kalau foto yang ada di amplop surat ibu untuk bu Arimbi adalah foto yang sedang ku tatap ini, pantas saja bu Arimbi langsung percaya bahwa aku adalah anak sahabatnya.
"Nak" Suara panggilan di sertai ketukan pintu dari arah luar membuatku menoleh ke arah pintu. "Sudah tidur?" Tanya wanita yang sudah sangat ku hafal suaranya.
Ku sambar khimar yang tergeletak di atas kasur, lalu bergegas turun untuk membuka pintu, tak mau membuat wanita itu menunggu.
"Iya bun?" Kataku setelah pintu ku buka.
"Itu di luar ada om Yudha dan juga istrinya, mereka mau bicara sama kamu katanya"
"Iya bun"
Aku dan bunda lalu melangkah secara bersamaan ke arah ruang tamu.
Di tengah-tengah langkahku aku berfikir keras sambil menebak-nebak kira-kira apa yang ingin adiknya bu Arimbi katakan.
Apakah dia akan memberiku hadiah pernikahan? Tiket bulan madu mungkin? Atau ingin mengucapkan selamat, memberikan wejangan pernikahan.
Aahh kenapa aku jadi penasaran begini?
Ketika langkahku sudah sampai di ruang tamu, jantungku persekian detik berdetak tak karuan saat sepasang mataku bersirobok dengan manik hitam milik Ryu.
Hanya sesaat, sebab kami kompak mengalihkannya ke arah lain.
"Duduk, nak!" Ucap bu Arimbi.
"Iya bun" Jawabku dengan di iringi anggukan kepala.
Sebelum bu Arimbi memerintahkanku untuk duduk, aku sempat menyalami om Yudha dan bu Windi, istrinya. Mereka tampak tersenyum sumringah seperti turut bahagia dengan pernikahanku dan Ryu.
"Lagi ngapain tadi di kamar, Na?" Om Yudha bertanya untuk sekedar basa-basi.
"Lagi beresin kamar, Om!"
"Oohh...!" Sahutnya ringan.
"Oh ya Naina, om dan tante Windi, nenek serta Sarah, sepakat untuk menjadi keluarga dari mempelai wanita. Jadi malam ini kamu menginap di rumah nenek sampai hari H, ya!"
"Iya, om"
"Lagi pula, kayaknya nggak etis kalau mempelai wanita dan mempelai pria tinggal satu atap menjelang pernikahan" Sambung bu Windi. "Kesannya gimana nanti"
"Iya tante. Aku ngikut gimana baiknya" Saat aku mengatakan itu, reflek netraku melirik Ryu yang tengah menunduk menatap layar ponsel.
Sama sepertiku, dia juga sepertinya malu jika harus menatapku, atau bisa jadi nggak sudi karena tiba-tiba kami akan di nikahkan.
"Kalau begitu kamu siapkan baju-baju kamu, kita pulang ke rumah nenek"
Maksudnya rumah nenek adalah rumah orang tua bu Arimbi yang ku datangi saat aku mencarinya.
"Nggak apa-apa ya nak tinggal sama nenek dulu" Pungkas bu Arimbi menyela. "Kamu bisa istirahat dengan tenang tanpa ada suara bising orang-orang yang bantu bunda menyiapkan resepsi pernikahan kalian. Kamu bisa tidur nyenyak di rumah nenek"
"Nggak apa-apa bun"
"Kamu jaga kesehatan! Jangan sampai sakit, ngerti?"
"Ngerti bunda"
"Ya sudah, kemasi baju-baju yang ingin kamu bawa"
"Iya" Jawabku lalu bangkit. "Permisi om, tante" Pamitku merujuk ke om Yudha serta istrinya.
Mereka menganggukkan kepala sambil mengulas senyum merespon ucapanku barusan.
****
Pernikahan di laksanakan di kediaman pak Bima yang akan di hadiri oleh keluarga, kerabat, rekan kerja bu Arimbi, pak Bima juga mas Ryu.
Ada juga barisan seperti komando yang berjaga di areanya masing-masing dengan menggunakan seragam khas TNI AU.
Aku, yang saat ini berada di sebuah kamar tamu, sudah di rias dengan tampilan make up smokey eyes lengkap mengenakan gown berwarna putih tulang.
Sang perias yang begitu bangga dengan hasil riasan arabian look, seakan kagum dengan kecantikanku.
Perfect dan terkesan sangat glamour, namun tetap elegan. Kata si MUA memuji hasil kerja kerasnya sendiri.
Sama sekali tak ada dalam anganku kalau pernikahanku akan di adakan semewah ini. Mungkin ini adalah buah dari kesabaranku selama ini.
Yaa karena sabar buahnya memang sangat manis.
Menit berlalu...
Setelah melewati sebagian acara, kini tiba saatnya mengucapkan ikrar janji pernikahan, yaitu ijab qobul.
Ku lihat mas Ryu tampak santai dengan pakaian yang juga terkesan glamour, beda denganku yang merasa gugup seakan jantung mau runtuh.
Duduk di sampingnya saja aku berasa mau pingsan, di tambah ketika ku dengar suara si penghulu yang mengucapkan kalimat ijab.
Sungguh ini membuatku gila, maksudku detak jantungku yang gila.
"Saudara Ryusang Juna Anggara, bin Bimasena Anggara, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu, Naina Citra Anjani,, binti Sigit Purnama, dengan mahar dua ratus lima puluh dirham maroko, di bayar tunai"
Mas Ryu langsung menjawabnya dengan suara lantang.
"Saya terima pernikahan dan perkawinannya dengan mahar yang telah di sebutkan tunai, saya rela dengan hal itu, dan semoga Allah selalu memberikan anugerah"
"Sah?" Tanya si penghulu.
"Sah?"
Kata sah yang keluar dari mulut para hadirin, menandakan kalau mulai detik ini, aku resmi menjadi istri seorang dokter.
Menarik napas, ku ulurkan tanganku karena mas Ryu hendak menyematkan cincin di jari manisku, begitupun sebaliknya. Setelah kami sama-sama sudah memakai cincin pernikahan ku raih tangan mas Ryu untuk ku kecup. Dia seperti melafaskan sebuah doa saat memegang puncak kepalaku.
Sementara tak jauh dariku, ku lirik bu Arimbi terlihat sangat bahagia, beliau lantas menghampiriku, yang langsung ku sambut dengan kecupan di punggung tangannya sebagai tanda hormatku pada ibu mertua.
Kami akhirnya berpelukan erat, saling meluapkan rasa bahagia.
Entahlah... Pernikahan ini akan menjadi awal yang baik bagiku, atau malah sebaliknya.
Pada akhirnya nanti, jika aku dan mas Ryu sama-sama tersakiti, mungkin akulah yang lebih dahulu memilih untuk pergi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Inooy
masih aman nih sampe bab sini.....
2024-09-21
0
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
jreng jreng jreng.... drama pun di mulai...
2023-12-09
2
Uthie
SAH.. 👍🤗
2023-10-30
0