GADIS PEMETIK KOPI
Lestari memandangi dirinya di depan cermin. Air mata penuh haru meleleh di pipinya. Seragam hijau muda lengan panjang dengan hijab senada yang dikenakan membuat dirinya nampak anggun mempesona. Selangkah lagi dirinya akan sah menjadi anggota Persit. Tinggal ijab kabul di KUA yang rencananya akan dilaksanakan esok hari. Air matanya semakin deras diiringi isak tangis. Dirinya seakan masih tak percaya jika Teguh benar-benar akan menikahinya secara resmi sebagai seorang istri prajurit yang terhormat.
Lestari dan Teguh baru selesai menghadap Komandan Satuan Pendidikan Kopassus untuk mengajukan permohonan ijin nikah. Wejangan dan nasehat bijak Danpusdikpassus tempat suaminya bertugas membesarkan hatinya untuk siap menjadi istri sah seorang prajurit. Namun masa-masa kelam yang telah ia lalui membuat dirinya selalu merasa rendah diri.
Betapa tidak 3 tahun yang lalu dirinya masih seorang gadis yang baru duduk di kelas 2 SMA. Kematian ayahnya ditengah konflik bersenjata yang terjadi membuat Lestari dan Ibunda harus mencari nafkah sendiri. Mereka bekerja sebagai pemetik kopi di kebun orang dengan upah yang dihitung per kaleng. Cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan sekolahnya.
Hari itu Lestari bersiap berangkat sekolah, mematut diri depan cermin. Wajah melayu imutnya dengan mata bulat kecoklatan dan hidung mancung membuat ia banyak ditaksir para pemuda. Termasuk oleh para prajurit yang sedang melaksanakan Satgas Operasi untuk mengamankan wilayah dari para pemberontak.
“Mbok, aku pamit sekolah ya” Lestari menghampiri ibunya yang sedang meniup api di dapur menanak nasi dalam kukusan
“Loh kok sekolah toh Ndo, kata Fitri sekolah libur. Coba tanya dulu ke Fitri sana.” Ibunya berkata
“Lestari belum tau Mbok, sebentar aku tanya ya Mbok.” jawab Lestari
Fitri adalah sepupu yang juga kawan satu kelas Lestari, anak dari kakak ibunya. Rumah mereka bersebelahan.
“Fitriii, Fitriii...” teriak Lestari sambil berjalan ke rumah Fitri
“Iya Lestari.. Apa toh. Ko teriak teriak?” Fitri membalas teriakan Lestari
“Katanya sekolah libur, apa iya?” tanya Lestari
“Iya, kemarin sore Bapakku dikasih tau Pak Harun Kepala Sekolah kita. Selama Darurat Militer kita ga usah sekolah. Soal nilai sama raport udah diurus Bapak Ibu guru. Begitu kata Pak Harun ke kepada Bapak waktu kumpulan di Pos TNI Pondok Baru” Fitri menjelaskan
“Oh begitu, makasih ya Fit, kalau begitu aku mau ikut si Mbok ngutip kopi saja di kebun Wa Sainah.” Jawab Lestari
Sebagian besar penduduk Aceh Tengah merupakan para transmigran suku Jawa yang membudidayakan kopi dan terkenal sebagai daerah penghasil kopi kualitas ekspor.
“Mbo, aku ikut ke kebun ya. Sekolah libur, engga tau sampai kapan.” Lestari berkata kepada ibunya
“Apa engga nunggu di rumah aja Ndo. Kebun Wa Sainah jauh di Lampahan. Kesana naik chevroletnya Lik Mardi, nanti pegal duduk di belakang, jalannya juga jelek. Lagian perasaan Mbok ga enak, takutnya ada apa-apa.” Jawab ibunya
“Ga apa-apa Mbok, biasanya kopi Wa Sainah kan lebat buahnya. Siapa tau aku bisa dapat 3 kaleng hari ini. Bisa nabung buat lebaran nanti.” Ujar Lestari
Saat diumumkan darurat militer oleh Presiden Republik Indonesia, kontak tembak terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh, kecuali di Aceh Tengah yang sebagian besar masyarakatnya adalah suku Jawa dan Gayo. Kehidupan perekonomian masih berjalan seperti biasa. Hanya semakin banyak pasukan militer yang mendirikan pos baik TNI maupun Brimob.
Pickup Chevrolet Lik Mardi datang menjemput, diatas bak sudah ada 7 ibu-ibu dengan perbekalannya.
“Ayo Sulasmi, sini naik.” Kata Wa Sainah pemilik kebun kopi sambil menjulurkan tangannya meraih tangan ibu Lestari
Setelah berhasil naik, Sulasmi menarik tangan gadisnya, Lestari.
“Aduh Mbok Sulasmi ini, punya anak gadis satu-satunya ko sering diajak ke kebun. Nanti kalau kulitnya lecet gimana?” kata Mbok Sasmini kepada Sulasmi sementara mobil melaju perlahan karena jalan yang berbatu
“Iya nanti kalau dikejar celeng di kebun gimana?” kata Mbok Yuni menambahkan
“Aku, kalau anakku mau diajak ke kebun, aku cium pantatnya.” Kata Mbok Jumiati sambil tertawa. “Orang tiap hari kerjanya dandan melulu.” Mbok Jumiati menambahkan sambil memperagakan orang yang sedang bercermin dan memakai bedak sambil bibirnya mencibir kesamping hingga membuat semua orang tergelak tertawa karena lucu.
Lestari hanya tersenyum sumringah karena dipuji. Sementara ibunya Mbok Sulasmi hanya tertawa.
“Ya gimana lagi, orang anaknya mau.” Ujar Mbok Sulasmi
Setibanya di kebun kopi milik Wa Sainah, Lestari beserta Ibunya dan ibu-ibu yang lain segera menyerbu pohon kopi dengan buahnya yang merah merona. Dalam sekejap saja, Lestari sudah mengumpulkan satu kaleng. Satu kaleng upahnya empat puluh lima ribu rupiah. Satu kaleng kopi beratnya kira - kira 13 kilogram lebih sedikit. Ketika Lestari sedang memetik kopi setelah menyimpan hasil petikannya yang satu kaleng ke Chevrolet, tiba-tiba di kejauhan terdengar rentetan tembakan. Para pemetik kopi segera berlari ke mobil chevrolet.
“Ayo ayo naik semua” kata Wa Sainah “Besok lagi aja ngutip kopinya, udah ga aman ini” ujar Lik Mardi
Anto, anak Lik Mardi segera menaikan kopi yang sudah dipetik ke mobil. Lalu menghitung penumpangnya. “Loh Lestari kemana Mbok?” tanya Anto ke Mbok Sulasmi
Sulasmi tengak tengok sambil teriak “Lestariaaa... ayo pulang!” teriaknya
Nampak Lestari berlari-lari ke arah mobil Chevrolet.
“Tunggu Mbok, sebentar!” Lestari berlari panik setelah tahu tinggal dirinya yang belum naik ke mobil
Anto mengambil karung yang berisi kopi dan membantu Lestari naik ke mobil.
“Ayo Pak jalan. Sudah lengkap.” Anto berkata kepada Lik Mardi
Mobil segera melaju kencang menuju arah pulang.
Ketika memasuki pertigaan jalan raya, serombongan anggota Brimob yang berjumlah 4 orang menyetop mobil mereka.
“Turun turun turun”. Teriak salah satunya dengan kasar
“Kalian GAM ya, inong bale hah?” bentak salah satunya
Lik Mardi dan Anto ditarik keluar oleh dua orang lalu dipukuli.
“Kamu GAM ya, yang nembak kami ya.” Kata salah seorang yang berperawakan tinggi besar sambil menampar Anto berkali kali
“Bukan Komandan, kami baru pulang dari kebun, kami orang trans.” Lik Mardi berkata sambil menahan sakit
Ibu ibu sudah menangis ketakutan diatas pickup.
“Turun turun” dor dor dor teriak salah satu Brimob sambil menembakan AK 56 nya ke udara
Ibu ibu semuanya turun termasuk Lestari yang terus memeluk Ibunya.
Anggota Brimob itu lalu naik ke atas pickup dengan wajah merah mengacak-acak karung berisi kopi.
Merasa yang dicarinya tidak ada, lalu dia menarik Lestari dari pelukan ibunya.
“Jangan!” teriak Mbok Sulasmi mempertahankan genggamannya pada Lestari. Lestari mendekap ibunya dengan erat
Plak plak plak anggota Brimob itu menampar Mbok Sulasmi berkali-kali. Mbok Sulasmi mengaduh dan menutupi pipinya. Lestari menangis kencang sejadi-jadinya melihat ibunya ditampar. Anggota Brimob itu lalu menyeret Lestari ke Kedai kosong di pinggir jalan.
Plak plak Lestari ditampar berkali kali sampai pusing dan terjatuh. Anggota Brimob itu melepas rompi hitamnya dan sekilas terlihat namanya Rudi. Rudi menyingkapkan rok Lestari lalu menarik ****** ******** sampai robek. Lestari berteriak teriak dengan kencang.
Tiba-tiba datang dua kendaraan taktis Brimob, lalu satu regu turun tepat di depan kedai dimana Lestari sedang disiksa oleh Rudi
“Hey goblok. Monyet kamu! Mau ngapain kamu?” seorang anggota Brimob tinggi besar menghampiri Rudi yang sudah membuka ikat pinggangnya lalu plak plak plak Rudi dihajar berkali-kali. Senjata AK 56 nya yang diletakan dekat pintu dilempar oleh anggota Brimob ke arah temannya lalu ditangkap dengan sigap oleh temannya.
“Siap Komandan, salah Komandan.” Rudi berkata sambil terus ditendang oleh komandannya yang rupanya adalah AKP Nelson Komandan Pos Brimob Lampahan yang datang ke TKP karena mendengar suara tembakan.
“Kamu baru sehari bergabung di Pos sudah bikin malu. Kamu lempar tai ke muka saya.” Teriak AKP Nelson tepat didepan wajah Rudi
“Mereka ini masyarakat yang membantu kita. Memasak untuk kita. Mencucikan baju kita. Malah kalian hajar. Biadab kalian, biadab. Pantas kalian dibuang dari Pos Bireun kesini. Rupanya kalian gak punya otak. Kalian lebih dari binatang. Tidak ada kalian main-main dengan saya. Pelanggaran, proses, pulangkan!” AKP Nelson berteriak penuh emosi
“Yoga, amankan orang-orang ini. Bawa ke Polres. Tahan disana. Masukan sel.” Perintah AKP Nelson kepada anggotanya
“Siap Komandan.” Yoga menjawab sambil memborgol tangan Rudi. Ketiga kawan Rudi pun ikut di borgol dan dilucuti senjatanya oleh anggota yang lain.
Lestari menangis sesenggukan di pojok kedai. Dia merasa sangat takut. Dirinya sudah dilecehkan dan hampir saja diperkosa.
Mbok Sulasmi berlari memeluk Lestari yang ketakutan. Dia menangis sejadi-jadinya melihat pakaian anak gadisnya yang koyak. AKP Nelson yang menyaksikan peristiwa itu ikut meneteskan air mata. Perasaannya bercampur antara marah, sedih dan malu akan kelakuan anak buahnya.
“Mari Pak, saya bantu. Maaf ya Pak, anggota baru masuk pos sini itu. Kelakuannya bikin malu.” Ujar Yoga sambil memapah Lik Mardi menuju ke kendaraan taktis bersama Lestari dan Mbok Sulasmi.
Sementara Anto harus digotong naik ke bak chevrolet karena pingsan bersama ibu-ibu dan sebagian anggota Brimob. Sementara anggota Brimob yang di borgol dijadikan satu dalam kendaraan taktis yang lain.
Sepanjang perjalanan, Wa Sainah, Mbok Jumiati, Mbok Yuni, Mbok Sasmini dan lainnya menangis tak henti. Para anggota Brimob yang menyaksikan tertunduk, antara malu, marah dan sedih atas kelakuan kawan-kawan mereka. Padahal selama ini, Brimob dikenal sangat baik oleh masyarakat. Bahkan untuk makan Pos Satgas Brimob Lampahan disediakan oleh warga secara bergotong royong. Warga berharap dengan kehadiran Satgas baik Brimob maupun TNI, wilayahnya aman dari gangguan para gerombolan yang sebelum datangnya pos Brimob selalu merampas uang dan beras dengan dalih pajak nanggroe.
AKP Nelson membawa rombongan pemetik kopi ke Rumah Sakit di Takengon. Anggotanya sungguh keterlaluan. Bertindak biadab diluar prosedur. Lik Mardi dan Anto harus dirawat inap, AKP Nelson menjemput keluarga Lik Mardi untuk menunggu mereka berdua dirawat. Dia juga menempatkan 2 orang anggotanya ikut serta menjaga dan meyakinkan bahwa mereka berdua mendapat perawatan yang terbaik.
AKP Nelson mengantarkan Mbok Sulasmi dan ibu-ibu lain beserta Lestari ke rumahnya masing-masing dan memberi bingkisan sebagai tanda permintaan maaf. AKP Nelson juga berkoordinasi dengan Pos Satgas setempat dan Kepala Kampung serta para tokoh masyarakat perihal kejadian ini dan memohon agar jangan sampai menimbulkan gejolak di wilayah Aceh Tengah yang saat itu cenderung masih kondusif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Yunita Sumaryadi
semangat terus menulisnya di tunggu karya selanjut nya
2023-09-28
1