#13
"Seharusnya kamu berterima kasih padaku, bukannya memaki dan mengomentari hidupku, aku yang membawamu ke rumah sakit, bahkan aku membayar semua fasilitas yang kamu nikmati, aku bahkan tak yakin kalau anak janin itu adalah milikku." Bukan bukan itu yang seharusnya Darren ucapkan, tapi kalimat itu terlontar begitu saja karena emosi mendengar kalimat Aya.
Aya terdiam, sungguh ia tak menyangka bisa terperangkap bersama manusia setengah gila seperti Darren, sebenarnya apa salah dirinya hingga Tuhan membuat Aya terlibat masalah dengan Darren.
"Kamu pikir aku melakukan perbuatan hina dan kotor ini dengan orang lain? Kamulah penjahatnya, kamu pelakunya brengg sek, dan aku tak mau mengandung benih dari pria brengg sek sepertimu, aku benci janin ini, aku tak menginginkannya, aku tak sudi membiarkan mereka hidup di rahimku, mereka hanya akan menjadi beban hidupku, mereka akan terlahir dengan sebutan anak haram, itu … jauh lebih menyakitkan daripada sebuah penyiksaan." Aya kembali berteriak kencang menumpahkan kemarahannya, mendengar dirinya hamil saja, sudah membuat pikirannya stress tak karuan, kini ditambah lagi dengan hinaan dan ejekan yang terus menerus Darren lontarkan.
"Oke fine… kalau kamu menginginkan hal itu, kita akan menyingkirkan janin itu, besok kita temui dokter." Pungkas Darren kesal, ia pun pergi meninggalkan Aya yang terdiam tenggelam dalam amarah, perkataan Aya membuat Darren benar benar terusik, hingga emosinya pun ikut melonjak tajam, jadi daripada terus terusan tak tenang, lebih baik diakhiri saja sekarang.
Darren tak tahu bahwa ada cara yang lebih mudah selain menonjolkan kesombongan dan keangkuhan, yakni kerendahan hati untuk mengakui bahwa ia salah, ucapkan kata maaf dengan tulus, dan tunjukkan kesungguhan untuk bertanggung jawab, itu akan lebih mudah dan membuat hidup jauh lebih tenang, sayangnya Darren memilih jalan yang sulit.
Maka jangan salahkan othor jika nanti kamu menemui jalan terjal berbatu dan berduri tajam untuk kembali menemukan jalan menuju bahagiamu.
.
.
Darren membuka mata dan menemukan dirinya berada di Hamparan rumput hijau dengan semilir angin yang menyejukkan, bahkan ada sebuah taman bunga warna warni bermekaran, aroma nya memanjakan indra penciuman, serangga serangga kecil bertebangan mempercantik taman bunga tersebut.
Suara tawa ceria dua orang bocah membuat Darren tanpa sadar ikut menyunggingkan senyuman, sepasang bocah lelaki dan perempuan itu berlarian kesana kemari tanpa kenal lelah, rambut coklat kemerahan mereka berantakan bahkan sebagian basah karena keringat, wajah mereka yang putih bersih perlahan berubah kemerahan karena terpapar sinar matahari.
Keduanya berhenti berlari ketika menyadari kehadiran Darren diantara mereka, "ayo papa temani kami main."
Darren terkejut ketika menyadari kedua bocah tersebut memanggilnya dengan sebutan 'papa'.
Namun tak ada waktu lama memikirkan keterkejutannya, karena si anak perempuan dengan manja memeluk salah satu betis nya, "aku mau gendong?"
"Gendong?" Tanya Darren Heran, dirinya begitu mudah menanggapi kalimat kedua anak itu.
"Iya gendong di pundak." Rengeknya dengan puppy eyes yang menggemaskan.
"Baiklah buat anak cantik papa, akan papa gendong sambil berlari keliling lapangan."
"Yeaaayyy…" Seru keduanya bahagia.
Darren pun membawa gadis kecil itu di atas pundaknya, senyum gadis itu melebar menjadi tawa bahagia. "Papa… aku senang sekali." Seru gadis itu, ia bahkan tak henti henti memanggil Darren dengan sebutan papa. Setelah puas berkeliling lapangan, gadis itu pun meminta diturunkan.
"Abang aku mau minum." Rengekan manja itu disambut dengan senyuman oleh si anak laki laki.
"Kamu… tak ingin papa gendong sayang?" Tanya Darren, ketika bocah lelaki itu menyodorkan segelas air pada adik perempuannya, Darren tak tahu kenapa dirinya begitu nyaman menyebut dirinya papa, padahal ia tak tahu anak siapakah gerangan yang sedang bermain bersamanya.
Anak lelaki itu Menggeleng, "tidak papa, nanti saja, ketika kami lahir ke dunia, aku ingin menghabiskan waktuku bersama papa, mama dan juga adik."
"Kenapa begitu? Ayolah sekarang saja papa menggendongmu." Seru Darren sedikit memaksa, entah kenapa ia merasa sangat ingin melakukannya.
"Tidak papa, nanti saja… sekarang tolong selamatkan kami dulu…"
Tiba tiba angin topan berhembus dengan kencang, menerbangkan apa saja yang ada di taman, termasuk kedua bocah yang sesaat lalu bermain dengan bahagia.
"Papaaaa tolong kami…"
"Papaaaa aku mau gendong papa lagi…"
"Papaaa toloong…"
Teriakan mereka saling bersahutan, Darren merasa jarak mereka begitu dekat, tapi entahlah, kenapa kedua bocah itu sangat sulit ia raih.
"Anak anak… ayo raih tangan papa, jangan bercanda… Kemarilah… papa masih ingin bersama kaliaan…" Teriak Darren dengan wajah bersimbah air mata, tapi tentu tak berarti apa apa karena kini di sekitarnya terasa gelap dan sedih, tak ada lagi tawa bahagia, tak ada lagi harapan, yang terasa hanya kesedihan di ruang dingin dan hampa, tanpa sebuah
cinta…
.
.
Darren bangun dengan tubuh bersimbah keringat, perasaannya gelisah tak menentu, ada sesak yang ia rasakan di dada, ada rindu yang tak terdefinisikan dengan jelas, entah pertanda apakah ini, lalu siapa anak anak tadi? Mungkinkah itu anak anaknya? 'Ah tidak mungkin bahkan mereka masih berupa gumpalan darah', monolog Darren.
Darren melirik jam di dinding apartemennya, sudah hampir jam 7 , dan 10 menit lagi mas Dion pasti menghubunginya.
Darren segera bersiap, mandi cepat pun tak mengurangi kadar tampan yang sudah menjadi bawaannya sejak lahir.
"Sudah siap?" Rupanya Dion sudah stay di ruang tengah sambil menyeduh kopi.
"Bagaimana di rumah sakit?" Tanya Darren yang mendadak kepo dengan keadaan Aya, karena masih dibayang bayangi mimpinya.
"Aya tak merubah pendirian." Jawab Dion lesu, aneh memang, janin janin itu milik Darren dan Aya, tapi yang merana, bahkan nyeri tak terkatakan, adalah Dion dan istrinya, Nita bahkan rela dengan tulus menemani serta membujuk Aya agar mau mempertahankan janin janin itu, tapi rasa benci, kesal, sakit hati, bahkan amarah mendominasi, terlebih setelah mengingat semua ancaman dan intimidasi yang Darren lakukan, membuat dua hari ini waktu yang diberikan oleh dokter untuk mempertimbangkan keinginan Aya, menjadi sia sia saja.
Darren hanya diam, membuat Dion sendiri kebingungan menterjahkan sikap Darren.
"Dare… tidakkah kamu merasa kasihan dengan anak anakmu?"
Darren masih diam. "Cobalah katakan pada keluargamu, tentang masalah yang sedang kamu hadapi, aku yakin mereka tak akan tinggal diam." Yah tak ada salahnya di coba, bagaimanapun dinginnya sikap Darren, dia pasti memiliki hati nurani.
"Tidak mas, itu jelas bukan solusi, karena mereka hanya akan memberiku ultimatum serta ancaman, sementara mas tahu sendiri, aku memilih hidup mandiri, karena ingin lepas dari semua itu."
"Tapi menyingkirkan janin janin itu, juga bukan solusi, setidaknya kamu bisa membiayai kehidupan mereka jika kelak mereka lahir, atau… kalau kamu … eh… kalian tak menginginkan kedua anak itu, biarkan aku dan istriku merawat mereka, kamu tahu sendiri kan, sudah 5 tahun kami menikah, tapi hingga kini kami belum diberi kepercayaan menimang bayi." Sungguh kehidupan kontras yang sarat akan ironi, di satu sisi ada yang sangat ingin menyingkirkan bayi bayi mereka, disisi lain ada yang setengah mati berusaha ingin memiliki bayi.
"Keputusan ada di tangan Aya mas, aku tak berhak lagi ikut campur," Jawab Darren pada akhirnya, pria itu bahkan segera keluar dari penthouse mewahnya menuju tempat parkir.
Pagi hingga siang hari itu, Darren berusaha menutupi kegelisahan serta kecemasannya dengan bersibuk ria, walau ia berhasil maksimal menyibukkan diri, tetap saja gelisah itu setia menghantui, suara kedua bocah nan tampan dan cantik itu semakin berdengung hingga nyaris memecahkan gendang telinganya.
Sebuah kesadaran tiba tiba menyeruak, jika diamati dengan jelas, wajah bocah lelaki itu begitu mirip dengan dirinya ketika kecil, dan wajah bocah perempuan itu adalah wajah Luna, walau sedikit ada campuran wajah Aya, di bentuk kelopak mata dan hidung mereka, sisanya mereka autentik menyerupai Darren dan Luna.
"Mas… ada kabar dari rumah sakit?"
Dion menatap Darren dengan wajah lesu, kentara sekali jika pria itu tengah bersedih, pasca menerima pesan singkat dari sang istri yang kini menemani semua proses yang harus Aya jalani sebelum melakukan tindakan kuretase.
.
.
Yang belum like? Plis tolong di like 😊
Komen? Bebas asal sopan, othor terbuka untuk kritik dan saran juga kok 🥰
Vote? Seikhlas dan ridho nya kalian 🤗
Mohon maaf jika seandainya di nupel ini nanti, retensinya tak sesuai standar editor, mungkin novel ini bakalan HIATUS 🤓
Terima kasih 🙏
💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
ning sora
thor, punya dendam apa sm darren? 🤣
2024-12-27
1
Rusmini Rusmini
jgn Aya itu dosa /Cry//Cry/
2025-02-01
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
setuju🤣
2024-08-23
1