KADO DARI HAFIZH

“Astaga! Kenapa masih saja pakai tas ini?” Hafizh histeris melihatku pagi ini masih mengenakan tas itu.

“Tidak usah berkomentar!” Kataku ketus pada Hafizh lalu mengambil posisi duduk di bangku.

Hafizh terdiam beberapa saat. “Pulang sekolah ikut aku yuk.”

“Tidak bisa, ibuku bisa mengomel kalau aku pulang telat lagi.”

“Sebentar saja kok.” Hafizh masih terus membujukku.

“Tidak bisa Fiz.”

“Ada apa?” Ashana yang melihat pertikaian kami lantas ikut menengahi.

“Oh, ada Ashana. Boleh kau temani Hafizh pulang sekolah ya!” Aku spontan membujuk Ashana untuk menemaninya.

“Oh, boleh. Kebetulan aku juga ada perlu.” Sahutnya menyetujui. Dia tampak santai dan tidak keberatan sama sekali, sementara Hafizh justru terlihat salah tingkah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sepanjang di rumah, aku pikir aku tidak bisa tenang. Ada rasa cemburu dalam benakku. Membayangkan mereka begitu serasi berjalan bersama.

Hingga pagi tiba, aku berusaha melupakan semua itu. Kakiku terhenti di ambang pintu kelas saat beberapa penghuni kelas menghadangku.

“Happy Birthday Isaura!!” Seru mereka kompak memberikan kejutan padaku. Aku melongo. Bahkan tidak ingat jika hari ini berulang tahun.

Rasa syukur tak henti terucap dari dalam hatiku. Hingga detik ini, Allah masih mengizinkanku bernafas dan dikelilingi orang-orang baik.

Hafizh tersenyum lebar, berjalan melangkah mendekatiku memberikan sebuah bungkusan berukuran agak besar.

Mereka kompak memintaku untuk membuka kado itu dengan ketukan nada dan tepukan tangan serentak. Penasaran, aku segera membukanya.

Mulutku kembali dibuat menganga. Sebuah tas ransel persis sesuai seleraku, rupanya.

Terharu, aku nyaris berkaca-kaca.

“Terimakasih banyak.” Ucapku dengan wajah bahagia. Aku menatap Hafizh dan Ashana yang turut senang melihat reaksiku. Tidak sia-sia mereka menyiapkan semua ini.

“Jujur aku tidak tahu seleramu. Jadi aku beli yang seperti itu.” Hafizh menunjuk pada tas yang kini ada di tanganku.

“Iya, sempat ada perdebatan panjang antara aku dan Hafizh. Tapi ujung-ujungnya dia pilih ini untukmu.” Ashana menjelaskan, melirik Hafizh dengan tatapan kesal.

Aku terkekeh.

“Aku jadi merasa berhutang. Aku dan Ibuku bahkan tidak ingat ulang tahunku sendiri.”

Hafizh menggeleng. “Anggap saja ini kenang-kenangan dariku.” Ia menepuk bahuku yang kemudian aku jawab dengan anggukan cepat.

Aku tidak ingin memikirkan apa yang terjadi dengan mereka berdua kemarin. Aku pikir mereka lebih dekat saat ini. Yang pasti, aku benar-benar senang dan akan menjaga pemberian Hafizh.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Assalamualaikum.” Seruku dengan perasaan berbunga-bunga memasuki rumah. Baru melangkah beberapa meter dari pintu masuk, Ibu menatapku curiga.

Tentu saja dia sadar putrinya mengenakan tas baru yang sepertinya tidak pernah dia belikan.

“Ini, dari teman-teman kelas patungan bu.” Dustaku. Tanpa menunggu pertanyaan Ibu, aku paham isi kepalanya.

Tidak mungkin aku terang-terangan memberitahunya bahwa Hafizh-lah yang membelikanku ini. Jika aku mengatakannya, tentu saja ibu akan semakin murka.

“Tuh kan, makanya jadi anak yang pintar! Kalau begini malu kan tiba-tiba diberikan sumbangan! Dengar ya Isa, kita yang sepatutnya memberi, bukan kita yang meminta.”

“Memalukan!” Tutupnya kemudian pergi meninggalkanku yang berdiri mematung.

Aku tidak mengatakan apapun. Lebih baik diam dan menghindari perdebatan ini. Aku pikir apapun yang aku katakan akan tetap salah.

Suasana hatiku seketika berubah. Ibu tidak salah, tapi aku sakit hati. Aku berlari memasuki kamar. Menutup pintu yang sudah agak reyot. Melempar tasku ke sembarang tempat untuk kemudian membanting tubuhku di atas kasur.

Air mataku tidak lagi dapat aku bendung.

“Apa kalau ada bapak, bapak akan mengatakan hal-hal menyakitkan seperti ini juga?” Tanyaku seorang diri terisak. Haus akan perhatian seorang Ayah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hari penilaian menari pun tiba. Meski sedikit ada rasa cemburu, tampaknya aku berhasil menutupinya dengan apik. Aku masih dapat menampilkan senyum terbaikku selama pertunjukan meski dalam hati terasa nyeri.

Riuh tepuk tangan dan sorakan teman-teman bergema memenuhi kelas usai kami berhasil mementaskannya. Aku pikir semua ini karena pengaruh Hafizh dan Ashana. Semua berjalan dengan baik.

Di kepalaku saat itu, menyisihkan rasa cemburuku adalah kunci untuk bisa mendapatkan nilai yang baik. Lagi pula, siapakah aku untuk berhak cemburu pada mereka?

Aku menggeleng, menepis kegalauan yang merusak fokus belajarku. Tidak. Aku tidak ingin ini terjadi.

Menjadi juara sekolah jauh lebih penting ketimbang menjadi juara di hati Hafizh. Begitulah mantra yang terus aku ucap sejak pagi tadi hingga sore ini.

Kami berkumpul di lapangan mengenakan seragam olah raga. Bukan tanpa alasan, jam olah raga di sekolahku memang terpisah dari jam belajar yang seharusnya.

Usai pemanasan, aku memilih menepi di bangku yang tersedia di pinggir lapangan. Maklum, cuaca yang cukup terik berhasil menguras tenagaku meski tidak banyak gerakan yang aku lakukan.

Lagi pula, guru kami hanya meminta para muridnya untuk berlatih materi bola kaki.

Dari kejauhan, aku mengamati Hafizh yang sibuk berlari-lari ke sana kemari mengitari lapangan. Mengejar kemanapun larinya bola.

"Payah!" Aku terkekeh geli melihatnya berlatih dengan beberapa siswa di kelas kami. Sejak tadi Hafizh tak mampu mengendalikan bola dengan kaki jenjangnya.

Percuma saja memiliki kaki seatletis itu jika tidak mampu menggiring bola. Ya, kadang aku berpikir bahwa Hafizh adalah sosok murid tampan yang adakalanya tidak berguna.

Deg!

Tepat setelah itu, Hafizh menatapku dari kejauhan. Sepertinya dia sadar aku tengah menertawainya dengan puas.

Aku melengos saat Hafizh memilih meninggalkan lapangan sebelum permainan usai.

Netraku kini tertuju pada Ashana yang bermain bola di sisi lapangan yang lain.

"Cantik dan seksi." pujiku untuk kesekian kalinya pada Ashana.

"Oi! Janga pura-pura tidak lihat. Aku tahu kau baru saja menertawakanku kan? Sana latihan juga." Tegur Hafizh yang kini ikut bergabung duduk denganku.

"Tidak tuh." Jawabku sambil melihat ke sekeliling lapangan.

"Oh iya, aku dengar tim kita mendapat skor nilai tari terbaik dari kelas-kelas lain." Katanya dengan antusias.

"Benarkah? Tentu saja ini berkat kau dan Ashana." Responku sekedarnya.

"Tumben kau tidak menunjukkan ekspresi bahagia. Padahal kau selalu bersemangat mendapatkan skor terbaik." Hafizh menatapku heran. Dia tahu betul diriku seperti apa selama hampir tiga tahun ini, tentu saja aneh melihat responku yang tidak seantusias biasanya.

Panik harus menjelaskan apa, aku lantas memilih bergumam tidak jelas, berusaha mengalihkan perhatian Hafizh.

BLUK!

"Aww!" Aku memekik saat sebuah bola menghantam pipiku. Panas, aku lantas mengusap pipiku perlahan.

"Wah kurang ajar!" Umpat Hafizh. Dia lebih memilih memaki pelaku ketimbang harus membantu atau bahkan sekedar menanyakan keadaan korban.

"Maaf - maaf Isaura. Aku tidak sengaja." Kata siswa dari kelas lain yang saat ini juga mengambil pelajaran olahraga di jam yang sama dengan kami.

Meski tidak memiliki tubuh setinggi Hafizh, Dean memiliki postur tubuh dan paras yang tak kalah dengan sepupunya itu.

Tangannya spontan hendak menyentuh pipiku, namun urung saat aku lebih dulu memalingkan wajah.

"Maaf, aku baik-baik saja."

"Eheheh.. Cie... Tapi mohon maaf Dean, Isa bukan yang sembarang mau di sentuh." Ledek Hafizh pada sepupunya itu.

Dean lantas tersenyum, lega aku baik-baik saja. Dia paham maksud Hafizh tanpa tersinggung.

"Baiklah jika begitu. Aku permisi ya." Pamitnya untuk melanjutkan permainan, selanjutnya aku jawab dengan anggukan.

"Kenapa kau tidak pacaran?" Tanya Hafizh setelah Dean menjauh dari posisi kami. Dia mulai membuka topik yang sebetulnya aku hindari.

"Tidak, mau fokus belajar dulu." Jawabku singkat.

"Tapi diakan tampan, soleh, pintar cocok lah denganmu."

Aku menaikkan satu alisku lalu menoleh ke arahnya. Baru paham jika yang dimaksud adalah Dean.

"Kau sendiri kenapa tidak menyatakan cinta pada Ashana?"

"Aku tidak merasa dia menyukaiku." Sahutnya sembari menatap Ashana yang masih sibuk menikmati permainan.

"Bagaimana kau seyakin itu? Kau bahkan belum tanya."

"Insting." Sahutnya singkat.

"Sok tahu." Aku meledeknya balik.

"Tentu saja aku tahu. Jangan remehkan instingku ya."

"Halah. Memangnya kau bisa menebak perasaanku seperti apa?" Lidahku tanpa sengaja luput untuk tidak mengatakan itu.

Entah apa yang ada di kepala Hafizh saat ini, dia hanya menatapku tanpa mengucap sesuatu. Aku pikir pertanyaan bodohku berhasil membuatnya ternganga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!