Materi pelajaran seni budaya saat ini adalah tari. Aku cukup tidak senang dengan materi saat ini. Bukan, bukan karena menari. Hanya saja, mengapa Tuhan kembali mempersatukan kami dalam satu kelompok.
Bukan main lagi. Ashana juga menjadi anggota.
“Kita saat ini berpasangan ya. Hafizh dengan Isa saja ya. Aku rasa mereka cocok.” Kata ketua kelompok. Aku menyerahkan tugas ini pada dia, temanku yang lebih paham dalam hal menari.
“Tidak, tidak usah. Aku rasa Hafizh lebih cocok dengan Ashana.” Kataku berusaha menjauh dari Hafizh.
“Hafizh bagaimana menurutmu?”
“Aku sih oke saja.”
Sial! Aku menyesalkan jawaban Hafizh.
Tidak ada pilihan lain, aku menuruti ketua kelompok. Kami berhadapan untuk mengambil posisi latihan modernisasi tari tradisional.
Aku cukup mengagumi kepiawaian Hafizh dalam tiap gerakan. Dia mampu mengingat gerakan dengan baik.
Tepukan tangan diberikan kepada kami. Bagi rekan satu kelompok kami, tatapan mata dan ekspresi kami dianggap mampu menggambarkan makna tarian dengan sangat apik. Seperti berbicara satu sama lain melalui tiap gerakan.
Tanpa mereka ketahui, aku begitu gugup harus bertatap mata seperti ini dengan Hafizh.
Kami rehat sejenak setelah berlatih dengan masing-masing pasangan. Aku duduk di sebuah bangku. Sedikit curi pandang pada Hafizh yang berdiri di seberangku memandang ke arahku.
Dia memandang tak berkedip. Aku berdeham, namun dia masih bergeming. Iseng, aku lantas bergeser ke kanan lalu bergeser ke kiri lagi. Memastikan dia akan mengarahkan pandangannya mengikuti gerakanku.
Sial! Sedetik kemudian aku sadar, bukan aku yang dipandangnya. Melainkan Ashana yang tertawa bergurau dengan tim kami yang lain.
Suasana hatiku anjlok seketika.
Ada rasa sedih.
“Na, aku ganti pasangan dengan Jaka saja ya. Aku rasa aku lebih nyaman.” Kataku mencuri atensi seluruh anggota kelompok kami.
“Wah yang benar saja.” Ana terdengar tidak setuju dengan pendapatku.
“Ashana bisa dipasangkan dengan Hafizh.” Sambungku. “Kita coba dulu.” Bujukku pada sang ketua kelompok, sementara Hafizh tampak salah tingkah.
“Emm aku tidak masalah jika Hafizh mau.” Sahut Ashana santai.
“Mantap.” Kataku mengangguk penuh semangat.
“Hah.. Ya sudah kita coba.” Ana kemudian menyetujui tawaranku.
Kami kembali melanjutkan latihan. Bisa aku rasakan Hafizh terlihat gugup menatap mata Ashana. Namun, mereka pada akhirnya berhasil menyelesaikan latihan dengan baik.
“Tuh kan mereka cocok. Mereka hanya perlu waktu saja untuk membangun chemistry.”
Kataku dengan semangat sembari bertepuk tangan. Menutupi rasa perih dalam dadaku. Sementara yang lain turut bertepuk tangan dengan berakhirnya latihan hari ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Isa, Isa!” Ibu menyenggol memberikan sentilan keras di keningku. Aku tersentak kaget.
“Memikirkan laki-laki ini pasti. Lihat ini, jadi berantakan.” Sindir ibu tidak senang, kemudian menunjuk ke sekeliling timbangan, ada beberapa butir beras yang tumpah berceceran di sana.
Aku merasa sangat bersalah.
“Harusnya kemarin Ibu tanya ke Hafizh, siapa yang buat kamu seperti ini.” Ibu mengambil alih pekerjaan ini setelah menyadari putrinya ini tidak becus.
“Eh tidak bu tidak. Isa tidak pacaran kok.” Cepat-cepat aku mencegah Ibu untuk tidak menanyakan ini pada Hafizh. Ibu hanya tidak menyadari Hafizh lah yang membuatku seperti ini.
“Pokonya kalau ketahuan, ibu tidak akan tinggal diam. Pokonya kau harus bisa masuk universitas ternama. Meski kau hanya anak penjual seperti ini, kau harus buktikan kau bisa sukses! Paham!”
Ibu kembali meluapkan keinginannya dengan menggebu-gebu. Tangannya menunjuk-nunjuk memberikan penekanan pada tiap kalimatnya.
“Iya bu.” Sahutku paham.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siang ini cukup terik. Kebetulan sekali jam terakhir ini jam kosong. Aku mengambil buku paling tipis di antara buku-buku dalam tasku untuk kugunakan kipas-kipas. Tidak memungkiri, menggunakan hijab cukup membuatku gerah.
Aku menggeleng. Tidak, aku tidak boleh mengeluh. Ini adalah awal yang baik.
“Nanti kita latihan tari lagi ya!” Seru Ana pada anggota kelompok kami.
“Iya.” Jawab kami kompak, sementara aku melirik Hafizh yang kini duduk di bangku lain. Dia yang sebelumnya sibuk mengobrol dengan temannya mendadak tersipu.
“Seneng deh!” Godaku pada Hafizh. Hafizh tak menjawab, dia hanya tersenyum malu-malu.
“Ash-!” Niat isengku gagal kala Hafizh lebih dulu membungkam mulutku. Sepertinya dia tahu pasti ide iseng di kepalaku.
Deg!
Sayangnya justru aku yang kena getahnya. Aku kembali berdebar. Aku berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari tangan Hafizh.
“Iya, iya cukup aku tidak bilang apa-apa kok.” Kataku setelah berhasil lepas dari Hafizh.
Sementara Ashana yang tampaknya sadar sempat kupanggil, kini memalingkan wajah ke arah kami. Ia tersenyum tipis melihat tingkah kami berdua.
Melihat gelagat Hafizh yang masih salah tingkah, aku lantas tak henti menggodanya.
“Sst.. Kalau perlu aku bisa bantu kok.” Godaku lagi pada Hafizh sembari memberikan kedipan mata.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kami kembali berkumpul untuk melakukan latihan. Netraku terfokus pada Ashana yang berdiri memunggungiku tak jauh dari tempatku berdiri saat ini.
Jemarinya sibuk menyisir rambut hitamnya yang tergerai untuk kemudian dikuncir kuda memperlihatkan tengkuknya. Ada bulu-bulu halus di sana.
Bagiku itu terlihat begitu seksi. Rambutnya yang hitam panjang dan lurus selalu terlihat rapi.
“Wow.” Tanpa sadar aku mengucapkannya. Mengagumi kecantikan Ashana.
“Cantik.” Suara berat Hafizh membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Aku yang berharap Hafizh akan menatapku sembari mengatakan itu seperti dalam dongeng yang kubaca lenyap begitu saja. Ditampar kenyataan mendapati dirinya sibuk mengagumi kecantikan Ashana.
Tak mengelak, memang benar Ahsana secantik itu. Cantik alami wanita Indonesia.
Aku menggeleng. Berusaha fokus sepanjang latihan. Tidak ingin kesedihanku mengendalikan diriku.
Latihan pun usai, kami bertepuk tangan telah berlatih dengan giat hari ini. Aku berjalan meraih tas yang ku geletakkan di atas kursi. Baru saja menggendongnya, tasku melesat jatuh.
Setelah aku amati, rupanya tali tasku terputus. Maklum, sudah lama aku tidak berganti tas. Belum lagi buku-buku paket yang kubawa memang cukup banyak.
Ashana sigap menghampiriku. Dia membantu untuk mengikat tasku. Namun tampaknya tidak membuahkan hasil.
“Tidak apa-apa tasnya memang sudah lama.” Kataku pada Ashana untuk tidak mencemaskan.
“Pakai ini.” Hafizh juga menghampiriku. Tangannya mengulurkan peniti.
Aku mengambil peniti itu kemudian mencoba menyambungkan tali tasku. Meski aku tahu ini tidak akan berfungsi dengan baik, namun tidak ada salahnya aku mencobanya.
Tidak ada pilihan lain, aku memondong tasku karena khawatir isi tasku akan berhamburan.
“Tidak apa-apa. Jangan khawatir.” Aku memberi senyum pada mereka, mengisyaratkan aku baik-baik saja dan mereka tidak perlu khawatir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setibanya di rumah aku menggeletakkan tasku di atas kasur. Saat hendak berganti pakaian, aku menghentikan langkahku di depan cermin kamar yang aku lewati.
Aku menatap lurus ke arah cermin. Terbayang dalam ingatanku bagaimana Hafizh menatap berbinar pada Ashana.
Perlahan jemariku bergerak melepas hijabku. Memandangi pantulan diriku pada cermin. Rambut hitam yang ku gelung kini kubiarkan bernafas. Jatuh menyentuh dadaku yang berbalut seragam. Menyisirnya dengan jemariku, batinku berkata aku tidak jelek.
Hidungku tampak tajam, bibir bulat berwarna merah jambu sementara pipiku yang putih agak bersemu kemerahan menyadari aku tampak cantik seperti ini. Mataku menyipit mengikuti lengkungan di bibirku, aku tersenyum kecil.
PLAK!
“Jangan macam-macam buka hijab ya!” Tegur Ibu setelah memukul kepalaku dengan gulungan kertas. Membuyarkan lamunan nakalku. Kemudian aku ditinggalnya pergi ke warung.
“Iya bu.” Jawabku, bibirku spontan manyun.
Sedetik kemudian aku menggeleng. Tidak, aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Ini godaan. Dalam hati aku mengucapkan istighfar.
Masih dalam keadaan agak sebal, aku berjalan mengambil celengan dari kaleng bekas di atas lemari kayu. Duduk di atas kasur, kemudian menghitung tabungan yang ada.
Aku menggeleng. Dilema harus menggunakan tabungan ini untuk membeli tas baru atau harus menggunakannya untuk bekal study tour.
Aku mengurungkan niatku. Kini beralih mencari benang jahit. Dengan kemampuan seadanya aku mulai menjahit tasku alakadarnya.
Ibu kembali masuk ke dalam kamarku, kemudian memosisikan duduk di sebelahku. Melihatku yang kesusahan menjahit, dia lantas mengambil alih.
“Mau ikut tour atau beli tas?” Tanyanya.
“Mau dua-duanya kalau bisa.” Sahutku enteng.
“Ibu tanya salah satu! Kalau beli tas tidak usah bekal selama tour paham!”
“Kalau aku tabung untuk bekal tour, tapi tasnya tetap robek lagi setelah dijahit?”
Ibu menghela nafas mendengar pertanyaanku.
“Tuh! Pakai tas pasar ibu untuk sekolah.” Ibu menjawab pertanyaanku dengan asal. Menandakan dirinya sudah sampai pada ambang batas emosinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments