AKU INGIN MENIKAH

Aku berdiri di depan meja kayu yang tampak usang. Meja di mana biasanya aku menghabiskan waktu untuk belajar.

Sebuah senyum merekah di bibirku saat menatap 2 keping uang 100 rupiah yang kini aku letakkan di dalam sebuah kotak.

“Sa! Astaghfirullah. Dari tadi Ibu panggil-panggil tidak jawab, malah senyum-senyum sendiri.” Tegur Ibu padaku. Aku menoleh, lalu cepat-cepat menyimpan kotak itu dari pandangan ibu.

“Jaga warung sebentar!” Titahnya dengan wajah jengkel.

“Iya bu.”

Ibu melirik dengan penuh selidik. “Sudah punya pacar ya?”

“T-Tidak kok bu.” Jawabku gugup.

“Lalu kenapa senyum-senyum sendiri lihat isi kotak itu?”

“Isa hanya sedang senang saja Bu. Memangnya tidak boleh kalau suatu saat Isa menikah?”

“Tidak!” Singkat dan tegas. Ibu menolak keinginanku untuk memiliki keluarga suatu saat nanti.

“Ibu tidak mau kalau kau menikah. Cinta itu bukan perkara indah. Kalau suatu saat nanti kau seperti Ibu bagaimana? Pokonya, Isa harus jadi anak perempuan mandiri dan sukses. Tidak ada pacar-pacaran! Titik.” Terangnya kemudian keluar kamar meninggalkanku.

Penjelasan Ibu jelas tidak dapat aku bantah. Aku mengerti kenapa Ibu seperti itu. Dengan wajah lesu, aku keluar kamar menuju area warung yang berada di teras rumah.

“Kenapa manyun neng?” Tanya seorang pembeli yang baru saja datang. Pertanyaannya ku balas dengan senyum kecut. Enggan menjawab.

“Cari apa pak?” Aku mengalihkan topik yang kemudian di jawabnya dengan menunjuk etalase yang terpajang dengan deretan rokok.

Aku mengambil rokok yang dimaksud kemudian menerima selembar lima puluh ribuan.

“Sudah tidak usah pikirkan laki-laki. Kalau si eneng sudah sukses pintar, neng tidak perlu khawatir tentang menikah. Laki-laki sendiri yang datang ke eneng.”

Tampaknya pembeli itu masih belum puas membahas topik itu. Ia kembali melanjutkan dengan memberikan sedikit nasihat saat aku memberikan kembalian padanya.

Sepertinya dia mendengar percakapanku dan Ibu beberapa menit lalu. Aku tak mengatakan apapun, hanya membalas dengan sebuah senyum tipis. Bapak itu benar, aku tidak perlu memikirkan semua ini.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tidak terasa hari sudah berganti Senin lagi. Pagi ini kami melaksanakan Upacara seperti biasa. Cuaca pagi ini cukup terik. Ada beberapa murid yang tumbang, tak terkecuali Hafizh.

Kebiasaan tidak bisa sarapan pagi memberikan pengaruh besar pada tubuhnya hari ini. Dia nyaris limbung. Aku sebagai ketua kelas sigap membantunya.

“Hafizh, kau tidak apa-apa?” Aku meraih kedua lengannya bermaksud membantunya berdiri di posisi yang benar. Keringat dingin tampak bercucuran di keningnya. Bibirnya terlihat memucat.

“Tidak apa-apa. Hanya pusing sedikit.” Begitu katanya.

“Eh-eh!” Beberapa murid lagi berteriak saat seseorang dari barisan kelasku kembali limbung.

Ashana.

“Ashana!” Hafizh seketika melepaskan tubuhnya dariku. Sekuat tenaga bergegas ke tempat di mana Ashana jatuh tak sadarkan diri.

Rasa sakit tiba-tiba menyelimuti batinku saat menyadari Hafizh begitu mencemaskan sosok itu.

Aku berjalan dengan cepat mendekati mereka. Mencoba menepis segala keegoisanku dan memprioritaskan warga kelasku.

“Pergi beristirahatlah. Aku akan urus Ashana.”

“Tidak. Biar aku yang bawa. Aku laki-laki.” Aku paham Hafizh bermaksud untuk tidak membiarkan aku membopong Ashana karena aku perempuan. Namun keras kepalanya di saat yang seperti ini berhasil membuatku naik pitam.

“Fizh! Kau sakit. Tim PMR juga akan bantu!” Beberapa murid menoleh ke arahku yang baru saja berbicara dengan nada tinggi. Namun atensi itu berakhir saat tim PMR datang dan seorang guru menghampiri kami.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Usai kejadian itu, aku hanya menghabiskan waktu di dalam kelas seorang diri. Tak berselang lama, Hafizh datang usai di rawat beberapa saat di UKS.

Dia kini tampak sibuk memerhatikan Ashana dari kejauhan.

Benar kata ibu cinta bukanlah hal yang indah.

Selama pelajaran berlangsung hingga selesai, aku tidak mengatakan apapun. Sengaja, berusaha menjauh karena tanpa terucap, aku pikir aku tahu betul siapa yang mencuri hatinya.

“Sa, aku pinjam catatannya tadi ya.” Hafizh membuka pembicaraan kami. Santai dan sepertinya dia tidak merasa janggal dengan sikapku yang sejak tadi tidak menanyakan keadaannya usai dirawat di UKS.

Aku terdiam untuk beberapa waktu.

Menyadari aku berpikir agak lama, Hafizh lantas menjelaskan. “Aku kan telat tadi masuk kelas.”

Dasar aku tidak tegaan, aku menyerah mendengar penjelasannya.

“Oh, pinjam saja. Ini tugas PR besok.” Kataku berusaha bersikap seperti tidak terjadi apapun.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Usai sholat Isya, aku menggeledah rak buku dan isi tasku. Namun tak juga aku jumpai buku catatan yang aku maksud.

“Aduh, kemana ya bukuku?” Aku panik.

Belum lagi tugasnya harus dikumpulkan besok. Aku tidak mau usahaku menjadi anak pintar dan rajin selama ini jadi sia-sia hanya karena tugas Matematika esok ini tidak aku kerjakan. Mana mungkin seorang Ketua kelas teladan tidak mengerjakan tugas.

TOK ! TOK! TOK!

Seseorang mengetuk pintu rumah kami yang sudah reyot ini.

“Sa! Ada tamu! Bantu buka pintu!” Panggil Ibu dari dalam kamar.

“Iya bu!” Seruku. Agak kesal aku keluar kamar, menggerutu karena ada saja yang mengganggu saat aku sedang sibuk mencari keperluan sekolahku.

Aku membuka pintu dan mendapati seorang pria muda bertubuh 180cm berdiri mengenakan Hoodie abu dan sebuah sepeda yang terparkir di halamanku.

Hafizh?

“Bagaimana kau tahu rumahku?” Tanyaku spontan.

“Bukannya kita sudah beberapa kali kelompok.” Hafizh mendekat ke arahku. Kemudian memberikan buku tulis yang sedari tadi aku cari.

Ah yang benar saja, aku lupa jika aku sempat meminjamkan padanya.

“Bisa kau bawa saja kok.” Dustaku, mendadak tidak membutuhkan buku itu.

“Tidak bisa. Aku tahu kau seperti apa. Kau kan perlu membuat tugas juga.”

Dia benar. Dia cukup paham karakterku dalam hal belajar. Aku mengambil alih buku dari tangannya.

“Eh ada gitar.” Sedetik kemudian perhatian Hafizh tertuju pada gitar yang di sandarkan pada kursi kayu di terasku.

Ya, gitar ini milik salah satu pembeli langganan yang biasa nongkrong di warungku. Tapi kadang-kadang aku juga memainkannya.

Melangkah meraih gitar itu, Hafizh kemudian memosisikan duduk di atas kursi panjang. Tangannya bergerak mantap memangku gitar itu kemudian meletakkan jemarinya pada barisan senar.

Aku mengangkat salah satu alisku. Aku tidak pernah mengetahui dia bisa bermain gitar. Begitu pikirku.

Pada momen dan gaya berpakaiannya yang seperti ini, dia terlihat memukau di mataku. Mengapa Tuhan membawanya kemari di saat aku berusaha melupakannya?

Jreng!

Anganku buyar saat ia mulai memetik senar.

“Huu~" Serunya mengambil nada.

"Ah. Suaraku. Ehem-Ehem.” Hafizh berdeham beberapa kali saat menyadari suaranya begitu fals.

Aku terkejut, suaranya sangat parah. Meski mengacaukan khayalanku, aku cukup terhibur dengan tingkahnya. Ini membuatku sadar, bahwa Hafizh, sosok yang aku kagumi tetaplah manusia biasa, karena dia memiliki kekurangan.

Tak mampu menahan senyum geli, aku lantas mengusirnya pulang. Tidak ingin ibuku memaki jika melihatnya di sini membuat keributan dengan suara dan petikan gitarnya yang merusak gendang telinga.

“Sudah-sudah pulang sana.” Pintaku.

Sayangnya dia tidak peduli. Dia bersikukuh memetik senar gitar, sementara aku khawatir jika Ibu datang menegur.

Panjang umur, baru saja aki membatin, Ibu benar-benar datang.

“Eh, ada Hafizh ya.” Separuh nyawaku seperti melayang saat mendengar suara Ibuku yang kini berdiri tepat di belakangku.

“Assalamualaikum Tante.” Sapa Hafizh langsung berdiri saat menyadari Ibuku menghampiri kami.

“Oh, ya sudah. Tante masuk ya Fizh.”

“Iya silakan Te.” Hafizh tersenyum mempersilakan Ibuku meninggalkan kami.

Aku menaikkan satu alisku sebelum kemudian bernafas lega. Heran, kenapa Ibu tidak bersikap seperti dugaanku?

Tampak tenang dan tidak terganggu dengan kedatangan Hafizh ke rumah kami di jam seperti ini. Entah apa ibu akan melakukan hal yang sama jika yang datang bukanlah Hafizh?

“Aku kan ingin belajar, belajar cara bernyanyi.” Imbuhnya setelah Ibuku pergi.

Aku tercenung. Selama ini aku tidak pernah melihatnya tertarik dengan musik.

“Tiba-tiba?”

Hafizh tersenyum tersipu.

“Karena ingin berkolaborasi di pensi dengan Ashana ya?” Celetukku iseng menggodanya.

“Tidak kok.” Katanya singkat.

"Emm... Supaya seperti Eko." Lanjutnya.

Aku mengernyit. "Eko?"

"Iya, yang sedang disukai gadis-gadis itu."

Aku masih belum menangkap siapa sosok Eko itu. Siapa lagi dia?

"Yang Ashana suka itu loh. Boyband."

Aku menepuk jidat setelah mendengar penjelasannya.

"Yaelah! Exo!"

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Ciee... Perjuangan sekali supaya Ashana kesengsem ya? Hahaha..."

"Sstt.. apaan sih. Tidak kok." Hafizh tampak malu-malu. Aku yakin Hafizh sedang berlagak lain di mulut lain pula di hati.

Aku masih berusaha mempertahankan tawaku, sama sepertinya. Lain di mulut lain pula di hatiku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!