Dear Allah,
Mereka bilang setiap jiwa yang terlahir di dunia ini Engkau ciptakan dengan jodoh masing-masing.
Aku penasaran, dengan siapa Engkau menyandingkan namaku dalam Lauhul Mahfudz?
Bolehkah aku meminta dirinya?
Karena, hati yang engkau titipkan padaku memilih dirinya untuk selalu ku sebut dalam tiap bait doaku.
Dia, Hafizh.
BRAK!
"Hayoo menulis apa itu?" Hafizh mengejutkanku dengan menggebrak meja. Kemudian duduk di bangku meletakkan tasnya.
"Kepo deh." Sahutku kesal. Kami memang duduk bersama selama hampir 3 tahun ini. Dari sekian banyak bangku dan murid, hanya kami berdua yang duduk sebangku dengan lawan jenis.
Tidak ada pilihan lain, jumlah laki-laki dan perempuan di kelas kami memang ganjil.
"Kenapa sih kau tidak cari tempat duduk lain." Gerutuku kesal sebab Hafizh selalu saja iseng denganku.
Hafizh terkekeh, "Aku janji tidak iseng lagi deh."
Aku melengos, malas mendengar janjinya.
“Aduh! Tuh kan!” Refleks, aku menjambak rambut Hafizh. Kesal, sebab dia baru saja berulah menarik pucuk kerudungku.
Baru saja beberapa detik lalu janji sudah diingkari.
"Hehe. Tahu tidak alasanku iseng?” Tanyanya nyengir.
“Tidak.” Sahutku singkat.
“Emm.. supaya suatu saat nanti aku bisa ceritakan pada anakku, kau adalah sahabat yang paling aku sayangi karena sudah membantuku. Jadi, aku ingin jaga kamu meski kita hanya teman."
Aku tercenung, bingung harus senang atau sedih.
Senang sebab, dia akan mengingatku hingga memiliki anak kelak, namun sedih sebab dia menganggapku sebatas sebagai sahabat.
Sementara aku selalu berharap, kelak aku dapat menceritakan tentangmu pada anak kita berdua.
Ya, memang selama ini Hafizh mempercayaiku untuk membantunya dalam belajar. Aku memang dikenal sebagai siswa ambisius dan rajin. Sosok ketua kelas yang pintar.
Meski begitu, Hafizh juga banyak membantuku dalam beberapa hal.
Terkadang aku berharap, segala pencapaianku ini akan menjadi salah satu hal yang membuatnya terkesan padaku.
Berharap ada namaku dalam tiap hal yang membuatnya bahagia.
"Emm... Selama di kelas ini, ada tidak sosok yang membuatmu jatuh cinta?"
Deg!
Pertanyaan ke-dua-nya tidak kalah membuatku berdebar.
"Apa sih tiba-tiba begitu. Baru juga masuk sekolah pertanyaannya sudah berat." Aku buang muka, tidak sanggup menatap matanya.
"Ada tidak?" Hafizh menyikut lenganku.
"Tidak ada tuh." Dustaku. Malu untuk mengakui.
"Sedikit saja tidak ada? Siapa begitu?" Tanyanya begitu penasaran.
Aku mengalihkan perhatianku padanya.
"Kau sendiri?" Spontan aku tergelitik untuk memancing. Ada debar dalam dadaku. Berharap namaku akan disebut.
Aku menangkap senyum tersipu dari wajah Hafizh. Tampak dia ingin mengatakan sesuatu namun ada sedikit keraguan di sana.
"Emmm.. sejujurnya, aku suka dengan.."
PLETAK!
Sebuah buku terlempar mengenai wajah Hafizh.
Serentak, kami menoleh ke arah asal buku itu dilemparkan.
"Maaf-maaf Fiz. Aku tidak sengaja. Tadi sebenarnya mau lempar Andre. "
Hafizh mengurungkan emosinya. Menatap dengan gugup, lidahnya seperti kelu untuk memaki gadis berkulit coklat di hadapannya.
Gadis manis dengan lesung pipi, gigi gingsul, rambut panjang terurai dan tubuh semampai.
Dia...
Ashana.
Sudah jelas aku kalah jika dibandingkan dirinya. Selain dari keluarga terpandang, Ashana memiliki kecantikan alami tanpa harus berusaha.
Golongan siswi pintar tanpa harus belajar mati-matian. Berbanding terbalik denganku yang harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai A+. Jika tidak, beasiswa berprestasiku bisa saja dicabut. Maklum, aku bukan dari keluarga berada. Ibuku hanya janda miskin yang harus banting tulang untukku, putri semata wayangnya.
Ada rasa tidak senang bila aku melihat mereka berdua berinteraksi seperti ini. Cara Hafizh memandang Ashana berhasil membuatku cemburu.
Boleh dikata mereka memang serasi. Hafizh adalah siswa tampan, dari keluarga berkecukupan, meski tidak seberapa cerdas, tapi cara bergaulnya yang apik membuat dia cukup dikenal banyak warga sekolah. Begitu juga dengan Ashana.
Sementara aku hanyalah ketua kelas ambisius yang kaku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku memasang sepatuku usai melakukan sholat Duha di Mushola sekolah. Baru saja beranjak, aku nyaris terjungkal saat seseorang menabrakku.
Beruntung tanganku masih sempat diraihnya.
“Hafizh!” Kataku agak kesal. Sementara dia hanya nyengir menatapku tak bersalah.
“Untung saja sudah selesai sholat. Wudhu-ku sudah batal deh.”
“Heheh Maaf-maaf.” Katanya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Lagi pula kenapa sih lari-lari, sholat sana.”
“Hehehe.. Eh ini buat kamu.” Hafizh tak menggubris. Dia lebih memilih berpura-pura tak mendengar dan mengalihkan perhatianku pada dua koin seratus rupiah di genggaman.
Aku bingung. “Apa ini?”
Hafizh mengangkat kedua bahunya. “Tidak tahu, nemu saja di sini. Aku tidak pakai, jadi buat kamu saja.”
“Hmm.” Gumamku heran dengan sikapnya. Ada-ada saja bocah ini, begitulah pikirku.
“Jangan dibuang, itu penting lo. Tahu kan manfaat sholat Duha membuka pintu rizki. Nah ini sudah langsung diijabah, ya meskipun ada sedikit.” Terangnya dengan gaya sok paham yang membuatku ingin tertawa namun berakhir aku tahan.
”Iya deh iya. Ya sudah, Ayo ke kelas.”
Hafizh mengangguk. Baru saja beberapa meter melangkah, seseorang memanggilku.
“Sa! Di panggil bu Eka tuh, bawakan buku.”
Aku menoleh, tidak bisa menolak.
Bagaimanapun juga, aku adalah ketua kelas. Harus bertanggung jawab.
Aku memasuki ruang guru diikuti Hafizh. Dia menawarkan diri untuk membantuku membawa beberapa tumpukan buku. Tentu saja aku tidak menolak.
Setelah keluar dari ruang guru, kami berjalan beriringan. Rasanya begitu senang bisa seperti ini.
Di kepalaku masih dipenuhi pertanyaan tentang percakapan kami pagi tadi. Ingin rasanya aku menanyakan lebih lanjut siapa yang berhasil mencuri hatinya.
Sayangnya aku masih belum memiliki nyali untuk kembali mengulik. Tanpa aku sadari, aku hanya memandanginya. Hafizh menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku.
Apa mungkin dia menyukai ku?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat ini kelas belum juga di mulai.
“Sa, bantu aku.”
Aku melirik Hafizh yang duduk bersamaku di bangku. Wajahnya tampak serius. Sementara tangannya sibuk mencabut sesuatu di dagunya.
“Bantu apa?”
“Ini nih, susah sekali mencabut satu jenggot. Sepertinya ketinggalan.”
“Sudah biarkan saja.”
“Aduh, tidak nyaman nih. Nanti aku tidak fokus belajar lo.” Hafizh berusaha membujukku.
Aku menghela nafas. Dengan agak canggung, aku mulai mendekatkan wajahku di dagunya. Memfokuskan perhatianku di sana, sembari tanganku bergerak mencabut sehelai jenggot dengan kuku sebisa mungkin.
Aku berusaha mengontrol debaran di dadaku. Berharap dia tidak mendengarnya. Tanganku terasa agak dingin. Begitu gugup.
“Susah Fizh.” Kataku menyerah, siapa yang sanggup berada di posisi seperti ini dengan seseorang yang ditaksir?
Hafizh memundurkan kepalanya. Tampak dia mengingat sesuatu.
“Mana recehannya tadi? Berikan padaku.”
“Ada. Ini.” Kataku setelah merogoh saku seragamku, kemudian menyodorkan pada Hafizh.
“Pakai ini. Cepat bantu cabut.”
Agak ragu, mau tidak mau aku tetap melakukannya. Hingga usahaku kali ini membuahkan hasil.
“Tuh kan recehan seperti ini sangat berarti.” Kata Hafizh, puas dan lega bisa mencabut sisa jenggot yang tertinggal di dagunya.
“Oh jadi niatmu memberiku itu untuk ini.”
“Tidak juga sih. Kalau tidak mau ya sudah sini.” Hafizh merebut recehan itu dari tanganku.
“Eh eh tidak bisa. Sudah jadi milikku.” Aku menepis tangannya, sebelum kemudian sebuah deham seseorang mengalihkan perhatian kami.
Tanpa kami sadari suasana kelas sudah hening sejak beberapa menit lalu.
“Waduh romantis sekali.” Ledek Bu Eka yang rupanya sudah sejak tadi memasuki ruang kelas.
Aku tak kuasa menahan rasa malu kala seisi kelas menggoda kami berdua. Hafizh tampak tertunduk tak mampu mengatakan apapun. Hafizh tak kalah tersipu.
Sementara aku berusaha menyembunyikan wajahku, aku menangkap Ashana yang menatap kami berdua dengan senyuman tipis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments