I Thought It Was A Happy Ending

I Thought It Was A Happy Ending

PERMINTAAN MENGEJUTKAN

Hari ini aku sibuk membereskan rumah usai acara tahlilan 40 hari meninggalnya kakak iparku.

Dok.. Dok.. Dok..

“Assalamualaikum.”

Terdengar seseorang datang bertamu. Aku menyambut mereka.

“Waalaikumsalam. Mari masuk Bu,Pak.” Kataku mempersilakan.

Netraku tertuju pada gadis yang duduk menunduk sejak tiba di sini. Tak ada seutas senyum di bibirnya.

Tak berselang lama, keluarga kami telah berkumpul termasuk Hafizh, suamiku. Aku mengambil posisi duduk di sebelah Ashana. Wanita yang murung sejak kepergian calon suaminya, kakak iparku.

Aku mengusap punggungnya, memberikan sedikit ketabahan untuknya.

“Kedatangan kami kesini selain memberikan penghormatan terakhir kepada Ridwan. Kami bermaksud menanyakan pertanggung jawaban atas janin yang dikandung Ashana.”

Tak ingin basa-basi Om Amar langsung menuju pada inti pembicaraan. Semua terdiam. Ada perasaan tidak enak di benakku.

“Kami pasti akan memberikan nafkah untuk anak itu. Tapi, Ridwan sudah tidak bersama kami.” Sahut bapak mertuaku.

Om Amar menundukkan kepalanya, kemudian menggeleng. Jelas bukan itu yang diharapkan Om Amar untuk putrinya.

“Mungkin mudah saja memberikan nafkah bagi keluarga kalian kepada calon cucu kami. Tapi kami juga bisa menafkahi putri kami dan cucu kami sendiri.”

Mertuaku memberikan tatapan bingung. “Lalu maksudnya, apa yang harus kami lakukan?”

“Apa?! Anda bertanya apa?” Ada rasa tidak senang terdengar dari nada bicara Om Amar.

“Apa anda tidak memikirkan bagaimana putri kami menahan malu dengan semua ini? Cucu kami tidak memiliki ayah, putri kami bahkan tidak bersuami. Bagaimana orang-orang akan mencibir kami?” Lanjutnya.

Benar, keluarga Om Amar memang terkenal berwibawa dan disegani. Mereka tidak mungkin membiarkan putri semata wayangnya dicap sebagai wanita murahan karena semua kecelakaan ini.

“Saya paham. Tapi kami tidak bisa berbuat apapun saat ini. Kami juga berduka.” Tegas bapak mertuaku.

“Pak sudah pak. Kita pulang saja.” Ashana meraih tangan sang Ayah. Mencoba meredam perdebatan ini untuk tidak berlanjut.

“Kalian tidak tahu, tidak memikirkan bagaimana Ashana hampir kehilangan harapan hidup.” Ibunya menambahkan sembari mengusap tangan dan pipi Ashana. Aku melirik, terdapat beberapa lebam di sana. Tentu saja ini akibat luapan kekesalan Om Amar pada Ashana.

“Kami minta anak kami tetap dinikahi.” Tegas Om Amar membuat seisi rumah terdiam untuk beberapa detik.

“Menikah?!” Kali ini Ibu mertuaku angkat bicara.

“Bapak sudah pak, ayo pulang. Maafkan kami om tante. Kami pamit.” Ashana bangkit dari tempat duduk, menarik tangan Om Amar. Namun usahanya gagal, tangan Asahana justru ditepis oleh Ayahnya.

“Kamu ini malah tidak bisa membela diri kamu ya!” Om Amar naik pitam, tangannya mulai di ayunkan ke wajah Ashana sebelum akhirnya ku gagalkan.

“Om sudah om.” Aku menahan tangannya. Mencoba meredam keributan ini.

“Ashana tahu, Asha salah pak. Asha tidak punya pilihan selain menjalani karma Asha.” Ucap Ashana dengan suara bergetar mencoba menahan tangis.

“Hentikan omong kosongmu! Kami tidak akan membiarkanmu melahirkan anak ini tanpa Ayah! Bapak malu!”

Kini Om Amar menatap tajam kepada kami. Sejenak dia berpikir, membuat kami terdiam menunggu dengan perasaan berselimut penasaran bercampur gelisah.

“Kami tidak ada pilihan lain selain memohon putra ke-duamu menggantikan posisi mendiang Ridwan.”

Aku tersentak. Sebuah kalimat yang tidak ingin kudengar benar-benar terucap.

Ibu mertuaku bangkit dari tempat duduk.

“Mana mungkin itu terjadi!” Katanya tak terima. Sementara Bapak mertuaku mengusap punggungnya memintanya untuk duduk dengan tenang.

“Bagaimanapun juga, ini adalah perbuatan anak kalian juga. Bagaimana bisa kalian membiarkan putriku menanggungnya seorang diri? Mendapatkan cacian tetangga, buah hati yang akan kesepian tanpa Ayah? Kami harap kalian akan memikirkan ini baik-baik.” Terang Om Amar.

Aku melirik ke arah Hafizh yang kini tampak gelisah dan tidak senang. Begitu juga dengan yang aku rasakan.

“Fiz.” Ayah mertua memanggil suamiku. Aku mengalihkan pandanganku.

“Maaf pak, Hafizh tidak mungkin melakukan ini. Hafizh sudah ada Isaura dan Leila.” Aku sedikit bernafas lega kala suamiku menolaknya dengan halus.

Tapi tidak dengan bapak mertuaku. Ia menghela nafas. Tampak bingung harus mengambil keputusan apa.

“Isaura?”

Deg! Aku terhenyak tidak enak mendengarnya memanggil namaku. Aku terdiam. Enggan menjawab.

“Sa.” Panggil bapak mertuaku lagi.

“Isa, Isaura nurut mas Hafizh saja pak.” Kataku dengan tertunduk lesu.

Bodoh! Aku mengatakan itu saking aku bingung. Mulutku membohongi hatiku.

Jauh dalam hatiku saat ini berharap Hafizh akan menolak. Mana mungkin aku bisa berbagi cinta dengannya.

Hafizh meraih tanganku, menarikku berdiri disampingnya. “Hafiz tidak bisa pak.” Tegasnya.

“Benar-benar tidak berhati nurani. Sudah nak percuma kita kemari. Tuhan tidak menutup mata, mereka akan menerima balasannya!” Om Amar tampak geram, ia kemudian melangkah menuju pintu keluar. Namun urung saat sang istri tiba-tiba mendekatiku.

“Tidak bisakah kami memohon kebesaran hati kalian?”

Sial! Kini ibu Ashana bersimpuh dihadapanku.

“Katakan nak, katakan kau ikhlas. Aku yakin jika kau izinkan, Hafizh akan bersedia menyelamatkan putri dan cucu kami.” Pintanya seraya menggenggam erat kedua tanganku. Memohon secuil belas kasihku.

Aku mengangkat bahu ibu Ashana, tidak membiarkannya seperti ini. Menuntunnya untuk berdiri sejajar denganku. Hatiku terlalu lemah, tidak bisa melihatnya seperti ini. Ini mengingatkanku pada mendiang ibu.

“Isa, akan berusaha ikhlas jika mas Hafizh juga bersedia menikahi Ashana.” Dengan terbata dan berat hati, pada akhirnya aku mengatakan hal yang sejujurnya ingin aku hindari.

Semua mata tertuju padaku.

“Isa!” Hafizh menegur.

Aku menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan pandangan berkaca. Mencoba menahan air mataku. Berdiri setegar semampuku.

“Isa, tidak ingin anak Ashana seperti Isa waktu kecil. Isa tidak ingin Ashana merasakan apa yang ibu Isa pernah lalui. Tanpa suami dan seorang diri. Itu bukan perkara mudah.” Jelasku pada Hafizh, berharap ia akan mengerti.

“Sa, pikirkan yang matang sa. Aku tidak mungkin lakukan ini.” Hafizh meraih bahuku. Mengguncangku agar aku sadar dan menarik semua yang aku katakan.

“Isaura benar Fizh. Bagaimanapun ini adalah tanggung jawab kedua keluarga.”

“Bu! Tapi bukan Hafizh yang melakukan, kenapa Hafizh yang harus menanggung semuanya?!” Protes Hafizh diluar kendali.

“Hafizh!! Siapa yang mengajarkanmu berbicara angkuh di depan orang tua seperti ini?!” Sentak Bapak tidak terima dengan sikap putranya.

Hafizh terdiam.

Aku yakin dia marah padaku. Andai aku bisa mengatakan, aku juga tidak mau ini terjadi.

Wanita mana yang rela berbagi belahan jiwanya dengan wanita lain?

Hafizh adalah orang yang selama ini aku perjuangkan. Cinta pertama yang aku perjuangkan selama hidupku.

Aku pikir pernikahan kami adalah akhir dari kisah cinta kami yang indah.

Aku pikir kisah hidupku akan berakhir bahagia seperti dalam dongeng cinta.

Aku pikir hanya aku seorang belahan jiwanya.

Nyatanya salah, Allah menyiapkan dua belahan jiwa untuk Hafizh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!