Misteri Kerasukan

    Manik sangat fokus pada ujian matematika yang diadakan oleh Ibu Umi dan belajar dengan sungguh-sungguh untuk menjawab soal-soal ujian tersebut. Dalam hatinya, ia berkata, “Saya harus bisa menjawab ini nanti, agar tidak membuat Candra merasa dirinya payah.” Candra sering kali merasa tidak cukup pintar karena Manik selalu mendapatkan nilai rendah dalam pelajaran matematika, meskipun Candra selalu berusaha memberikan berbagai cara alternatif untuk membantu Manik. Ini menjadi motivasi bagi Manik untuk berhasil dalam ujian matematika kali ini.

    Ibu Umi menjelaskan, “Siswa yang absennya genap akan menunggu di luar kelas, sedangkan yang absennya ganjil akan duduk di dalam kelas. Posisi duduk kalian di sebelah kiri...” Ibu Umi juga menekankan bahwa tidak diperbolehkan ada benda apa pun di atas meja karena lembar kerja sudah disiapkan.

    Ketika ujian dimulai, suasana begitu tegang. Manik mulai mengerjakan soal matematika dengan cermat, sementara Candra menunggu di luar kelas. Durasi satu jam untuk menjawab 20 pertanyaan matematika terasa sangat mencekam, ditambah lagi dengan keheningan yang mengisi kelas 2B. Dalam hati, Manik berbicara, “Mengerjakan soal matematika lebih menegangkan daripada menonton film horor, hahaha...”

    Setelah ujian matematika berakhir, Manik dan Candra berkumpul di perpustakaan sambil menelusuri koleksi buku terbaru. Seorang murid kelas satu yang menunggu pergantian kelas sore berkata, “Lebih nyaman di sini, kan? Daripada berdiri di luar panas.”

    Manik duduk bersebelahan dengan Candra yang tengah asyik membaca buku. Mereka menghadap lorong-lorong rak buku. Tiba-tiba, Manik melihat bayangan hitam. “Apa itu ya? Mungkin dari tirai jendela?” gumam Manik sambil mencari sumber bayangan hitam tersebut.

    Rasa penasaran Manik tentang bayangan hitam itu mendorongnya untuk mendekat dan memeriksanya lebih lanjut. Namun, entah mengapa, Manik merasa ada ketakutan yang tidak beralasan, seolah-olah ada yang aneh dan tidak wajar. Ketika ia hampir mencapai ujung lorong, ia tiba-tiba menghentikan langkahnya karena perasaan ketakutan yang tidak dapat dijelaskan.

    Kemudian, terjadi sesuatu yang tak terduga. Teriakan keras dan melengking terdengar dari taman baca di depan perpustakaan. Salah satu siswa tampak mengalami kerasukan, dan teriakan itu begitu memekakkan telinga. Manik, yang berada di perpustakaan, segera menuju sumber suara yang mengejutkan banyak orang.

    Tapi tidak hanya itu, teriakan serupa juga terdengar dari kelas 2H yang sangat dekat dengan perpustakaan. Kejadian kerasukan ini semakin menakutkan, dan situasinya semakin parah, meluas ke beberapa titik. Candra memberitahu Manik bahwa Sarah mengalami kerasukan lagi, sambil menunjuk ke arah Sarah yang ditolong oleh beberapa guru.

    Manik, dalam kebingungannya, berpikir, “Bagaimana mungkin Sarah mengalami kerasukan berkali-kali?” Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya. Di tengah kepanikan dan ketakutan yang menjalar di antara siswa lainnya, Manik merasa keringat dingin mengalir saat menghadapi situasi yang belum pernah ia alami sebelumnya. Hal yang sama dirasakan oleh siswa-siswa lainnya, dan kejadian ini membuat Sekolah Amanta menjadi bahan perbincangan di masyarakat, termasuk orang tua Manik.

    Hampir satu per satu siswa mengalami kerasukan dan mereka dikumpulkan di lapangan untuk menerima pertolongan dari para guru. Wakil kepala sekolah kemudian mengumumkan melalui pengeras suara bahwa seluruh aktivitas belajar mengajar hari ini dibatalkan, dan para siswa diharapkan untuk segera pulang.

    Aldo mengatakan, “Ini sungguh aneh, aku tidak tahu apa yang terjadi.”

    Candra merespon, “Sama, melihat orang-orang berteriak tadi membuat bulu kudukku merinding.”

    Manik menambahkan, “Ayo kita pulang cepat, Candra.”

    Manik dan Candra kemudian pulang bersama. Meskipun Candra sebenarnya pulang lebih awal dari biasanya, orang tua Candra tidak menjemputnya ke sekolah. Akhirnya, Candra memutuskan untuk berdiam diri di rumah Manik.

Bayangan Hitam

    Manik terus merasa merinding sepanjang waktu, seolah-olah ada yang mengikutiinya dari belakang. Terkadang, ia refleks menoleh untuk memeriksa apakah ada yang mengikutinya.

    Candra yang melihat tingkah laku Manik yang agak gelisah dan terlihat ketakutan bertanya, “Kenapa kamu terus-terusan menoleh ke belakang, Manik?”

    Manik merasa kesulitan menjelaskan apa yang dirasakannya saat itu, jadi ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai respons.

    Setibanya di rumah, Manik meletakkan tasnya di sofa dan langsung menanyakan kepada Candra, “Candra, apakah kamu merasa ada yang aneh ketika kita di perpustakaan tadi?”

    Candra menjawab, “Hm... tidak, Manik. Hanya saja, aku merasa merinding ketika melihat Sarah ditandu oleh para guru ke lapangan.”

    Manik mengungkapkan, “Saat perjalanan pulang tadi, aku juga merasa ada yang aneh.”

    Candra bertanya, “Apa yang terjadi?”

    Manik menjawab, “Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.”

    Mereka mulai berbincang-bincang tentang kejadian di sekolah yang membuat mereka merasa cemas. Candra kemudian memberitahu ibunya bahwa ia berada di rumah Manik untuk belajar kelompok. “Mama, kamu jangan khawatir, aku akan makan di sini dulu,” kata Candra kepada ibunya. Manik dan Candra melanjutkan pembicaraan mereka tentang perlombaan dan peristiwa di Sekolah Amanta.

    Ketika orang tua Manik tiba di rumah, mereka segera menanyakan tentang apa yang terjadi di Sekolah Amanta. “Tadi di sekolahmu ada yang aneh,” kata Pak Ida.

    Manik bertanya, “Ada apa sebenarnya, Pak?”

    Pak Ida menjawab, “Nanti Bapak akan menceritakannya, mari kita makan dulu sebentar.”

    Suara telepon berdering saat mereka tengah makan siang, dan Manik menjawabnya, ternyata panggilan dari adiknya, Ade. “Kak, nanti aku selesai latihan sekitar pukul delapan malam,” ucap Ade. Manik segera memberitahukan hal ini kepada ibu dan bapaknya.

    Pak Ida mengungkapkan, “Sekolah kalian seharusnya menjalani pembersihan secara spiritual. Pihak sekolah sampai kewalahan dan bahkan harus meminta bantuan ketua adat untuk datang ke sekolah.”

    Candra berkomentar, “Itu benar-benar peristiwa yang mengerikan, menurutku.”

    Manik menambahkan dengan nada ketakutan, “Terlebih lagi, ini sudah beberapa kali terjadi kerasukan. Aku seperti menunggu di mana suara teriakan akan datang lagi.”

    Pak Ida menanggapi, “Sungguh mencekam, betul sekali.”

    Manik bertanya, “Tapi, Pak, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah masih ada orang kerasukan tadi?”

    Pak Ida menjawab, “Semua siswa sudah pulang tadi. Sekolah Amanta sekarang sudah sepi, tidak ada kegiatan lagi. Ini adalah kejadian yang biasa terjadi di banyak sekolah, jadi jangan lupa untuk selalu berdoa.”

    Setelah makan siang, Manik dan Candra melanjutkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Ibu Lastri. Mereka sedang mengerjakan tugas esai budi pekerti dan ilmu pengetahuan sosial. Candra berkomentar, “Kita bisa mengarang dengan baik tanpa buku, bukan?”

    Manik tertawa mendengar ini dan menjawab, “Tapi untungnya, aku mendapatkan nilai 90/100 dalam ujian matematika. Jadi kalau mengarang ini bisalah dapat 100 hehehe…”

    Candra menjawab, “Syukurlah, jadi ngajarinmu tidak sia-sia.”

    Namun, Candra tiba-tiba menyadari sesuatu, “Eh, ada yang ketinggalan, Manik—”

    Manik bertanya, “Apa, Candra?”

    Candra menjawab, “Aku lupa mengambil lembar kerja kita yang ada di bawah meja. Kita sebentar saja ke sekolah untuk mengambilnya.”

    Tanpa berpikir panjang, Manik dan Candra memutuskan untuk pergi ke sekolah dan mengambil lembar kerja. “Untung gerbangnya tidak terkunci, Candra,” kata Manik sambil membuka pintu gerbang sekolah. Sekolah sangat sepi, jadi mereka menuju kelas 2B dengan cepat, meskipun panas matahari masih cukup menyengat, membuat mereka berkeringat.

    Ketika sampai di depan kelas, Manik mencoba membuka pintu yang, untungnya, tidak terkunci. Mereka masuk dan segera mengambil lembar kerja. Manik berjaga-jaga di depan pintu kelas, sementara Candra mencari lembar kerja. Manik merasa tubuhnya merinding dan berkeringat dingin. Di jendela perpustakaan, dia melihat bayangan hitam, meskipun ada gorden, bayangan tersebut sangat jelas. Dari jauh, Manik merasa itu adalah petugas perpustakaan sekolah yang sedang merapikan rak buku. “Oh mungkin itu Pak Astra sedang merapikan buku-buku,” gumam Manik dalam hati.

    Candra juga merasakan hal yang sama seperti Manik, tetapi dia memilih untuk tidak menceritakan kepada Manik. Mereka berdua memendam perasaan mereka dan melanjutkan mengambil lembar kerja. Manik, yang masih menunggu Candra, melihat seseorang duduk di taman baca sekolah. “Candra, cepatlah, mengapa begitu lama?” seru Manik saat memanggil Candra untuk segera mengambil lembar kerjanya.

    Candra yang masih fokus mencari lembar kerja berkata, “Tunggu sebentar, bagaimana bisa lenyap begitu saja, padahal aku menyimpannya di sini.” Candra masih mencari di meja teman-temannya. Manik merasa ada yang aneh dan mencoba mengalihkan perhatiannya. Perasaan Manik semakin merinding, sehingga dia memutuskan untuk masuk ke dalam kelas.

    “Kenapa tangga sebelah jadi terasa aneh begitu, biasanya biasa saja,” gumam Manik sambil mendekati Candra. Candra masih fokus mencari lembar kerja di semua meja.

    “Bagaimana bisa tidak ada, Manik?” kata Candra.

    “Baiklah, aku akan mencari di laci guru,” kata Manik sambil mencari di laci meja guru dan akhirnya menemukan lembar kerja. “Akhirnya, ketemu juga. Sepertinya Barsa yang mengambil dan meletakkannya di laci ini,” kata Manik.

    “Cepatlah, kita pergi,” kata Manik, mengajak Candra keluar dari kelas. Candra masih menyimpan perasaannya sendiri, dan Manik juga tidak membahas perasaannya. Mereka mendengar langkah kaki dari arah tangga sebelah kelas 2B. “Lari!” seru Manik. Tanpa berpikir panjang, Manik dan Candra berlari, tidak bisa lagi menahan rasa takut meskipun mereka tidak berbicara satu sama lain tentang perasaan yang mereka alami.

    Saat berlari, Manik melihat bayangan hitam yang ternyata sebuah rambut panjang hitam yang terjatuh dari plafon laboratorium fisika. Manik berlari dengan cepat, jantungnya berdebar kencang. Manik menarik tangan Candra untuk cepat keluar dari sekolah.

    Setelah keluar dari pintu gerbang sekolah, jantung mereka masih berdebar kencang. Manik melihat seorang wanita berambut panjang hitam berdiri di dekat tiang bendera. Tubuh Manik merinding, dan dia tidak bisa berkata-kata.

    Candra melihat keadaan Manik yang ketakutan dan menepuk punggungnya. “Manik, tenanglah, kita sudah di luar sekarang,” kata Candra, yang kemudian disapa oleh satpam sekolah yang menanyakan apakah mereka akan ke dalam sekolah atau tidak.

    Manik menjawab, “Hehehe... tidak, Pak, kami hanya lewat saja.” Satpam sekolah melarang mereka masuk lagi.

    “Kalian jangan masuk dulu ya, mungkin besok saja,” kata Pak Emon.

    “Baiklah, Pak,” kata Manik.

    “Pulanglah dengan hati-hati, Manik, maaf kami belum bisa memperbolehkan masuk, karena sekolah sedang sepi,” kata Pak Emon. Sontak saja, Manik dan Candra merasa ketakutan dan bergegas pulang bersama-sama.

Hawa Panas

    Setibanya di rumah, Manik segera mengambil air minum. Perasaan ketakutannya muncul saat ia melihat bayangan hitam yang mengejutkannya. Candra segera berbicara kepada Manik, “Manik, tadi aku melihat tangan yang berwarna ungu, sungguh aku tidak bohong.” Nafas Candra masih tersengal-sengal ketika ia menceritakan pengalaman yang dialaminya dengan mata kepala sendiri. Manik berusaha untuk meredakan ketakutannya, dan Candra pun demikian.

    “Kalian kenapa?” tanya ayah Manik. “Mengapa mukamu terlihat sangat pucat? Darimana kalian tadi?”

    (Manik dan Candra masih menatap satu sama lain dengan napas terengah-engah)

    “Bapak dan ibu akan pergi sebentar, kalian tinggal saja di sini dengan tenang,” kata ayah Manik.

    “Ibu akan kembali sebentar, Nak,” kata ibu Manik. “Candra, tinggal di sini saja dan tunggu ibumu datang. Jangan berlarian, nanti kamu akan berkeringat,” tambah ibu Manik.

    Manik dan Candra berusaha meredakan diri mereka sendiri, mereka tidak pernah menyangka akan mengalami peristiwa seperti ini dalam hidup mereka. “Beruntung tidak terjadi apa-apa,” gumam Manik dalam hatinya. Manik meremas tangannya dan mencoba menenangkan diri, begitu juga Candra yang masih bernapas panjang dan dalam.

    Mereka kemudian melanjutkan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Ibu Lastri hingga pukul 17:30, kemudian ibu Candra datang menjemput. Candra mengucapkan selamat tinggal kepada Manik dan orang tuanya.

    Keesokan harinya di sekolah, ibu Nita, ibunya Candra, datang ke sekolah. “Eh, ada Manik, ibu mau memberikan surat sakit. Ke mana ibu membawa suratnya?” tanya ibu Nita.

    Mendengar ucapan Ibu Nita, tentu saja Manik kaget dan heran, dan berkata, “Candra sakit apa ya, Bu?”

    “Demam, Manik,” jawab Ibu Nita. Manik pun mengarahkan ke ruang guru untuk diberikan kepada wali kelas. Dalam batin Manik berkata, “Tumben nih si Candra sakit demam sampai tidak sekolah, ntar jenguk saja deh.”

    Pelajaran berlangsung seperti biasanya. Barsa bertanya kepada Manik, “Candra sakit apa, Manik?”

    “Hm… ibunya tadi datang dan mengatakan Candra demam. Aku berencana menjenguknya, ada yang ingin ikut?” tanya Manik.

    “Aku ingin menitipkan buah-buahan. Ini dari uang kas kelas, Manik,” kata Barsa sambil memberikan sejumlah uang.

    “Oh, tentu saja, nanti aku akan membeli buah-buahannya untuk diberikan kepada Candra,” jawab Manik.

    “Mungkin lebih baik jika hanya kamu yang pergi dulu, agar tidak mengganggu istirahatnya Candra,” kata Barsa sambil tersenyum.

    “Tidak masalah, nanti aku akan menyampaikan salam dari teman-teman,” kata Manik.

    Setelah pulang sekolah, Manik merasa bahwa ada yang mengikuti dirinya, tetapi berbeda dengan sebelumnya, ia tidak merasa takut. Meskipun begitu, perasaan aneh masih menghantuinya.

    “Apakah ini ada hubungannya dengan sosok yang kemarin?” gumam Manik dalam hati. Ia kemudian melanjutkan perjalanan pulang.

    Setibanya di rumah, Manik menceritakan kepada orang tuanya dan meminta izin untuk pergi ke rumah Candra. Tentu saja, orang tuanya mengizinkan dan mengantarkannya ke rumah Candra.

    Candra sedang demam tinggi, jadi Manik hanya bisa menitipkan salamnya melalui ibu Candra. Karena Candra sedang beristirahat, Manik dan orang tua Candra hanya duduk di ruang tamu sebentar.

    Hari berlalu…

    Manik menceritakan kejadian yang mereka alami kepada bapak dan ibunya. Sontak saja, Pak Ida terkejut mendengarnya. “Beruntung Manik masih dilindungi oleh leluhur sehingga tidak terjadi apa-apa,” ucap Pak Ida.

    Malam harinya, Manik pergi bersama bapaknya ke tempat fotokopi untuk mencetak tugas sekolah. Di sana, Manik tak sengaja mendengar suara ramai bayi. “Kok ada suara bayi ya,” gumam Manik dalam hati. Ia pun langsung bertanya kepada bapaknya, “Pak, apakah bapak juga mendengarnya?” Namun, bapaknya hanya menjawab, “Biarkan saja, abaikan.”

    Setibanya di rumah, Manik diberitahu bahwa mereka tadi melewati kuburan bayi. “Suara yang kamu dengar itu wajar, terutama karena hari ini adalah peringatan hari keagamaan. Jadi, tidak perlu khawatir.”

    “Tapi, Pak, saya yakin saya mendengar suara bayinya,” kata Manik.

    “Tidak apa-apa, mungkin saja kamu memang mendengarnya. Tapi ingat, itu adalah hal yang wajar ketika melewati kuburan bayi,” jawab Pak Ida.

    Kata-kata bapaknya Manik tampaknya tidak terlalu heran dengan apa yang diceritakan oleh Manik. Hal ini mungkin karena bapak Manik memiliki kemampuan serupa yang telah ia warisi, dan tidak semua anak pertama dalam keluarga mewarisi kemampuan tersebut. Hal ini masih menjadi misteri, karena tidak semua keturunan mewarisi kemampuan batin ini.

    Mendengar perkataan bapaknya, Manik merasa bahwa selama peristiwa di Sekolah Amanta minggu lalu, leluhur Manik ikut menjaganya sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Bapaknya juga sempat menceritakan bahwa “Sekolah Amanta harus menjalani pembersihan melalui upacara keagamaan, ini adalah tindakan yang wajar dilakukan, terutama karena Sekolah Amanta sudah berdiri sejak lama dan selalu diupacarai setiap ada pembangunan baru.”

    Selama satu minggu, Candra masih belum pulih sepenuhnya. Manik juga terus merasakan panas ketika sampai di Sekolah Amanta. Hari ini, seluruh siswa di Sekolah Amanta ikut serta dalam mempersiapkan prosesi upacara pembersihan yang diadakan oleh pihak sekolah. Terdengar kabar bahwa penyebab dari kejadian kerasukan massal tersebut adalah karena seorang siswa yang berkata kasar di bagian barat laut sekolah. “Dion saat itu mengucapkan kata-kata kasar dan meludah sembarangan di kantin,” ucap Barsa, yang menceritakan perbuatan buruk siswa kelas 3H di sekitar Dieng, sebuah tempat yang sangat suci.

    Ternyata, tidak hanya Candra yang mengalami demam, hampir beberapa siswa juga mengalami hal yang serupa. Manik mulai menyadari sesuatu yang aneh selama prosesi upacara pembersihan. “Mengapa aku melihat hampir semua orang memiliki bayangan hitam di belakang tubuhnya?” gumam Manik dalam hatinya. Tak lama setelahnya, Manik merasa kepala sangat pusing.

    Brak! Manik pingsan dan segera dibawa ke ruang perawatan medis di sekolah. Meskipun Manik merasa dirinya baik-baik saja dan tidak ingin pulang, dia memutuskan untuk beristirahat sebentar. “Aneh, tiba-tiba tubuhku terasa panas,” gumam Manik dalam hati ketika temannya Padma menemaninya di samping tempat tidur di ruang perawatan medis sekolah.

Sosok Misterius dan Fenomena Aneh

    Manik berbaring di ruang perawatan medis sekolah, mencoba merenungkan perasaannya yang semakin aneh akhir-akhir ini. Setiap kali dia sampai di Sekolah Amanta, ada perasaan tidak nyaman yang mengikutinya, dan seolah-olah ada sosok wanita hitam berambut panjang yang selalu mengejarnya dalam bayangannya. Sosok ini, meskipun awalnya hanya muncul dalam bayangan, kini mulai berani menampakkan dirinya di hadapan Manik.

    Pada awalnya, sosok tersebut hanya muncul sebagai bayangan samar yang mengintai dari sudut mata Manik. Namun, semakin lama, sosok itu menjadi semakin nyata. Manik bisa melihat rambut panjang hitamnya menjuntai ke depan wajahnya. Tatapan matanya penuh dengan rasa sakit dan kegelapan yang menghantui.

    Ketika Manik mencoba mendekati sosok itu untuk berbicara atau mencari tahu siapa dia, sosok tersebut selalu menghilang dengan cepat, seolah-olah hanya ada untuk menghantui Manik. Perasaan ketidaknyamanan dan ketakutan yang mengiringi kehadiran sosok ini membuat Manik merasa terganggu dan terbebani.

    Tidak hanya itu, Manik juga mengalami fenomena aneh lainnya. Saat berjalan pulang dari sekolah sendirian, dia sering merasakan hal-hal yang tidak biasa. Terkadang, dia mendengar suara babi mengerikan yang membuat bulu kuduknya berdiri tegak. Suara monyet juga kadang-kadang terdengar dalam keheningan Gang Jingga yang biasanya tenang.

    Lebih mengejutkan lagi, kadang-kadang ada ular yang tiba-tiba melintas di depan jalannya, meskipun Gang Jingga bukanlah tempat yang biasa dihuni oleh ular. Semua ini membuat Manik merasa semakin bingung dan takut. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan dia belum tahu apa yang sedang terjadi.

    Manik masih belum mengenal apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana semua ini terkait dengan dirinya. Namun, dia tahu bahwa dia harus mencari tahu lebih banyak tentang misteri yang mengelilinginya dan tentang sosok wanita hitam yang selalu menghantuinya.

~ Catatan ~

    “Kekuatan untuk mengenal diri sendiri kadang-kadang harus ditempuh melalui ketakutan dan permasalahan. Proses ini adalah perjalanan yang tak berkesudahan dalam menjawab tujuan kita di dunia, hingga akhir hayat. Di dalamnya terkandung hikmah dan pertumbuhan yang tiada tara.”

Terpopuler

Comments

Agas

Agas

mampir thor

2023-10-04

0

Dima

Dima

Up lagi author ^^ siapa tahu bisa menang genre horornya. Keren nih ceritanya. Kalau bisa wajib dijadiin film 😭

2023-10-04

1

Vivi Z

Vivi Z

jujur bakalan kepo sama kisah Manik kedepannya sih hehe

2023-09-27

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!