Desi dan Wita

Desi

Meninggal dunia seminggu sebelum Ujian Nasional pada tahun 1996.

Wita

Meninggal dunia 3 hari sebelum Ujian Nasional tahun 1996.

***

"1996?" tanya Arian sambil memegang buku data siswa-siswi.

Mereka tengah berada di perpustakaan. Buku data siswa-siswi itu mereka dapatkan di sana. Namun, ada begitu banyak foto yang dicoret dengan keterangan meninggal dunia dan jarak waktu menuju ujian nasional.

Jini membolak-balik buku tersebut. "Berarti ada orang lain yang merhatiin mitos ini selain kita?" tanyanya.

"Tau dari mana lu?" balas Jovan.

"Siapa yang nandain siswa-siswi yang meninggal di buku ini? Dan ngasih keterangan beberapa hari sebelum ujian nasional. Berarti orang yang nandain ini juga tau kalo ini semua bakalan terjadi!" ucap Jini.

Dari rak buku sebelah, penjaga perpustakaan mendengar obrolan mereka dan kembali berlalu ke tempatnya. Ia mengirimkan sebuah pesan kepada Kepala Sekolah.

***

"Kita harus cari tau siapa dalang di balik semua mitos ini! Kita harus ubah mindset pihak sekolah! Biar mitos ini hilang! Dan nggak ada korban lagi!" jelas Jini sambil berjalan di koridor bersama ke empat temannya.

"Nggak semudah itu, Jin! Kita ini cuma murid! Lagian bentar lagi kita bakalan naik kelas 12. Kita bakalan sibuk ngurusin Try Out, ngurusin jam pelajaran tambahan, ujian nasional. Nggak bakalan bisa fokus sama mitos ini!" bantah Rafa.

"Tapi, kalo kita nggak hilangin mitos ini, sebelum Ujian Nasional mungkin salah satu dari kita bakalan jadi tumbal selanjutnya!" tegas Jini.

Bima menengahi perdebatan tersebut. "Oke, gini aja. Karena gua nggak bisa ngeliat sekolahan hantu yang lu semua ceritain, gimana kalo malam ini kita ke sekolah buat pastiin apa aja aktifitas makhluk-makhluk yang ada sekolah ini? Kalo mereka normal-normal aja, ya udah berarti kematian itu emang karena mitos. Tapi kalo ada sesuatu yang janggal, berarti ada dalang di balik semua ini!"

"Tapi kayaknya, mending kita nggak usah ikut campur sama ini semua!" balas Arian.

"Lah, kenapa?" tanya Jovan.

"Pas tadi kita di perpus, gue liat ada cewek di atas rak. Cewek itu noleh ke sebelah. Bukan noleh ke kita. Berarti tadi dia ngeliat orang lain selain kita. Sedangkan satu-satunya orang di perpus tadi, cuma penjaga perpus! Gue rasa ini udah mengakar di sekolah. Jadi kayaknya banyak pihak yang terlibat, mending nggak usah ikut campur," ucap Arian.

"Terus lu mau jadi tumbal selanjutnya?!" tanya Jini.

"Lu aja!" jawab Arian singkat.

***

Malam hari ini, Arian, Jini, Bima, Jovan dan Rafa mendatangi sekolah berbekalkan senter dan obor yang belum dinyalakan. Mereka tahu bahwa makhluk tak kasat mata itu bisa menyerap energi listrik. Jika senter tidak bisa nyala, mereka bisa menggunakan obor untuk pencahayaan.

Dari depan pagar sekolah, Jovan mulai mendengar suara-suara yang berisik. Ada yang menangis, ada yang meminta untuk pulang, lembaran kertas, tapak kaki murid berlari di koridor. Jovan tak tahan akan bebunyian tersebut dan menyalakan musik di earphonenya.

"Kenapa?" tanya Bima.

"Rame," jawab Jovan singkat.

Arian mengangguk-angguk. Ia belum melihat apapun dari balik pintu gerbang.

"Mulai panas sih," ucap Jini melepas jaketnya dan menaruh jaket itu di tanah dekat pagar.

"Ya udah buruan, masuk!" perintah Arian. Mereka memasuki kawasan sekolah dengan mengendap-endap.

Seseorang mengikuti mereka dan mengambil jaket milik Jini. Tapi, anehnya orang tersebut tidak ikut masuk ke dalam sekolah.

Jini dan kawan-kawan mulai merasakan perbedaan energi di kawasan sekolah. Terutama di koridor depan ruang guru. "Bau banget!" pekik Rafa menutupi hidungnya. "Anjir, gue lupa bawa filter! Ah! Nusuk banget baunya!"

"Bau apaan?" tanya Bima.

"Bau darah! Sama ******! Aduh! Kayak ****** bertahun-tahun! Anjir, kental banget! Sampai sesak dada gue!" pekik Rafa lagi.

"Jadi gimana nih? Lanjut ke ruang guru atau ke tempat lain aja? Rafa nggak kuat?" tanya Jini.

"Ke tempat lain aja dulu. Ke Lab!" ucap Arian. Ya setidaknya ruangan kedap suara itu bisa memblokir aroma yang tidak sedap.

"Lab mana bisa! Itu kan dikunci!" bantah Jini.

"Ke Aula aja!" ucap Bima berjalan terlebih dahulu dengan senternya. "Wiihh!" Tiba-tiba pria itu terkejut karena ada kepala wanita mengintai di pintu kelas dengan bola mata hampir terlepas dan kondisi kulit wajah yang sudah terkelupas. Darah dari wajah itu juga menetes di lantai.

Arian juga melihat sosok tersebut. Tapi ia tidak peduli dan terus berjalan.

"Ngapain sih di situ? Kayak orang cacat aja!" ucap Bima pada sosok tersebut dan mengikuti Arian.

"Aduh!" Jini merasakan sosok wanita itu tapi dia tak bisa melihatnya.

Sesampainya di Aula, Bima dan Arian melihat satu sosok kuntilanak yang duduk di atas tumpukan kursi plastik. Kursi itu biasanya digunakan untuk acara-acara di sekolah, karena gudang terlalu penuh sehingga disimpan sementara di Aula.

"Udah lama di sini?" tanya Bima pada sosok kunti tersebut.

Wajahnya tak terlihat. Tertutup eambut panjang dan hitam lebat.

Jini, Arian dan Rafa menoleh pada Bima. Sementara Jovan masih mendengarkan musik di telinganya.

"Mau apa kalian?" tanya kunti itu.

Bima duduk di lantai sambil menyenter sekeliling. Ia menemukan stop kontak. "Nyalain, Fa!" perintahnya.

Rafa menuruti apa yang ia mau. Seketika itu ruangan Aula menjadi terang benderang.

"Nggak mau apa-apa. Kita sekolah di sini," jawab Bima.

Jini menoleh pada Bima. Ia rak mengerti pada siapa pria itu berbicara. Ia juga menoleh pada Arian. Arian sedang melihat ke arah yang sama dengan Bima.

"Apaan, Yan?" tanya Jini.

Arian menghela napasnya. "Biasa."

"Jangan ganggu sekolah kami!" ucap kunti itu. Kini ia terbang hingga kepalanya menyentuh atap.

"Kami nggak ganggu! Kami juga sekolah di sini! Kami murid SMA RENGGANI!" jawab Bima.

Arian ikut menoleh pada sosok putih besar tersebut. Rambutnya terurai menyentuh kursi.

"Mau apa kalian ke sini?" tanya sosok itu lagi.

"Nggak ngapa-ngapain! Kami cuma mau ke sini!" tegas Bima.

Arian, Rafa dan Jini mulai merasa heran. Apa yang dilakukan sosok itu hingga Bima menegaskan kalimatnya?

"Katakan! Apa yang kalian mau?" tanya sosok itu lagi dan lagi.

Bima menghela napasnya. "Kami mau memastikan. Kenapa setiap ujian nasional, murid SMA RENGGANI, meninggal dunia," jawab Bima.

"Sebaiknya kalian pulang. Itu hanya akan membahayakan nyawa kalian semua!" ucap kunti tersebut.

"Justru itu! Kami mau semuanya normal-normal aja kayak sekolah yang lain. Kalo ini emang cuma mitos, harusnya bisa dihentikan saat orang-orang nggak percaya sama mitos itu lagi!" jelas Bima.

"Dia bilang apa, Bim?" tanya Jini.

"Gadis itu," tunjuk si kunti pada Jini.

Bima dan Arian menoleh pada Jini. "Hah?! Jini? Kenapa?!" tanya Bima.

"Jika kalian terus mencari tahu, dia akan menjadi tumbal selanjutnya!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!