"Jo! Bima! Rafa! Mereka boleh, karena mereka cowo!"
"Dihh! Sejak kapan lu kayak gini?!"
"Mulai dari hari ini!"
"Emangnya kenapa kalo gua masuk kamar lu?! Biasanya juga gitu!"
"Kita hilangin kebiasaan yang ga wajar mulai dari sekarang, gua sama lu udah SMA jadi ga mungkin gua sama lu beduaan di kamar!"
"Sampe kapan gua ga boleh masuk?!"
"Selamanya!"
Jini menyipitkan matanya, menatap sinis Arian.
"Lu pelihara setan di kamar ya?!" tuduh gadis itu.
"Satu-satunya Jin yang masuk ke kamar gua, cuma lu! gua pelihara setan juga ga guna!"
"Buat pelet cewe? Lu pelet gua ya?!" Jini memeluk dirinya sendiri.
Arian hanya terdiam mendengarnya, ia merasa tak ada yang perlu dijelaskan.
"Lu mau ngapain ke sini?" tanya Arian dengan wajah datar.
"Gua kan udah lama nih Yan kenal sama lu," ucap Jini sambil tersenyum.
"Intinya!"
"Gua penasaran," ucap Jini lagi.
"Intinya Jin!" teriak Arian, membuat Jini terkejut.
"Iblis! Ga usah teriak! Tunjukin ke gua gedung yang ada di belakang sekolah!" Jini ikut berteriak.
"Mau ngapain lu?!"
"Gua mau buktiin ke Bima kalo gedung itu ada! Tapi gua ga bisa liat, kan cuma lu yang bisa liatnya!"
"Kenapa lu mau buktiin ke dia?" tanya Arian.
"Yahh, gua ga suka aja dia ga percaya sama lu bertiga!"
"Udahlah biarin aja! Ga penting juga!" Arian memutar tubuhnya dan hendak masuk ke kamar.
"Tapi! Tapi!" Jini menarik tangan Arian, membuatnya berhenti.
"Tapi gua penasaran, kenapa cuma lu yang bisa liat?!" sambung gadis itu.
"Udahlah lupain aja! Bahaya!"
"Iya gua tau! Tapi kan gua heran aja, lu liat! Rafa bisa cium aromanya! Jovan bisa denger! Gua bisa rasain aura di lapangan itu! Tapi kenapa Bima ga sama sekali?!"
"Itu urusan dia! Udah pura-pura ga tau aja!"
"Atau jangan-jangan, Bima yang boong!" Jini mulai menggunakan instingnya.
"Ga tau ah! Biarin aja!" Arian malah menutup pintu kamarnya.
Jini menekuk bibirnya.
"Yaudah gua cari tau sendiri!" ucap Jini dan berlalu.
"Jangan gila lu Jin! JINI!" teriak Arian namun Jini tak menghiraukannya.
***
Rafa dan Jovan berlari mendekati Jini dan Arian di depan sekolah. Arian yang meminta mereka untuk datang kesana.
"Mau ngapain sih?!" Jovan memasang headsetnya, sedangkan Rafa menggunakan filter penciumannya dan ia lapisi dengan masker.
"Jujur! Gua ga setuju sama tindakan ini!" ujar Arian.
"Setuju apaan?" tanya Rafa.
"Ngomong lu!" perintah Arian kepada Jini.
"Gua penasaran sama gedung yang Arian liat," ucap Jini.
"IYA! GUA JUGA GA BISA TIDUR KEPIKIRAN ITU!" teriak Rafa.
"Sama!" jawab Jovan singkat.
Jini senang mendengar respon temannya itu. Ia merasa ada dukungan dari Rafa dan Jovan.
"Lu bertiga ga tau seberapa bahaya gedung itu!" Arian melipat tangannya.
"Mungkin ga sih, kalo gedung itu ada hubungannya sama mitos kepala sekolah?!" ucap Jini.
"Mitos Tumbal Ujian?" tanya Rafa.
"Iya! Tiba-tiba gua ngerasa gedung itu ada hubungannya sama mitos itu!"
"Lu tau mitos kan? Itu cuma cerita yang ga beneran ada!" jelas Arian.
"Tapi feeling gua ga kesitu Yan!" Jini tetap yakin pada intuisinya.
"Yaudah lah yuk masuk! Ntar ada yang liat kita kayak gini disini!" ucap Rafa yang langsung membuka pintu pagar sekolah yang tak terkunci.
Mereka memasuki sekolah yang sepi itu, karna memang hari ini adalah hari minggu. Mereka berjalan menuju lapangan.
"GEDUNGNYA HILANG!" teriak Arian dari kejauhan ia tak melihat gedung super tinggi itu.
"Yang bener lu!" tegas Jini.
"Suer! Hilang! Ga ada apa-apa! Coba lu denger Jo!" perintah Arian sambil berlari mendekati lapangan.
Jovan mulai memfokuskan pendengarannya. Namun Jovan pun tak mendengar apapun saat ini. Ia hanya mendengar suara dedaunan yang di belai oleh angin.
Jovan menghentikan gerakannya. Membuat teman-temannya ikut berhenti.
"Kenapa Jo?!" Rafa mulai mengendus aroma di sekitar mereka.
Rafa tak mencium bebauan yang aneh.
"Hidung gua normal!" ucap Rafa.
"Lu kenapa Jo?!" tanya Jini yang melihat Jovan memejamkan matanya, agar Indranya terfokuskan pada pendengaran saja.
***
Ggrreeeg! Grreeeeg!
Suara rantai yang terlilit di tubuh sosok laki-laki paruh baya di dalam ruang guru, dengan tubuhnya yang memenuhi ruang sempit itu, bahkan kepalanya berada di luar. Matanya buta, tetapi ia bisa melihat. Kakinya penuh darah, gesekan dagingnya dan rantai berkarat itu membuat luka yang amat besar dan dalam. Hingga tulangnya terlihat dari sela lukanya.
Tubuhnya besar dan gendut, rambutnya terurai panjang hingga menyentuh lantai. Rambut itu seakan membuat background hitam di belakangnya.
Tangan kanannya patah terhimpit rantai yang terik di lengannya. Tulang sikutnya keluar dari daging yang berlemak itu.
Kepalanya hancur setengah, tulang tengkoraknya tidak sekokoh kakinya. Otaknya yang lemah itu seakan menunjukkan eksistensinya dari cangkang besar yang berbulu gimbal yang di sebut kepala.
Mulutnya sobek, lidahnya di rantai dengan tali putih. Ia tak bisa bersuara, tetapi ia bisa berkomunikasi melalui batinnya.
***
Suara itu terdengar samar di telinga Jovan.
"Ada suara rantai! Tapi bukan dari sini!"
"Maksud lu?!" Arian melihat sekitaran mereka. Benar-benar hanya ada kesepian di lapangan itu.
"Lu liat apa Yan?!" tanya Jini.
"Ga ada apa-apa!"
"Balik aja yuk! Gua mual!" ucap Jini.
Mereka memutuskan untuk pulang dan membahasnya di rumah Arian.
***
Mereka berkumpul di teras rumah Arian.
"Masih mual?" tanya Rafa ke Jini. Namun Jini menggeleng.
"Masa lu ga liat apa-apa Yan!" ucapnya
"Ga ada suer!" Arian mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Atau lu cuma mau nipu gua?!" bentak Jini ke arah Arian.
"Kok lu jadi kayak Bima?! Gua serius! Gua liat gedungnya!" Arian pun tak setuju dengan tuduhan temannya itu.
"Trus tadi kenapa ga ada?!"
"Ya ga tau!"
***
Hari itu, seminggu sebelum Ujian Nasional di mulai. Indah, sang mantan anggota osis. Ia pulang sedikit terlambat, hingga langit sore telah menjadi merah dan gelap. Ia pulang sendirian menggunakan Bus sekolah yang sedang beroperasi dan menjalankan rute terakhirnya.
Saat di perjalanan, ia merasa ada yang aneh. Bus itu terasa sangat menyeramkan. Ini bukan pertama kalinya ia pulang selambat ini. Ia sudah cukup terbiasa dan akrab dengan supir bus. Namun kali ini, supir bus itu menjadi pendiam, dan hanya tersenyum saja.
Cukup aneh untuk seorang Indah. Biasanya supir bus itu banyak bicara, hingga membuat semua penumpangnya tidak merasa bosan saat menggunakan fasilitas sekolah itu.
Indah duduk tepat di belakang supir bus. Ia mencoba mengajak supir bus itu mengobrol.
"Rute terakhir lagi ya pak?" tanya Indah. Indah menunggu jawaban dari supir bus itu. Cukup lama waktu yang ia butuhkan untuk menjawab pertanyaan Indah. Ia mulai merasa takut dengan kondisi bus seperti ini. Indah berpikir bahwa sikap supir bus layaknya seperti orang kesurupan atau yang di depannya itu bukanlah manusia sama sepertinya. Saat Indah mencoba mengambil ponselnya dari dalam tas.
"Hmmmm," jawab supir bus itu mengangguk. Indah terkejut, hingga ia menjatuhkan ponselnya ke bawah bangku supir bus. Indah masih merasa takut. Ia tak berniat untuk mengambil ponselnya. Ia terus menatap kaca bening yang ada di depan bus. Hingga akhirnya bus itu berhenti di depan rumahnya. Indah segera berlari masuk kedalam rumahnya dan meninggalkan ponselnya yang terjatuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments