"Astaghfirullah, Dok!" geram wanita itu dengan jantung tak menentu.
"Maaf. Mana pakaianku," jawab lelaki itu dengan senyum khasnya.
Zurra segera menyerahkan pakaian yang telah ia pilihkan. Wanita itu tak berani menatap tubuh Zafran yang di tutup handuk setengah badan.
"Kalau begitu saya permisi keluar dulu." Zurra segera beranjak dari hadapan lelaki itu.
Lagi-lagi Zafran hanya tersenyum melihat wajah malu Zurra. Lelaki yang berumur dua puluh delapan tahun itu segera mengenakan pakaiannya, dan setelah setelah rapi ia menuju meja makan.
"Zurra mana, Bik?" tanya Pria itu pada sang Bibik.
"Mbak Zurra ada di kamar, Den," jawab Bibik sembari meneruskan aktivitasnya.
Zafran segera menuju kamar Zurra. Ia melihat kamar itu hanya tertutup setengah. Saat ingin membuka pintu, tak sengaja mendengar percakapan Zurra dengan suaminya di telpon.
"Mas, aku tidak tahu apakah kata-katamu bisa aku percaya," ucap Zurra yang mulai goyah dengan segala permohonan maaf dari sang suami.
Tentu saja Zurra tak bisa mengambil keputusan tanpa memberi lelaki itu kesempatan. Tak bisa di tampik bahwa rasa sayang masih ada untuk lelaki yang sudah Lima tahun membersamainya.
"Zurra, aku janji akan memperbaiki segalanya. Aku akan menyayangi Revan. Sekarang pulang ya. Aku akan menjemputmu," ujar Rio sangat memohon.
Zurra berpikir sejenak, apakah ia harus kembali lagi kerumah suaminya?
"Mas, beri aku waktu untuk berpikir. Aku masih ragu dengan segala kata-katamu," ujar wanita itu.
"Baiklah, aku akan sabar menunggumu. Ingatlah, Zurra. Revan butuh kasih sayang kedua orangtuanya."
Kata-kata Rio membuat Zurra berpikir, memang benar apa yang dikatakan lelaki itu. Revan butuh kasih sayang dari ayahnya. Semoga Rio benar-benar bisa menerima putranya.
"Baiklah, beri aku waktu tiga hari, Mas. Aku akan pulang bersama Revan," ujar Zurra.
"Baiklah, Sayang. Aku akan menjemputmu," jawab Rio dengan senang.
Zafran segera beranjak dari tempat itu, hatinya menjadi gusar dan kecewa.
"Aahh! Kenapa aku seperti ini? Bodoh!" Zafran memukul kepala sendiri. "Aku tidak boleh seperti ini. Zurra dan Revan bukan siapa-siapa bagiku. Seharusnya aku bahagia bila mereka bisa kembali berkumpul." Zafran mengusap wajahnya dengan pelan.
Dokter tampan itu berusaha untuk menenangkan diri. Merasa cukup tenang, ia segera menuju meja makan.
"Bik, tolong panggil Zurra," titahnya pada Art.
"Baik, Den." Bibik segera menyambangi kamar wanita cantik beranak satu itu.
Tak berselang lama Zurra datang menghampiri Zaf yang masih duduk belum menyentuh makanan yang tersaji.
"Dokter belum makan?" tanya Zurra dengan senyum lembut.
Zafran menatap wajah wanita yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan dirinya. Sungguh kehadirannya membuat hari-harinya berwarna dan semangat. Tetapi ia menyadari bahwa Zurra adalah istri orang. Dia tidak mempunyai hak atas wanita itu.
"Duduklah, ayo kita makan," titahnya dengan nada datar.
Zurra tak membantah, ia mengikuti perintah lelaki itu. Tentu saja ia mengisi piring sang Dokter terlebih dahulu, setelah itu baru mengisi piring bagiannya.
Mereka makan dalam hening. Zurra merasa aneh melihat sikap sang Dokter yang tiba-tiba berubah dingin. Tak seperti biasanya yang selalu membawanya bicara atau banyak bertanya hal-hal kecil tentang dirinya dan Revan. Tapi kali ini lelaki itu hanya diam.
Selesai makan, Zafran segera beranjak meninggalkan kediamannya, sebenarnya jadwal prakteknya masih beberapa jam lagi. Namun, ia harus menjaga jarak dari wanita itu.
***
Tak terasa sudah tiga hari Zurra dan Revan berada di kediaman Dokter Zafran. Bertepatan hari ini weekend, maka ia mempunyai kesempatan untuk bicara pada sang dokter.
Sudah jam sembilan pagi tetapi Dokter itu belum juga terlihat keluar dari kamarnya. Zurra harus bicara, karena ia sudah berjanji akan di jemput oleh Rio.
Zurra mengetuk pintu kamar Zafran, tetapi tak ada jawaban. Dengan ragu ia masuk seperti biasanya karena Zafran tak pernah mengunci pintu kamar semenjak Zurra di rumah itu.
Terlihat lelaki itu masih tidur lelap. Tumben sekali jam segini dia masih nyaman berada dalam balutan selimut hangat.
"Selamat pagi, Dok," ucapnya dengan sangat hati-hati.
Zafran tak menyahut, tetapi terdengar suara erangan kecil di bibirnya. Zurra merasa penasaran karena wajah lelaki itu terlihat pucat. Dengan pelan ia menempelkan punggung tangan di dahinya.
"Ya Allah, Dokter demam," ucap Zurra dengan cemas.
Zafran membuka matanya. "Hai, kamu sudah rapi saja. Mau kemana?" sapanya dengan suara parau.
"Dok, badan Dokter panas. Saya bawakan sarapan dan obat ya," ucap Zurra segera beranjak tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.
Tak berselang lama wanita itu telah kembali membawa sarapan dan obat penurun panas. Zurra duduk di bibir ranjang sembari menyuapi. Zafran duduk bersandar di headboard.
"Aku sudah kenyang, Zurra," ucapnya menahan sendok yang ada di tangan Zurra.
"Tapi ini satu sendok lagi, Dok. Tidak boleh mubasir, seperti kata Dokter mengingatkan aku," jawab Zurra dengan senyum teduh.
Kembali jantung lelaki itu berdebar saat menatap senyum yang selalu membuat hatinya nyaman.
Setelah menghabiskan makanannya, Zurra memberikan obat penurun panas. Melihat keadaan lelaki itu yang kurang sehat, ia merasa tidak tega untuk meninggalkan. Tetapi ia juga sudah berjanji akan pulang hari ini.
"Dok, saya ingin bicara," ucap Zurra sedikit ragu.
"Bicaralah," jawab Zaf yang sebenarnya sudah tahu apa yang ingin di bicarakan oleh wanita itu.
"Dok, sebelumnya saya minta maaf karena sudah kalah dengan pendirian saya sendiri."
"Tidak, Zurra. Aku tahu bahwa apa yang kamu lakukan sudah tepat. Jika masih bisa di perbaiki, kenapa tidak?"
"Dokter sudah tahu?" tanya Zurra heran.
"Ya, aku tidak sengaja mendengar percakapan kamu waktu itu."
"Dokter, aku sangat berterima kasih atas segala bantuan yang telah Dokter berikan untuk aku dan Revan. Soal hutang itu aku janji akan membayarnya."
Zafran hanya tersenyum mendengar ucapan Zurra. "Jangan pikirkan hal itu. Dari awal aku sudah katakan bahwa aku memberikan dengan ikhlas."
"Tapi aku sudah janji akan membayarnya. Aku akan minta uang pada Mas Rio untuk membayar hutangku," sambung Zurra.
"Baiklah, terserah mu saja."
Sejenak hening, suasana mendadak canggung. Zafran menatap Zurra begitu lekat.
"Zurra, kapan suamimu datang menjemput?" tanya Zafran kembali membuka percakapan.
"Katanya sudah otw, Dok. Aku dan Revan akan menunggu di mall SKA," jelas Zurra.
"Kenapa tidak suruh jemput disini saja?" tanya Zaf heran.
"Tidak, aku tidak mengatakan bahwa aku tinggal disini. Aku hanya tidak ingin ada masalah pada Dokter."
"Baiklah. Tapi apakah kamu bisa berjanji padaku?" tanya Zaf serius.
"Janji apa, Dok?"
Zafran mengubah posisi duduknya. Kini tubuhnya sudah tegak dari posisi bersandar.
"Zurra, berjanjilah untuk tetap bahagia bersama Revan. Andai suatu saat kamu tidak bahagia. Datanglah kepadaku. Karena aku akan membahagiakanmu dan Revan. Aku akan selalu menunggumu," ujar Zaf yang membuat Zurra mengerutkan keningnya. Otaknya benar-benar buntu mengartikan maksud Dokter tampan itu.
"Apa maksud Dokter?" tanya Zurra begitu polos.
Zafran meraih tangan Zurra, menggenggamnya dengan erat. "Zurra, maafkan aku bila perasaanku salah pada tempatnya. Tetapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku jatuh cinta padamu. Kamu adalah wanita satu-satunya yang mampu membuatku jatuh hati. Aku sadar bahwa perasaanku ini salah. Tetapi aku tidak meminta balasan cinta darimu. Aku hanya ingin melihatmu dan Revan bahagia, bagiku itu sudah cukup. Namun, bila nanti dia menyia-nyiakanmu lagi. Maka aku tidak akan pernah melepaskanmu untuknya," ujarnya yang membuat perasaan wanita itu entah.
Zurra tak mampu bicara apapun, seketika air matanya jatuh di ke dua pipinya. Bagaimana mungkin ada lelaki sebaik Zafran mencintai dirinya yang jauh dari kata sempurna.
Bersambung...
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Lisma Yanti
jangan pulang nanti dia bunuh kamu
2024-05-11
0
Dinar Ataya
Zaffran gercep, gak apa2...❤❤❤
2024-03-20
2
Dinar Ataya
Zaffran gercep, gak apa2...w❤❤❤
2024-03-20
0