Zurra menunduk saat tatapan Zafran menghujam nya. Hatinya benar-benar merasa sakit atas tuduhan dari suaminya.
"Kenapa, Zurra? Kenapa kamu menjatuhkan harga dirimu sendiri dihadapan suamimu. Dengan pengakuanmu itu akan membuat dia semakin menghinamu!" tegas Zafran yang tak suka mendengar pengakuan palsu wanita itu.
"Tanpa saya mengakuinya, dia sudah memandang rendah diri saya, Dok. Saya ini hanyalah wanita tak berguna, saya tidak seperti wanita di luaran sana yang berpendidikan tinggi dan mempunyai penghasilan sendiri," jawab Zurra semakin sesenggukan.
Zafran menghela nafas berat. Tangannya meraup wajahnya sendiri dengan pelan. Zafran menatap iba. Entah kenapa hatinya ikut merasakan sakit dan sedih melihat wanita itu menangis.
"Ayo duduk dulu," Zafran membawa Zurra untuk duduk di sofa yang ada di kamar itu.
Zurra masih menangis sembari menghapus air matanya dengan ujung hijabnya. Zafran merasa lucu melihat tingkah wanita itu seperti anak kecil saja. Ia mengeluarkan sapu tangan yang ada di saku celananya.
"Gunakan ini," ucapnya seraya menyerahkan kain kecil itu.
"Tidak usah, Dok. Nanti jorok," jawabnya masih menghapus air hidungnya yang ikut merembes.
"Tidak apa-apa, bahkan seperti itu yang jorok." Zafran menunjuk pinggiran hijab wanita itu yang sudah basah terkena air mata dan air hidung.
Seketika Zurra memalingkan wajahnya karena merasa malu. Sungguh ia mempermalukan diri sendiri di depan Pria tampan itu.
Zurra menerima sapu tangan dari Zafran, lalu menyeka wajahnya yang sudah kusut masai akibat menangis. Zafran masih setia menunggu hingga hatinya kembali tenang.
"Sudah lebih tenang?" tanya Zafran saat melihat tangis Zurra telah mereda.
Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan, terlihat wajahnya lebih rileks dan tenang setelah menumpahkan tangisan.
"Baiklah, sekarang kita mulai membahas tentang pekerjaanmu di rumah ini. Lupakan masalah suamimu. Sekarang fokuslah untuk bekerja," ujar Zafran dengan serius.
"Baik, Dok." Zurra mengangguk mantap. Apa yang di katakan oleh Dokter itu benar, ia harus fokus untuk bekerja, agar dirinya bisa menghasilkan uang untuk membiayai anaknya.
"Baik, tugas kamu dirumah ini, yaitu mengurus segala keperluan saya. Karena saya yang begitu sibuk, maka terkadang saya melupakan jam makan siang. Dan setiap pagi saya juga terkadang bangun kesiangan hingga saya tak sempat sarapan, karena itu saya meminta kamu untuk menjadi asisten pribadi saya lebih tepatnya," jelas Zafran yang membuat Zurra sedikit tak percaya.
"Kenapa wajahmu begitu? Apakah kamu keberatan?" tanya Zafran meminta jawaban.
"B-bukan, tapi saya..."
"Kamu tidak perlu khawatir, tugas kamu hanya mengurusi keperluan saya, dan membangunkan saya setiap paginya. Tidak ada hal yang aneh. Aku harap kamu tidak keberatan," sambung lelaki itu kembali.
Zurra berpikir sejenak. "Baiklah, Dok. Saya bersedia," jawab wanita itu yakin.
"Good girl!" Zafran tersenyum sembari mengangkat jempolnya.
"Tapi, Dok. Apakah orantua Dokter tidak keberatan?" tanya Zurra yang baru ingat akan hal itu.
"Kamu tenang saja, Umi dan Abi saya tidak tinggal disini. Mereka menetap di pulau Bengkalis," jawabnya yang membuat Zurra mengangguk mengerti.
"Baiklah, sekarang kamu bisa istirahat terlebih dahulu. Karena sudah sore. Tapi nanti malam jangan lupa untuk menyediakan makan malam untuk saya," pesannya sebelum beranjak keluar dari kamar wanita itu.
"Baik, Dok. Terimakasih banyak atas segala kebaikan Dokter," jawab Zurra dengan tulus.
"Ya sama-sama." Zafran kembali menghampiri Revan, ia meninggalkan jejak sayang di pipi gembul bayi spesial itu terlebih dahulu.
Setelah Zafran keluar, Zurra segera mengurusi putranya. Namun, seketika ia berpikir. Bagaimana ia dan Revan mandi, karena ia tak membawa pakaian ganti.
Tak berselang lama terdengar ketukan pintu, Zurra segera membukakannya. Terlihat seorang Art membawa beberapa paper bag, lalu menyerahkan padanya.
"Mbak Zurra, saya diminta Den Zaf mengantarkan ini untuk Mbak Zurra," ucap wanita itu sembari menyerahkan semua paper bag di tangannya.
"Ah, ya terimakasih, Bu," jawab Zurra merasa sungkan.
"Sama-sama, Mbak. Jika Mbak Zurra butuh sesuatu bisa beritahu Bibik," pesan wanita baya itu sebelum beranjak.
"Bik, Bu."
Zurra membawa barang-barang pemberian dari Dokter anaknya itu. Ternyata pakaian untuk dirinya dan Revan.
"Bagus-bagus sekali bahannya. Ya Allah, kenapa dia begitu baik?" gumam wanita itu kebingungan atas sikap baik lelaki itu.
Zurra segera menyimpan pakaian baru itu ke dalam lemari, dan ia meneruskan tugas untuk memandikan Revan. Setelah bayi itu mandi, kini giliran dirinya yang membersihkan diri dan bertukar pakaian.
Jam tujuh malam Zurra yang baru saja selesai menidurkan Revan, ia gegas menuju dapur menyediakan makan malam untuk sang majikan.
"Mau ngapain, Mbak?" tanya Bibik saat melihat Zurra bingung mau masak apa untuk lelaki itu.
"Ah, Bu, saya bingung dengan menu kesukaan Dokter Zafran. Apakah saya boleh tahu?" tanya Zurra yang mendapat tatapan aneh dari beberapa Art.
"Bibik sudah menyediakan makan malam, Mbak," jawab Bibik.
"T-tapi tadi Dokter Zafran meminta saya untuk menyediakannya."
"Ada apa ini?" tanya lelaki yang sedang dibicarakan.
"Ah, Dok. Saya sedang menanyakan pada Bibik tentang makanan kesukaan Dokter," jawabnya begitu polos.
"Apakah Bibik sudah masak?" tanya Zafran pada sang Bibik.
"Sudah, Den," jawab Bibik sembari membungkuk sopan.
"Baiklah, itu berarti kamu tidak perlu masak. Sekarang tugasmu hanya menemani saya makan," ujar Zaf yang segera beranjak menuju meja makan.
Zurra merasa bingung, ia segera mengikuti langkah Pria itu. Sesampainya di meja makan, Zurra dengan cekatan membuka piring makan untuk sang majikan, lalu mengisi piring itu dengan nasi beserta lauk pauknya.
"Silahkan, Dok," ucapnya tersenyum ramah.
Zafran tak lantas memakannya, ia menatap wanita itu yang masih berdiri disana.
"Kenapa kamu masih berdiri, ayo duduk dan makan," titahnya.
"Saya masih kenyang, Dok," jawab Zurra sungkan.
"Kalau begitu saya tidak mau makan." Zafran meletakkan kembali sendok yang tadi sudah ia pergunakan untuk memasukkan makanan kedalam mulutnya.
"T-tapi, Dok?"
"Tapi kenapa, Zurra? Tugas kamu itu adalah mengurus saya, dan menemani segala aktivitas saya di rumah ini. Maka kamu harus mengikuti segala perintah saya. Apakah memintamu makan suatu hal yang tidak wajar?" tanya Zafran dengan raut wajah datar.
"Ah, tidak sama sekali."
"Kalau begitu ayo duduk, dan ambil makananmu."
Zurra tak mampu menolak perintah lelaki itu. Ia benar-benar merasa sungkan dan tak enak hati bila di lihat oleh Art yang lainnya, bukankah posisi mereka sama, tapi kenapa ia merasa Zafran bersikap berlebihan padanya.
"Makan yang banyak, agar bayimu kenyang," ujar Zafran di sela makan mereka.
Zurra hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Segala sikap dan perilaku Zafran membuat sesuatu dihatinya membuncah. Kembali ingatannya tertuju pada Rio. Lelaki itu tak pernah mengatakan hal itu bentuk perhatian padanya. Kenapa ia harus mendapatkannya dari orang lain?
Saat sedang makan, ponsel pintar lelaki itu bergetar. Ia melihat siapa yang memanggilnya. Zafran segera menggeser warna hijau untuk menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum, Umi..."
"Wa'alaikumsalam, kamu sedang apa, Bang?" tanya wanita di ujung sambungan itu.
"Lagi makan. Umi dan Abi sudah makan?" tanya Zafran masih fokus dengan makanannya.
"Sudah, Bibik masak apa?" tanya wanita itu kepo sembari mengalihkan panggilannya ke video call.
Bersambung...
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Deswita
🤗
2024-08-04
0
Eka Novariani
Di dunia nyata ada ga ya orang sebaik dr Zafran...?
2024-05-22
2
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
hhmmm dimata Zafran, Zurra itu ngegemesin ya 😊😊😊
2024-05-17
2