Zurra tak menjawab pertanyaan dari Dokter anaknya itu. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Halo, Zurra kamu masih dengar saya 'kan?"
"Ah, ya Dok."
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Zafran masih menunggu jawaban dari wanita itu.
"Sebenarnya...."
"Zurra, nanti siang rekan kantorku akan makan siang dirumah. Ini uang belanja, dan masaklah yang enak untuk menjamu teman-temanku!"
Zurra menghentikan percakapannya dengan sang Dokter, karena Rio yang tiba-tiba muncul kembali ke kamarnya sembari menyerahkan uang untuk membeli bahan masakan. Dan tentu saja membuat hati wanita itu jengkel.
"Untuk menjamu teman-teman kantor kamu punya uang, Mas. Tetapi kamu tidak punya uang untuk membiayai pengobatan anakmu sendiri, padahal Revan sangat membutuhkannya!" jawab Zurra dengan nada sedikit meninggi.
"Tentu saja aku mementingkan mereka daripada anak itu. Karena mereka adalah rekan bisnisku. Sedangkan anak itu, hanya menghabiskan uangku saja!" jawab Rio dengan lantang.
"Oh, Kalau begitu kamu masak sendiri, aku tidak punya waktu untuk mengurusi itu semua. Aku lebih mementingkan kesehatan putraku!" jawab Zurra dengan tegas.
"Kau! Berani sekali kau membantahku!" bentak Rio dengan kesal.
"Ya, mungkin selama ini aku bisa bersabar karena kamu masih membiayai Revan. Tapi untuk kali ini aku tidak akan mau menuruti segala keinginanmu!"
"Hng! Kau kira kau siapa berani melawanku. Apakah kau mempunyai penghasilan sendiri untuk membiayai anak cacatmu itu? Kau hanya wanita yang berpendidikan rendah, jadi tidak akan bisa menghasilkan uang apapun. Kecuali kau...."
"Apa, Mas? Kecuali aku menjual diri, begitu? Hng! Asalkan kau tahu ya, Mas. Untuk kesembuhan putraku, maka aku rela melakukan apapun. Termasuk menjual diriku!" balas Zurra dengan lelehan air mata. Marah, kecewa, kesal, benci. Semuanya menjadi satu dalam hatinya.
Cinta yang dulu begitu besar untuk lelaki itu seakan kini menguap begitu saja saat dia selalu menghina bayinya, padahal bayi itu adalah darah dagingnya sendiri.
Zurra segera berlalu dari hadapan Rio dengan hati kecai. Tanpa sadar sambungan ponselnya masih berjalan. Dan tentu saja Dokter neurologi anak itu dapat mendengar dengan jelas perseteruan mereka.
Zurra segera masuk kedalam kamar putranya. Wanita itu mengurus Revan untuk bersiap berangkat ke RS. Tak ada cara lain selain menjual cincin kawinnya untuk biaya pengobatan Revan.
Zurra menatap cincin yang masih melingkar di jarinya dengan senyum hambar. "Hng, aku tidak perlu lagi mempertahankanmu. Semuanya telah rusak atas pengkhianatannya. Lebih baik kamu tak lagi ada di jariku," gumamnya sembari membuka benda itu.
Setelah bersiap, Zurra segera menggendong bayi istimewanya. Namun seketika ia mengingat bahwa tadi ia sedang bicara dengan Dr.Zaftan. Zurra bergegas melihat ponsel.
"Ah, syukurlah. Ternyata tadi aku sudah mematikan sambungan teleponnya," ucapnya sembari menyandang kembali tas selempangnya.
"Mau kemana kamu, Zurra?" tanya Rio yang berpapasan dengan wanita itu.
"Mau kemana lagi. Aku mau ke RS," jawab Zurra datar. Kakinya masih meneruskan langkah, tanpa menoleh pada lelaki itu.
"Kau berani membantahku? Apa kau sudah bosan tinggal disini?" tanya Rio sembari menghadang langkahnya.
"Kamu mau apa, Mas? Minggirlah, aku ingin membawa Revan ke RS," ucap Zurra menyuruh lelaki itu menyingkir dari hadapannya.
Rio tak bergeming. Netranya tertuju pada jari manis wanita itu. "Mana cincin kawin di jarimu?"
"Sudah ku jual," jawab Zurra singkat.
"Bohong! Mana dia?" Rio merampas tas yang sedang di sandang Zurra, lalu memeriksa isi tas itu untuk mengambil cincin kawin itu.
"Mas, Jangan! Tolong berikan padaku!" pintanya memohon.
"Tidak! Aku tidak akan membiarkan kamu pergi tanpa izinku!"
"Mas, aku mohon. Tolong berikan padaku. Aku harus membawa Revan berobat," lirihnya dengan hati kesal. Ia berharap hati lelaki itu bisa luluh.
"Hahaha... Pergilah jika kamu masih berani. Dasar wanita tak berguna!" Rio segera meninggalkan Zurra. Lelaki itu mengendarai mobilnya dengan tersenyum jahat.
Zurra menangis sesenggukan sembari memeluk putranya. "Maafkan ibu, Nak."
Saat Zurra masih larut dalam tangisan, ia mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumahnya. Zurra membuka gorden jendela untuk melihat siapa yang datang.
Beberapa detik ponselnya berdering. Terlihat nomor baru. Ia segera menerima panggilan itu.
"Apakah benar ini dengan Ibu Zurra?" tanya seseorang itu.
"Benar, dengan saya sendiri. Ini siapa ya?"
"Saya driver dari travel, Bu. Saya di suruh Pak Zafran untuk menjemput Ibu," jelas lelaki yang di yakini adalah orang yang sedang berdiri di depan pagar rumahnya.
Zurra terdiam sejenak, otaknya masih berpikir. Kenapa Dr.Zafran mengirimkan sopir travel untuk menjemputnya?
"Apakah Bu Zurra sudah siap?" tanya driver itu kembali.
"Ah, ya. Saya sudah siap, Pak. Sebentar saya akan segera keluar," jawab Zurra yang segera bergegas keluar dari kediamannya.
Untuk saat ini otaknya tak mampu berpikir dan menerka-nerka. Yang terpenting sekarang bagaimana bayinya mendapatkan pemeriksaan yang seharusnya di jalani.
Di perjalanan, wanita itu merasa aneh, karena armada travel itu tak memiliki penumpang lain, selain dirinya. Dan mendadak hatinya menjadi gelisah, bagaimana caranya jika driver itu meminta ongkos.
Zurra kembali membuka dompetnya, lalu menghitung uang pecahan yang tersisa disana.
"Ya Allah, ini mana cukup untuk membayar ongkos travel ini. Dan setelah sampai di RS, bagaimana pula aku harus membayar biaya pengobatan anakku?" ucap wanita itu dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan satu jam setengah, akhirnya wanita itu sampai juga di RS yang biasa ia sambangi setiap bulannya.
Zurra sedikit ragu untuk turun. Ia menatap driver itu untuk mencoba bicara.
"Sudah sampai, Bu. Silahkan turun," ucap driver itu dengan senyum ramah.
"Tapi, Pak?"
"Kenapa, Bu Zurra? apakah ada yang bisa saya bantu?"
"Ah, saya tidak mempunyai uang cukup untuk membayar ongkos travel ini. Saya hanya ada segini," ucap wanita itu sembari menyerahkan uang yang ada di tangannya.
Driver itu tersenyum. "Bu Zurra tidak perlu memikirkan hal itu. Karena semuanya sudah di bayar oleh, Dr.Zafran," jelasnya yang membuat Zurra kembali ternganga tak percaya.
Zurra segera turun, dan tak lupa mengucapkan rasa terima kasih karena telah diantarkan dengan selamat sampai tujuan.
Zurra menyusuri lorong RS. Ia duduk di sebuah bangku tunggu yang ada di lorong itu. Otaknya kembali berpikir, langkah apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia tahu bahwa biaya konsultasi dengan Dr spesialis itu tidaklah murah. Apalagi hari ini Revan harus kembali ambil sampel darah untuk cek vitamin D.
Saat masih dalam kebingungan, lagi-lagi suara dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Terlihat Dokter anak itu yang menghubunginya.
"Ya, Dok," jawab Zurra dengan nada pelan.
"Kamu dimana?" tanya lelaki itu.
"Saya..."
Zurra tak meneruskan ucapannya, karena sosok yang sedang menelponnya sudah berjalan menuju ke arah dirinya.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
CEO MARAWAR
💪💪
2024-08-04
1
Bu Neng
love banyak banyak buat author...❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
2024-05-26
1
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
kamu berhak bahagia Zura, pengorbanan kamu untuk Revan jaminannya, Tuhan tidak pernah tidur, berusahalah semampu kamu
2024-05-17
2