"Aduhhhhh perutku sakit," keluh Bi Ijah dengan berteriak sembari memegang perut.
Zayn tergopoh keluar kamar untuk mencari penjaga rumah.
"Tolong....tolong...," teriak Zayn sampai bergema di setiap ruangan.
Beberapa pria tegap mendekat.
"Hei kau, ada apa lagi?" tanya pria yang ditendang pusat tubuhnya oleh Zayn sebelum ke toilet.
"Tolong paman, bibiku sakit perut," beritahu Zayn dengan mimik cemas.
"Kenapa?" tanya pria itu.
"Bibiku punya sakit lambung paman, sepertinya sedang kambuh," kata Zayn.
Bi Ijah terlihat memegang dadanya.
"Kenapa nafasku susah begini?" keluh Bi Ijah.
"Apa bibimu juga punya bengek?" tanya pria itu.
"Iya paman, apalagi kalau di rumah asing yang pengap begini," kata Zayn.
Padahal kamar yang mereka tempati luas dan terpasang pendingin udara. Tak ada pengapnya sama sekali.
"Paman, cepetan bawa bibiku ke rumah sakit," Zayden pun ikutan menarik-narik lengan itu sembari merengek.
"Tolong tuan... Aku lupa tak bawa obat-obatnya," imbuh Helena menyempurnakan drama.
"Gimana ini? Ini di luar rencana kita," kata pria itu pada temannya.
"Paman, pakai rapat segala. Cepetan! Nyawa bibiku tinggal separuh tuh," teriak Zayn.
Nyawa tinggal separuh? Ada-ada si Zayn. Batin Helena.
"Kita lapor bos aja dulu," seru pria itu.
"Paman, bibiku bisa meninggal kalau paman tinggal lapor dulu. Apa paman mau kulaporkan atas pembunuhan berencana," kata Zayn.
"Anak kecil tau apa tentang pembunuhan berencana?" oloknya.
Bi Ijah terlihat semakin sesak.
"Tu...tu...tu...an...to...to...long...!" kata Bi Ijah pelan dan suara tersendat.
"Bagaimana ini? Kondisinya memburuk," pria itu gugup. Dilema antara menolong dan lapor dulu.
"Paman, hati nuranimu di mana? Bibiku sekarat ini?" Zayden menangis meraung.
"Bibi... Jangan tinggalin Zayden. Zayden sayang bibi," tangis Zayden semakin menjadi.
"Oke...oke... Kita bawa bibimu ke rumah sakit," pria itu memutuskan.
Helena mengedipkan sebelah mata ke arah Bi Ijah.
Dalam hati pasti Helena dan kru bersorak.
"To...to....," Bi Ijah meneruskan akting.
"Jangan banyak bicara. Sudah tau bengek begitu," seru pria itu marah pada Bi Ijah.
Bi Ijah dibopong oleh dua pria, sementara Helena, Zayn dan Zayden mengikuti di belakangnya.
"Kalian mau ke mana?" pria itu menghentikan langkah.
"Ya jelas saja ikut nungguin bibi lah," kata Zayden.
"Nggak boleh. Hanya yang sakit aja yang ke rumah sakit," ujar pria satunya.
"Aku harus mastikan kalau bibiku kalian bawa ke rumah sakit," kata Zayn dingin.
"Ntar kalian tinggalin di pinggir jalan, siapa yang tahu," imbuh Zayden.
"Pokoknya kita harus ikut," tandas Helena.
"Aku harus yakin kalau bibiku aman-aman karena dibawa oleh kalian," ungkap Helena.
"Kalian ini merepotkan sekali," kata pria itu dengan nada jengkel.
"Ka...ka...pan...perginya?" kata Bi Ijah.
Ngik...Ngik...nafas Bi Ijah dibuat mirip sama dengan orang yang kumat bengeknya.
"Bro, kamu siapin mobilnya," kata pria itu pada temannya.
"Sungguh dech, kalian ini merepotkan sekali," gerutunya tepat di depan muka Bi Ijah yang ada dalam gendongan pria itu.
Drama terus berlanjut.
"Kalian mau ke mana?" tanya penjaga gerbang.
"Mau ke rumah sakit. Wanita ini sesak nafas," bilang pria yang berada di belakang kemudi.
"Tapi tak ada perintah tuan besar," tolak penjaga.
"Issshhhh, kalau dia meninggal gimana? Wanita ini sesak sekali nafasnya," pria itu memaksa agar segera dibukakan gerbang.
Penjaga itu melongok ke dalam mobil.
"Tuan, ada minyak angin kah? Minyak gosok juga boleh dech. Bibiku sesak nafas," ucap Zayn.
Bi Ijah masih nampak sulit bernafas, dan meringis menahan nyeri.
"Aduh perutku," keluh Bi Ijah dengan membungkuk memegang perut.
"Bi...kenapa bi?" Helena panik.
"Perutku sakit banget Non," kata Bi Ijah.
"Tuan, lekaslah!" teriakan Helena membuat sang penjaga terpaksa membuka gerbang karena melihat Bi Ijah merintih kesakitan.
Mobil pun melaju.
"Emang bibi sakit apa Mah?" tanya Zayden.
"Issshhh biar dokter aja yang ngejelasin. Mama kan bukan dokter," sela Zayn.
Bisa panjang urusan kalau ngejelasin pada Zayden. Bisa gagal total rencana yang telah disusun rapi.
Zayn membiarkan Zayden yang sewot.
"Zayden, yang dibilang kak Zayn itu betul. Biar bibi diperiksa dulu sama dokter. Apa Zayden tak kasihan pada bibi?" kata Helena penuh kesabaran.
Zayden memeluk Bi Ijah.
"Bibi jangan meninggal ya? Ntar Zayden nangis loh," kata Zayden seraya memeluk Bi Ijah.
Helena dan Zayn sekuat tenaga menahan tawa.
Ulah Zayden kadang di luar prediksi.
"Paman, kita bawa bibi ke rumah sakit pusat aja. Aku takut tak bisa ditangani kalau di rumah sakit kecil," kata Zayn.
"Banyak permintaan kali kau," seru pria yang duduk di samping kemudi dengan logat daerah yang kental.
"Ini parah banget paman," imbuh Zayn.
Mobil mengarah ke luar kota.
"Ke kota A saja, di sana ada rumah sakit seperti yang dia minta," seru pria di belakang kemudi.
"Ntar kalau tuan besar marah gimana?" kata pria di sampingnya ragu.
"Ini demi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab paman," ulas Zayn.
"Yeeiiii...kita malah diajarin," tukas pria di belakang kemudi.
Zayn dan Helena diam, sementara Zayden masih memeluk Bi Ijah yang terus memegang perut dan sesak nafas.
Sampai di IGD, Bi Ijah tetap meneruskan akting.
Saat kedua pria itu mengambil sebuah kursi roda untuk bibi, "Bi, langkah selanjutnya apa? Kalau ketemu dokter, nanti kita bisa ketahuan," bisik Helena.
"Gampang," seru wanita setengah baya. Wanita yang setia mendampingi Helena sedari kecil.
"Bi...," Helena ragu.
"Percaya sama bibi," kata Bi Ijah enteng.
"Bi, kapan belajar akting?" tanya Zayn.
"Tiap hari Zayn," ujar Bi Ijah menanggapi.
"Tiap hari?" balas Zayn.
"He...he... Iya. Tiap hari liatin sinetron, sama aja belajar akting atuh," Bi Ijah terkekeh.
"Bibi sudah sembuh?" tanya polos Zayden.
Helena dan Zayn menepuk jidat, lupa kalau ada Zayden di antara mereka. Zayden yang tak bisa dibohongin.
Bi Ijah mau tak mau akting sesak nafas lagi. Padahal akting sesak nafas juga melelahkan.
"Turun!" suruh pria itu pada Bi Ijah.
Helena memapah Bi Ijah yang terus memegangi perut.
Pria itu hendak mendorong kursi roda tapi dihalangi oleh Helena.
"Biar aku saja tuan," pinta Helena.
Zayn dan Zayden mengikuti di belakang, beserta kedua pria itu.
Ponsel salah satunya berdering. Dia pun berhenti untuk mengangkat.
Satunya lagi tetap mengiringi langkah Helena.
Seorang perawat menyambut kedatangan pasien baru itu.
"Tuan, sebaiknya anda mendaftar dulu untuk keluarga anda ini," suruh perawat.
"Hhhmmm," pria itu menggaruk kepala yang tak gatal.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Hari Selasa pakai seragam, seragam olahraga karena itu jadwalnya #Banyak komen-komen beragam, komenlah yang membangun tentunya
Thanks atas semua dukungannya. Banyak cinta untuk kalian 💝
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Evy
Bik Ijah yang cerdik...
2025-03-25
1
Tania
like it
2023-09-26
3
Sri Astuti
nti pas di dalam bilang sm dokter klo mrk terancam bahaya.. mrk diculik.. dan dokter telp polisi
2023-09-26
2