"Adam sakit apa?" Tanya Oki saat Febi menaruh cangkir di atas meja dengan wajah sendu.
Febi memegangi dada yang mendadak ngilu. Dua sudut bibirnya melengkung ke bawah. "Kemungkinan Adam sakit ....."
Febi kesulitan menjawab, suara esek Febi semakin menjadi-jadi. Cairan ingus itu ada yang lolos ke bibir bengkak itu. Punggung Febi turun-naik seolah menahan beban besar.
Ya Allah .... Oki menjadi sangat penasaran sehingga dia pun ikut sesak napas karena napas temannya yang berat seperti sedang asma. Dia mengelus punggung Febi yang terasa panas. Apa seberat itu hanya sekadar mengatakan penyakit ... Atau nyawa Adam sedang terancam ?
"Adam sakit apa?" tanya Oki semakin cemas.
Dari pemindaian MRI ada kelainan pada otak Adam." Febi merinding hebat. "Dokter mengira itu kanker ...."
Wajah Oki langsung memucat, tangannya menutup mulut pertanda syok. "Bagaimana bisa anak sekecil itu terkena kanker?" Setahu Oki kanker kebanyakan dialami oleh orang-orang dengan gaya hidup tidak sehat.
Febi menggigit bibir bawah. Bibirnya bergetar menahan untuk tidak menimbulkan suara tangis, tetapi dadanya justru mengembang dan mengempis begitu terguncang.
"Innalilahi wainailaihi rojiun, kanker .... " Oki kehabisan kata-kata dan lututnya mendadak lemas. Si cerdas yang paling hobi membaca buku itu kini mendapat cobaan seberat ini di usianya yang belum genap lima tahun.
"Sudah sholat Ashar?" Begitu mendapat gelengan Febi, maka Oki menarik tangan Febi. "Ayo sholat bareng, dan minta petunjuk sama Allah."
Perasaan tenang memenuhi hati Febi seusai menjalankan sholat. Dia menjadi punya kekuatan tambahan saat menggendong putrinya ke mobil. Tidak apa-apa semua dilakukan sendiri saat ini, karena dia masih memiliki Allah.
*
Sesampai di rumah, Febi mencoba menghubungi Mike. Harapan Febi kembali sia-sia karena Mike tidak menerima teleponnya. Teganya kamu, Mike.
Kalau dipikir-pikir mengapa juga dia ingin memberitahu Mike soal Adam yang berada di kondisi antara hidup dan mati, setelah Mike menceraikannya? Apalagi Mike memutus semua akses komunikasi.
"Ma, Mia boleh ikut ke rumah sakit, ya?" Mia kembali merengek.
"Mia, dengar Mama. Di rumah sakit itu banyak penyakit, nanti Mia bisa ketularan sakit."
"Tapi, Mama bilang ke nenek, kalau Papa ada di sana. Mia mau ketemu Papa." Mia begitu jengkel pada papa yang sudah menolak panggilan teleponnya.
"Papa itu sudah tidak di rumah sakit. Tadi, papa sudah balik kantor dan lembur lagi." Febi terpaksa berbohong soal Mike.
"Kalau gitu Mia ke kantor sama tante. Mia mau ketemu papa!"
"Loh? Kalau kita sayang papa. Kita sebaiknya mengerti dengan kesibukan papa, ya. Kasian papa yang sedang kerja, kalau Mia kesana nanti kerjaan papa jadi tertunda. Nah? Lalu papa dimarahin bos papa." Febi dengan wajah penuh ekspresi yang berubah-ubah untuk membuat putrinya mengerti.
"Bos papa adalah Kakek. Kakek sayang papa dan tidak akan memarahinya!" Anak itu dengan keyakinan kalau kali ini sang mama mengabulkan permintaannya.
Febi mengembuskan napas panjang dan pelan tanpa mengintimidasi. Dia membisu dan menatap begitu lama.
"Bos papa itu bukan cuma kakek. Papa punya tanggung jawab besar untuk semua orang." Febi mengucapkan pelan-pelan setiap kata. "Ada orang yang jabatannya setinggi Kakek. Jadi, Mama mohon kamu bisa mengerti papa, ya. Mia di rumah, tidur sama nenek, biar besok bisa bangun pagi."
Mia mengangguk dengan bibir tertekuk, sambil menahan tangisan. Dia mendapat pelukan lembut dari mama yang tampak kelelahan.
Sesampai di rumah sakit, Febi berjalan ke kantor administrasi. Kini mereka merujuk Adam ke Rumah Sakit Anak Aurora. Fasilitas medis di sana dianggap lebih memadai untuk kondisi Adam. Dia merasa ada yang tidak beres dengan penyakit putranya.
Wanita itu ikut mobil ambulance dan terus menggenggam tangan Adam. Dia mencoba memberi kehangatan agar putranya tidak takut. Padahal, dia sendiri diliputi ketakutan yang jauh lebih besar.
Dari tadi pagi Adam gelisah, Febi kira akibat tidak adanya kabar dari Michael. Setelah di ingat-ingat, sepertinya Adam sudah kesakitan dari pagi.
Kenapa kamu tidak jujur pada Mama kalau nggak enak badan? Sekarang jadinya parah begini ... Yang kuat, ya Nak. Mama selalu di sampingmu.
Suara monitor di kamar rawat inap Adam, membuat Adi yang baru datang begitu merasa terpukul. Cepatlah sembuh, cucuku. Lihat mamamu itu sangat khawatir sampai belum mau makan dari siang.
"Di mana Mike?" Adi mendekati putrinya.
Alih-alih menjawab, justru Febi mengalihkan obrolan. "Ayah, barusan Ahli saraf datang memeriksa Adam. Lalu katanya mereka tidak setuju dengan diagnosis kanker."
"Terus Adam sakit apa?"
Dengan susah Febi membaca catatan di ponselnya. Ini sesuai diagnosis sementara yang tadi disampaikan dokter. "Ensefalomielitis diseminata akut atau ADEM."
"Katanya, itu penyakit autoimun jangka pendek yang kadang dipicu oleh infeksi." Febi menuturkan sesuai hasil searching. Padahal, dokter melarangnya melakukan ini. Akan tetapi jiwa keponya memberontak, apalagi melihat dokter kebingungan dalam mendiagnosa?
"Penyakit autoimun?" Adi mengelus dagu yang berjanggut tipis.
"Febi, rumah sakit ini adalah yang terbaik di kota, saya yakin mereka bisa bekerja dengan maksimal. Jangan terlalu khawatir, wajahmu itu sudah seperti orang kebelet pub tahu."
"Ayah?" suara Febi sedikit meninggi, sempat-sempat ayah meledeknya. Ponsel Apple diletakan di atas laci.
"Kemari, Anak Cantik." Dengan tidak sabar, Adi menepuk-nepuk sofa di samping.
Jantung Febi makin berdebar. Kalau sudah begini, dia yakin ayah mau mengatakan sesuatu yang sangat serius. Perempuan itu menoleh ke jendela, pura-pura tidak mendengar.
"Hp Mike kenapa tidak aktif?"
Seluruh syaraf dalam tubuhnya menegang saat suara tepukan ayah di sofa semakin intens. "Pasti hpnya mati? Ayah juga sering begitu."
"Saya kira kamu membohongi Ayah, dari kemarin, wow? Hebat sekali, seorang anak bisa membohongi orang tua."
Sindiran ayahnya terasa langsung mengenai jantung Febi. Wajahnya seketika berubah masam. Dia duduk di samping ayah dengan pasrah.
Adi memegangi tangan sang putri. "Seperti yang Ayah duga, kalian sedang ada masalah."
Air mata mata Febi langsung mengalir ke pipi. Setiap perkataan ayah seperti tembakan selalu tepat sasaran di pusat jantungnya.
Adi menghela napas panjang. Dia memberikan waktu ke- anak dari pernikahan pertamanya, untuk meluapkan kegundahan.
Dia pasti tertekan dan banyak pikiran. Sungguh aneh, menantuku tidak pulang ke rumah, anakku juga berbohong. Katanya , Mike lembur di kantor? Omong kosong, padahal orangku melapor kalau Mike pulang ke rumah orangtuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments