Saat dalam perjalanan pulang dari rumah Era, entah mengapa dirinya ingin kembali lagi melihat wajah yang begitu teduh dan nyaman untuk dirinya. Ketika laju mobil itu memasuki lingkungan rumahnya, sorot mata itu menangkap bayangan wanita dengan pakaian tertutup berjalan menuju halte angkutan umum. Langsung saja ia mengikutinya, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Hingga pada akhirnya mereka berhenti pada sebuah tempat yang mirip seperti pedesaan, ia hanya mengamati wanita itu dari kejauhan saja.
Dari kejauhan, Ansel mulai merasa tidak nyaman. Apalagi melihat bahu wanitanya itu bergerak naik turun, seperti sedang menanggis. Bergegas turun dari mobil dna menghampirinya.
"Kamu baru sembuh, kenapa sudah bepergian seperti ini!"
"Ayo, aku akan menghantarkanmu pulang." Ansel menegaskan suaranya.
Dalam keterkejutannya, Era begitu bingung saat mendapati Ansel berada disana. Bagaimana bisa pria itu menyusul dan mengikuti dirinya, padahal setahu Era jika Ansel sudah pulang dari rumahnya dalam waktu yang cukup jauh jaraknya.
"Tuan Ansel!"
"Iya, kenapa? Ayo pulang." Ansel tanpa ragu menarik tangan Era untuk menjauh dari makam tersebut, menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam mobil miliknya.
Dalam perjalanan pulang, Era masih dalam keterdiamannya dengan melihat ke arah luar jendela mobil. Sedangkan Ansel, ia fokus mengemudikan laju kendaraan. Saat tiba dirumahnya, Era segera berpamitan pada Ansel.
"Terima kasih tuan, saya permisi. Assalamu'alaikum." Tangan mungil itu hendak membuka pintu disampingnya.
"Tunggu! Gunakan ini, jangan pernah mengabaikan sambungan apapun dariku. Wa'alaikumussalam." Masih dengan wajah datarnya, Ansel menyerahkan ponsel kepada Era.
"Tapi tuan."
"Sstthh, berisitirahatlah." Ansel terlebih dahulu menyela ucapan dari wanita yang berada disampingnya itu.
Dengan langkah ragu, Era menerima pemberian itu. Melepas kepergian orang yang selalu datang tanpa ia ketahui, dalam perasaan yang tidak menentu.
Ya Rabb. Perasaan apa ini? Aku hanya berharap jika semuanya ini adalah takdir dariMu.
Saat baru saja menutup pintu rumahnya, tiba-tiba saja ponsel tersebut bergetar ditangannya. Kening itu nampak berkerut mendapati benda kecil itu bergetar, saat melihat siapa yang melakukan panggilan tersebut. Namun tidak ada nama yang tertera pada layarnya, hanya nomor asing.
"Assalamu'alaikum, halo." Walaupun sempat ragu, akhirnya Era memberanikan diri untuk menerimanya.
"Ini aku, berisitirahatlah. Besok mulailah bekerja, aku akan menjemputmu. Wa'alaikumussalam. " Panggilan tersebut terputus begitu saja.
Masih dalam kekagetannya, Era sudah tidak dapat berpikir lagi mengenai perlakuan Ansel padanya. Dimana ia berharap, semoga hal tersebut tidak membuat dirinya terlena.
.
.
.
.
Los Angeles...
"Apa yang harus kita lakukan?" Pria bertubuh atletis itu berhadapan dengan seseorang yang kini sedang dilanda emosi.
"Aku akan membalasnya, akan aku buat dia hancur!" Erang James dengan kepalan tangan yang begitu erat.
"Jangan terlalu bertindak gegabah, mereka adalah klan besar yang sudah mempunyai kedudukan. Jika kau bersikap seperti ini, aku pastikan akan berakhir seperti abu." Sebagai seorang sahabat, Thomson berusaha menasihati dan mengajak berpikir sebelum bertindak.
"Tapi mereka sudah membuatku malu, bisnisku hancur karena mereka. Aku sudah hampir bangkrut, sia-sia saja aku berusaha selama ini." James yang bisnisnya telah disebutkan kembali oleh Ansel, ia murka akan hal tersebut.
Thomson hanya bisa menyaksikan sahabatnya itu sedang dalam keadaan emosi, ia tidak ingin terlibat apapun dengan klan yang dipimpin oleh Ansel. Karena dirinya pernah hancur hampir seperti debu, namun Ansel masih memberikannya kesempatan untuk bernafas sampai saat ini.
Ketika dalam keadaan hampir mati, ia dipertemukan dengan James. Pria itu menolongnya hingga kini, namun ia akan menolong apapun tapi tidak dengan apapun yang berurusan dengan Ansel.
"Sial! Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskannya, sehebat apapun dirinya. Pasti akan ada cela atas kelemahan untuknya." Menatap tajam pada gelas yang ia genggam, membuat James bertekad akan membalas semua.
"Ya, terserah dirimu saja. Aku sudah mengatakannya padamu agar tidak berurusan apapun dengannya, jika kau masih bersikeras untuk balas dendam. Aku hanya bisa mendukungmu tapi tidak untuk membantu." Tegas Thomson.
Sementara itu, pria yang sedang mereka bicarakan saat ini berada diruang kerjanya. Tidak ada yang ia kerjakan dari awal kedatangannya, hanya duduk dan memandang ke arah luar jendela. Sesekali ia mengecek kamera pengawas didepan ruangannya, berharap ada berita baik yang datang.
Cukup lama ia menunggu, hampir tiga jam lamanya memandangi kamera pengawas dan akhirnya menyerah. Menghubungi Nayaka untuk datang ke ruangannya, sedikit membahas permasalahan mengenai perusahaan.
"Ada apa?" Nayaka menegaskan ucapannya, karena ia sedang menyiapkan beberapa berkas yang akan dibawa menemui kliennya.
"Tidak ada, aku bosan." Dengan mudahnya, Ansel mengucapkan kalimat tersebut tanpa merasa bersalah pada orang yang saat ini berhadapan dengannya.
"Apa?! Huh, jika kau bukan bos nya, sudah lama akan kuhancurkan kepalamu itu. Ada apa sebenarnya? Sudah beberapa hari ini, kau terlihat seperti tidak fokus." Nayaka mendaratkan bokongnya untuk duduk disisi meja kerja Ansel.
Hanya tatapan kosong yang Ansel tampakkan, ia menggerakkan jemarinya untuk mengetuk meja bagian atas. Semakin lama, Nayaka menjadi bingung sendiri dengan Ansel. Namun, sesaat ia menangkap bayangan seseorang yang menunggu disisi pintu. Lalu ia melirik Ansel sejenak, kemudian muncullah ide usil didalam kepala Nayaka.
"Oh ya, kenapa meja nona Era digantikan oleh orang lain? Kau memecatnya?" Dengan menahan tawanya, Nayaka bergantian melirik dengan ujung matanya pada Ansel dan orang yang menunggu disisi pintu.
"Entahlah, aku sudah memintanya untuk datang hari ini. Aku tidak mau dia terus kepikiran dengan kondisi adiknya, jangan lupa. Dia akan menjadi sekretaris pribadiku. Dan kau, jangan merasa tugasmu akan berkurang." Seringai Ansel menatap Nayaka.
"What?! Wah, kau benar-benar tidak adil bos. Apa, nona Era menerimanya?"
"Mau tidak mau, dia harus menerimanya. Agar aku bisa menjaganya dan melihatnya setiap hari." Tanpa disadari, Ansel mengungkapkan isi hatinya.
"You serius?!!" Nayaka melebarkan kedua matanya, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ansel padanya.
Karena, selama ia bersama dengan Ansel sang manusia datar dan dingin melebihi es dikutub Utara. Belum pernah ia bersikap seperti ini, apalagi ini terjadi pada wanita.
Dan orang yang berada disisi pintu tersebut adalah Era, ia hadir atas ucapan Ansel padanya. Namun apa yang ia dengar saat ini, belum saja ia bertemu dengan orang yang sudah memaksanya untuk datang. Akan tetapi, apa yang ia dengar kini. Cukup membuatnya shock dan menyadari serta menjawab semuanya perlakuan Ansel selama ini kepadanya, tanpa disadari. Air mata pun lolos mengalir dari kedua matanya, dengan cepat ia sapuh air tersebut agar tidak terlihat oleh orang lain.
"Benar, aku menyukai."
Degh!!
Seketika itu, Era seakan asupan aksigen untuknya tersendat. Mendengar apa yang baru saja Ansel katakan, lalu Nayaka menyadari jika situasi sudah tidak memungkinkan.
"Nona Era!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments