"Argh! Kau!!" Teriak Ansel dengan rasa sakit pada bagian intinya.
Dengan begitu, Era bergegas beranjak dari tempat itu dan berlari keluar. Ia begitu tidak sadar telah melajukan hal yang membuat Ansel begitu marah, berlari begitu saja sambil memegangi cadarnya dan meninggalkan tuannya yang masih meringgis atas rasa sakit yang ia berikan.
...Ya Allah, maafkan hambamu ini....
Air mata pun mengalir dari kedua sudut mata indah itu, merasa jika dirinya hampir saja dilecehkan oleh bosnya sendiri. Membuat Era tidak habis pikir dengan hal tersebut, belum sampai kakinya menjauh dari rumah makan itu. Sebuah tangan kokoh telah menahan lengannya, yang membuat dirinya berhenti melangkah.
"Le lepaskan tuan, tolong lepaskan saya." Ucap Era dengan lirih menahan tanggisnya.
"Jangan pernah membuatku marah! Masuk ke dalam mobil, masuk!!" Bentak Ansel kepada Era yang meringgis karena merasa sakit pada tangannya.
"Tolong tuan, lepaskan saya. Jangan sentuh saya, lepas!" Era terus memberontak agar Ansel melepaskan tangannya dari dirinya.
"Masuk!!" Bentak Ansel lagi.
Seketika saja bentakkan itu membuat Era terdiam, tubuhnya bergetar akan hal tersebut. Berjalan dengan terpaksa memasuki mobil yang sebelumnya mereka kendarai, Ansel menutup pintu tersebut dan menyusul masuk ke dalam mobil.
"Jangan pernah memancing amarahku! Diamlah, jangan menanggis." Genggaman tangan kekar begitu erat pada kendali mobil.
"Anda tidak berhak untuk membuka cadar saya, karena peraturan perusahan telah menyetujui hal itu. Tolong, hargai apa yang saya yakini tuan." Dalam tanggisnya, Era mengatakan semuanya.
"Diam! Aku tidak menerima sanggahan apapun, kau hanya seorang karyawan yang harus mematuhi pemimpinnya." Lagi-lagi Ansel meninggikan nada bicaranya.
Sejenak dalam diamnya, Era berpikir akan ucapan dari Ansel padanya saat itu. Memang benar jika karyawan harus mematuhi peraturan yang ada dalam perusahaan dimana ia bekerja, tapi tidak untuk aturan yang dibuat sendiri oleh pimpinannya.
"Jika anda bertindak semena-mena dengan peraturan yang anda buat sendiri, detik ini juga saya mengundurkan diri dari perusahaan anda. Tolong buka pintunya." Pinta Era yang sudah merasa direndahkan.
Tidak tahu mengapa, mendengar ucapan dari Era. Membuat perasaan Ansel menjadi merasa bersalah, baru kali ini ia merasakan hal tersebut. Biasanya ia akan dengan mudahnya mengeluarkan ucapan yang sangat tajam bagaikan senjata tajam, membuat yang mendengarnya akan merasa sakit hati. Namun kali ini, hal itu berbalik kepada Ansel.
"Buka! Tolong buka pintunya."
Menutup sejenak kedua matanya dan menarik nafas serta menghembuskannya perlahan. Ansel berusaha menetralkan suasana hatinya kala itu, entah mengapa ia menjadi melunak ketika berada disisi wanita berhijab ini.
"Ma maaf, maafkan aku. Tetaplah diam dan kita akan kembali ke perusahaan, dan aku minta untuk diam. Karena suasana hatiku sedang kalut, aku tidak ingin menyakitimu." Ansel menghidupkan mesin mobil dan melajukannya kembali ke perusahaan.
Dalam perasaan kesalnya, kedua telapak tangan kecil itu saling menggenggam satu sama lain. Membuang pandangannya ke arah luar jendela, membuat kedua mata indah itu meneteskan air mata. Selama dalam perjalanan, mereka tidak terlibat dalam percakapan apapun.
Hingga mobil itu berhenti di tempat parkiran khusus untuk pimpinan perusahaan, dimana Era sudah mengetahui cara membuka pintu mobil mewah itu. Dengan cepat ia membukanya dan keluar begitu saja tanpa berpamitan atau mengucapkan sepatah katapun untuk Ansel, melihat hal itu. Emosi yang sempat tertahankan itu kembali menerpa diri Ansel, dengan sekuat tenaga ia menghantamkan pukulan demi pukulan pada kendali mobilnya itu.
"Arkh!" Teriak Ansel meluapkan amarahnya.
.
.
.
.
Sejak peristiwa itu, tampak sekali jika Era menjaga jarak dari Ansel. Seringkali ia mendapatkan perintah untuk menghadap dirinya, namun Era selalu mencari alasan untuk menghindar.
"Ra, laper. Makan yuk, ni juga bentar lagi jam istirahat." Ajak Linda yang sudah merapikan berkas-berkas di atas meja kerjanya.
"Ia bos, tapi aku sholat dulu ya." Mengiyakan ajakan teman yang sudah menjadi sahabatnya itu.
"Oke." Keduanya segera merapikan meja kerjanya masing-masing.
Disaat mereka akan keluar dari ruangan kerjanya, terlihat teman satu tim mereka menghampiri.
"Eh, kalian mau kemana? Ayo turun, ditunggu pak Liam tuh di Cafe seberang. Dia mengajak kita semuanya makan siang bersama, kan lumayan menghemat isi dompet." Ujar Kamal kepada keduanya.
"Benaran tuh Udin?! Asik, makan gratisan siang ini." Linda begitu bersemangat mendengar makam gratis.
"Mabok lu, nama aku Kamal bukan Udin. Dasar soak! Ra ayo."
"Kamal?! Kamaludin iya, hahaha." Tawa Linda memecah suasana.
"Lu ya, dasar speaker soak. Ra, tinggalin aja ni orang." Kamal memanyunkan bibirnya pada Linda.
Masih menyimak berdebatan diantara kedua temannya itu, membawa tawa pada bibir dibalik kain yang menutupinya. Memang seringkali Linda dan Kamal terlibat perdebatan, hal itu sudah menjadi biasa di tim mereka.
"Kalian duluan saja, aku mau sholat dulu. Nanti setelahnya akan menyusul kalian, jangan bertengkar lagi ya. Nanti malah jodoh loh." Goda Era yang setelah berlalu dari sisi mereka berdua.
"Jodoh?! Ogah!" Ujar Linda dan Kamal bersamaan.
Mendapati kesamaan itu, keduanya saling bertatapan lalu mencibir dan berlanjut memisahkan diri. Sepeninggalan itu, Era segera menunaikan kewajibannya dan bermaksud untuk menyusul tim nya yang sudah berada di Cafe seberang.
Setibanya disana, mereka pun menikmati santap siang yang telah dipesan oleh masing-masing individu tim. Liam yang bertindak sebagai penjamin acara tersebut, tanpa sengaja duduk disamping Era. Dengan itu, mengundang berbagai tanggapan dari orang-orang disana.
Mengerti akan apa yang menjadi tatapam dari para tim nya, membuat Era mencari cara agar dapat menjauh. Karena ia tidak ingin membuat masalah yang pada akhirnya akan menyusahkan dirinya sendiri, beruntung cara yang Era ambil berhasil. Kini ia memilih duduk disamping Kamal.
"Kenapa pindah?" Kamal berbisik.
"Lebih baik menjaga daripada mendapat masalah." Jawab singkat itu membuat Kamal mengerti.
Memberikan ancungan jempol sebagai tanggapannya, Kamal pun memahami prinsip temannya itu. Terlihat jika para teman wanita dalam timnya itu sibuk mencari simpati dari ketua tim mereka, namun Liam bersikap seperti biasa saja.
"Tuan Ansel!" Liam berdiri dari duduknya dan menyapa seseorang.
Mendengar nama itu, membuat Era menjadi menghentikan makannya. Ia terdiam dan tidak berani untuk mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara. Sedangkan yang lainnya sangat antusias kala pemimpinnya ikut bergabung bersama, apalagi tampang wajah pimpinan mereka begitu memikat hati para wanita.
"Tuan Ansel, mari ikut bergabung." Tawar Liam.
Mendapatkan tawaran tersebut, tidak membuat Ansel langsung menjawabnya. Ia bersama Nayaka yang kala itu sedang bertemu dengan kliennya di Cafe tersebut tidak sengaja mendengar Liam memanggilnya. Nayaka tidak bisa menjawabnya, karena Ansel sedang memberikan tatapan tajamnya pada seseorang. Menelusuri arah tatapan tersebut, Nayaka akhirnya mendapatkan jawaban.
...Nona Era? Apakah terjadi sesuatu? Semoga saja itu baik tuan....
"Tuan, apakah anda ..."
"Era! Keruangan saya, sekarang!" Suara tegas itu sontak saja membuat semuanya kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments