"Bi, gue boleh nanya nggak?"
"Boleh. Setiap satu pertanyaan seharga goceng." Abi menunjukkan kelima jarinya. Aku langsung mendorong wajahnya dengan telapak tangan.
"Tangan lo bau terasi, Nyet!" Abi menjauhkan tanganku dari wajahnya.
"Masa, sih?" Aku mengendus telapak tanganku. "Enggak, ah. Biasa aja. Lebay kamu!"
"Jadi nanya nggak? Buru, aku ada urusan." Abi berulang kali mengecek ponselnya dengan raut gelisah.
"Mau kabur lagi, ya?" terkaku. Aku sudah hafal kebiasaan Abi setiap ada presentasi dia selalu menghindar.
"Kali ini gue serius, Sam. Gue ada keperluan mendesak. Lo nanyanya besok aja, gue harus pergi sekarang." Abi bangkit dari duduknya. Dengan gerakan tergesa ia menyampirkan tas di pundak.
"Ada apa sih, Bi? Kenapa kamu keliatan panik gitu?"
"Lo tau mantan gue?" Abi balik bertanya.
Aku berdecak sebal mendengar pertanyaannya. "Mantan kamu banyak, aku nggak tau yang kamu maksud siapa."
"Mantan gue yang pertama, Praya. Dia bilang mau bundir kalo gue nggak mau balikan sama dia," beber Abi sembari menekan tombol panggil.
Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan suara. Tulalit. Tulalit.
"Yaelah! Ngancem doang dia," sahutku enteng.
"Ndasmu! Nih, dia pap mau lompat dari jembatan." Abi menyodorkan ponsel miliknya.
"Cah gendeng!" Aku melotot melihat potret seorang perempuan yang naik ke atas jembatan yang ditampilkan di layar ponsel Abi.
"Ayo cepat, kita harus cegah dia." Aku jadi ikutan panik.
"Ini gue juga cepat-cepat, tapi lo malah ngajak ngobrol," sewot Abi.
"Sumpah, gue nggak peduli dia mau mati apa nggak. Gue cuma nggak mau kalo dia jadi arwah penasaran terus ngehantui gue. Kan nggak lucu!" cerocos Abi sepanjang jalan. Kami berboncengan menggunakan motor kesayangannya setelah sebelumnya menitip absen pada ketua kelas.
Sudah menjadi rahasia umum kalau sang ketua kelas menyukai Abi. Sayangnya, gadis cantik bermuka jutek itu sukar di dekati. Sudah beberapa kali Abi menggodanya, tapi ekspresinya datar saja. Padahal aku yakin, jauh di lubuk hatinya ia melayang hingga menembus cakrawala.
"HALAH, TINGGAL BILANG MASIH ADA RASA AJA GENGSI." Aku sengaja mengeraskan suaraku agar bisa ditangkap oleh indera pendengar Abi.
"NGGAK, LAH. NGACO LO. DALAM KAMUS HIDUP GUE NGGAK ADA ISTILAH BALIKAN SAMA MANTAN." Abi menimpali tak kalah kerasnya.
"Awas jilat ludah sendiri." Aku tak lagi berteriak. Tidak mau tenggorokanku sakit nantinya.
"Pegangan, Sam. Gue mau ngebut." Abi langsung memacu kecepatan. Aku yang tidak siap otomatis terdorong ke depan. Beruntung punggung kokoh Abi menahanku, jadi aku tidak jatuh.
Aku menabok bahu Abi keras dan berseru, "Kita mau nyegah orang mati, bukan cari mati. Gila kamu!"
"Biar cepet nyampe, Sam. Perasaan gue nggak enak," aku Abi. Kecepatan motor sudah mulai stabil.
Benar saja, ketika kami sampai di jembatan yang dimaksud, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada sebuah ponsel yang bagian layarnya retak tergeletak di dekat jembatan.
"Ini hape Praya, Sam!" Abi memungutnya. Wajahnya mendadak pucat.
"Jangan-jangan dia udah lompat ke bawah. Gimana, Sam? Kita telat. Praya …"
Aku melihat sorot ketakutan di mata Abi. Laki-laki itu meremat jarinya cemas. Tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang.
"Ayo kita coba cari. Siapa tahu tubuhnya belum hanyut jauh." Aku lantas melongok ke bawah sana untuk melihat seberapa deras arus airnya. Tanganku berpegangan pada sisi jembatan. Saat itulah, sebuah penglihatan muncul di otakku bagai film yang diputar.
Dalam pikiranku, Praya naik ke atas jembatan sambil menangis tersedu. Ponsel di genggamannya terlepas dan jatuh dengan suara cukup keras. Ia berdiri tegak, siap menjatuhkan tubuhnya ke bawah sana. Namun, tangan seseorang tiba-tiba menariknya. Orang itu menangkap tubuh Praya yang terhuyung ke arahnya.
"J-jangan mendekat!" Praya berteriak ketakutan saat seseorang yang mengenakan jaket hitam dengan topi dan masker senada itu membawa kedua tangannya ke belakang tubuh kemudian mengikatnya menggunakan tali yang sudah disiapkan. Air mata gadis itu mulai berjatuhan. Tubuhnya gemetaran.
Orang itu tak mengeluarkan sepatah kata pun, mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah botol mineral berukuran mini. Ia lantas membuka tutup menggunakan mulutnya dan memaksa Praya untuk menenggaknya dengan mencengkeram mulut gadis itu agar terbuka. Praya sampai terbatuk beberapa kali. Pakaian bagian depannya basah. Dalam keadaan setengah sadar, orang itu menarik tubuh Praya masuk ke dalam mobil yang rupanya terpakir tidak jauh dari jembatan.
Seketika aku tersadar. Tidak ada lagi orang itu dan Praya, melainkan Abi yang menatapku dengan sorot heran.
"Lo ngapa bengong? Gue panggilan dari tadi nggak nyaut-nyaut. Kesambet baru tau rasa lo."
Aku tak mengindahkan perkataan Abi. Fokusku tertuju pada telapak tanganku. Barusan itu apa? Apakah itu semacam penglihatan masa lalu? Memangnya ada hal seperti itu di dunia nyata?
"Sam!" Abi menabok punggungku keras.
Aku langsung menoleh. "Bi."
Alis hitam Abi saling bertautan melihat mimik wajahku berubah serius.
"Kayaknya Praya diculik," cetusku.
"Hah? Ngarang lo! Jelas-jelas dia loncat dari jembatan," tukas Abi. "Lo liat sendiri kan tadi di hape gue?" Ia mengetuk-ngetuk layar ponselnya.
"Kalo aku bilang aku bisa melihat masa lalu, apa kamu bakal percaya?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments