Andrew menatap gawainya dengan tersenyum, tertera nama Arumi di layar. Sesuatu yang dia tunggu sedari tadi.
"Akhirnya kau menghubungiku juga, Barbieku," gumam Andrew tersenyum. Wajah yang selalu nampak serius kini sering tersenyum hanya membaca sebuah chat. Rohan melirik ke arah atasannya dengan tersenyum. Dia melihat pemandangan yang dulu sangat langka untuk dilihat.
Andrew mengetik, membalas pesan yang dikirimkan Arumi.
"Akhirnya kau menghubungiku juga," balas Andrew. Senyum terukir di wajah Andrew.
"Kau! Apa maksudmu mengirim bekal ke kantor Yoga!"
"Karena aku ingin setiap hari bertemu denganmu, Sayang,"
Arumi mendelik saat membaca jawaban Andrew. Dia tidak menyangka jika Andrew akan membalas dengan kata-kata manis seperti itu.
"Kau membuatku dalam masalah besar! Bertambah pekerjaanku!" protes Arumi.
Andrew tertawa membayangkan saat ini pasti muka Arumi memerah menahan marah. Sungguh menyenangkan sekali bisa menggoda wanita yang telah mencuri hatinya itu.
"Tenang, akan aku tambah gajimu, Cantik. Tapi ingat setiap hari kirim masakan untukku, agar aku selalu bisa bertemu denganmu," jawab Andrew senang Arumi menghubunginya. Dokter muda itu sudah bucin pada Arumi.
"Astaga, baru juga diterima jadi kekasih sudah berani macam-macam!" geram Arumi dengan wajah memerah.
"Aku tidak macam-macam, hanya satu macam, yaitu bertemu dengan mu agar kau tidak kembali pada mantan suamimu itu."
Arumi membulatkan matanya, ternyata Andrew sedang cemburu.
"Cie, cemburu nih?"
"Enggak, mana ada."
"Tuh, tadi bilang 'biar aku tidak kembali pada mantan suamiku! Eh, Sory ya, jika bukan karena balas dendam, aku tidak Sudi emliht mereka bermesraan!"
"Kamu cemburu ya? melihat Yoga dan Gisel bermesraan?"
"Enggaklah, aku mual aja melihatnya. Tidak tahu tempat dan waktu?"
"Kalau begitu, kamu bermesraan aja denganku, aku mau kok."
Arumi terkejut, tidak menyangka orang sedingin Andrew bisa bilang begitu walau hanya lewat kata-kata dalam chating pesan.
Dengan kesal Arumi melempar ponselnya ke ranjang, dia tidak membalas chat Andrew. Andai Arumi balaspun akan percuma, yang ada dia akan semakin digoda dan dikerjai Andrew.
Arumi menghela napas panjang lalu mengambil buku catatan hariannya, dia menulis semua di dalam diary itu. Hanya dengan menulis Arumi akan sedikit lega meluapkan semua emosinya. Kegemarannya akan menulis di buku harian dia dapat sedari kecil. Ibunya lah yang mengajarkan agar semua yang Arumi rasakan dia luapkan di dalam goresan pena.
Setelah selesai menulis apa yang dia rasa dan semua kejadian yang dia alami, Arumi menulis daftar menu yang akan dia masak setiap hari. Arumi merupakan pribadi yang disiplin dan suka membuat jadwal untuk dia lakukan sehari-hari. Demi pencapaiannya membalas dendam pada Yoga, dia pun membuat daftar langkah apa yang akan dia ambil.
Rasa mengantuk menghinggapi mata Arumi. Beberapa kali dia menguap dan terpejam. Arumi menutup buku dan menyimpannya di tempat aman, tidak ada orang yang tahu keberadaan buku itu. Langkah gontai Arumi menuju ranjang memperjelas bahwa sang pemilik tubuh sudah lelah. Malam yang semakin merangkak gelap, menambah energi tubuh untuk diistirahatkan.
***
"Miss, nanti antar Royan kan?" celoteh Royan saat sarapan di meja makan.
"Iya, Tuan muda. Hari ini Miss hanya mengantar, tidak menunggui tuan muda karena tuan muda sudah besar dan menjadi anak yang pemberani, bukan begitu?"
Royan tersenyum, energi positif berhasil Meyla salurkan pada Royan. "Iya, Miss. Royan sudah besar harus mandiri dan jadi pemberani," sahut Royan. Anak kecil itu sudah terbiasa sendiri dalam menjalani aktifitasnya. Walaupun dia satu atap dalam asuhan orang tua kandungnya, tidaklah menjadikan dia sosok yang manja. Sikap dan keegoisan orang tuanya lah yang membuat dia jadi begini.
"Baiklah, ayo kita berangkat," ucap Arumi sembari mengambil tas Royan. Mereka berdua pun berangkat dengan diantar sopir.
Yoga menatap sendu melihat istrinya berkemas. Gisel akan menghabiskan akhir pekan bersama teman-teman sosialitanya di sebuah Villa mewah. Kawasan puncak menjadi target liburan mereka kali ini.
"Sayang, apa perlu mas antar sampai puncak?" tanya Yoga pada Gisel. Gisel mencebik kesal mendengar pertanyaan Yoga.
"Sudah aku bilang, Mas. Nanti aku dijemput Lita, Mas. Mas tidak usah repot-repot mengantarkan aku," jawab Gisel. Dia masih sibuk membereskan baju yang akan dibawanya.
"Kau membawa baju yang banyak, emang berapa hari kau di sana?" tanya Yoga lagi.
"Empat hari, Mas. Ini hari Kamis, dan kami akan pulang hari Senin siang. Kalau kami pulang Minggu maka pasti kami akan terjebak macet yang panjang," jawab Gisel datar.
Yoga hanya bisa pasrah, dia menuruti kemauan istrinya.
"Mas, daripad bengong di situ, mending tolong bawain tas ku ke depan. Aku mau telepon Lita dulu." Tanpa segan Gisel memerintah suaminya. Lagi-lagi Yoga hanya menuruti perintah Gisel tanpa pelrotes sedikitpun. Dulu Yoga seenaknya memerintah Arumi, kini dia yang seenaknya diperintah oleh Gisel.
"Lita, kamu sampai mana?" Gisel bertanya pada Lita. Suara perempuan terdengar dari seberang sana.
"Oh, Okey. Aku tunggu di luar, ya!" jawab Gisel. Gisel segera mengambil tas selempangnya lalu menuruni tangga menuju ke luar rumah.
"Mas, jangan lupa kau transfer uang jatah liburan ke rekeningku, okey?" seru Gisel sembari memakai kaca mata hitamnya. Mobil Lita sudah memasuki halaman rumah Yoga.
"Ya, Sayang."
"Baiklah, jaga diri dan Rohan ya, Mas. Aku pergi dulu, bye!" Gisel melambaikan tangan sembari masuk ke dalam mobil. Tas koper sudah diangkat oleh Lita.
"Bye!" jawab Yoga datar.
Lita melajukan mobilnya menuju ke lokasi titik kumpul.
"Suamimu tidak apa-apa kau tinggalkan?" tanya Lita sembari mengemudikan mobil.
"Tidak apa-apa lah, dia sudah terbiasa aku tinggalkan beberapa hari jika aku berkunjung ke rumah ibu," jawab Gisel santai.
"Beruntung sekali dirimu, Gisel. Punya laki yang penurut dan kaya,"
"Jelas beruntung dong. Muda, kaya, dan tampan lagi. Tapiii ...." ucap Gisel menggantung.
"Tapi apa?" Lita dibuat penasaran.
"Gimana ya? Menurutku, baik sih baik. Tajir sih iya, dan wajah juga tampan tapi dia kurang perkasa dalam urusan ranjang. Aku sering tidak puas jika berhubungan badan dengannya. Satu lagi, dia kurang mahir dalam bercinta. Hanya gaya itu, itu aja. Bosan kan?" keluh Gisel.
Lita tertawa terbahak-bahak mendengar kejujuran sahabatnya.
"Ish, kenapa kau tertawa? Lucu ya?" Gisel mencebik kesal ditertawakan oleh Lita.
"Memang kamu belum pernah merasakan kepuasan batin saat berhubungan badan?" tanya Lita lagi.
"Sepertinya belum, aku belum merasakan apa yang mereka sering bilang saat arisan dulu. Makanya aku diam saja," jawab Gisel.
"Memang kamu pernah, Lit?" tanya balik Gisel pada Lita.
Lita tersenyum mendengar pertanyaan Gisel. Tangannya masih tetap memegang kendali mobil.
"Aku sih sudah dong, Sel. Tapi nasibku juga tidak beda jauh darimu dulu, hambar dalam bercinta. Suamiku yang gila kerja, tidka pernah bisa memuaskan aku. Setiap berhubungan belum ada sepuluh menit dia sudah keluar duluan,"
"Lalu bagaimana kau bisa merasakan kepuasan, Lit?" Gisel penasaran dengan cerita Lita.
"Mmm, bagimana ya? Ya gitu deh! Hahaha ...." Lita tertawa melihat Gisel penasaran.
"Haish, kau jangan bercanda Lita. Aku serius nih!" Gisel benar-benar penasaran dibuatnya.
"Yakin kamu mau dengar?" Lita menggoda sahabatnya yang sudah penasaran dengan jawaban Lita.
"Iya, buruan kasih tahu!" rengek Gisel pada sang sahabat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments