Arumi merebahkan tubuhnya, dia tidak sabar untuk menunggu hari esok tiba.
***
Sinar matahari di pagi hari, menghangatkan tubuh Arumi yang berjemur di balkon. Hari ini dia sudah terlihat cantik. Sambil menikmati sentuhan panas matahari pagi hari, Arumi menggerakkan tubuhnya sesuai ajaran dokter Andrew.
"Untuk mendapatkan tubuh yang indah dan ideal, ikutilah gerakan ini," ucap dokter Andrew waktu pertama mengajari Arumi.
Tubuh indah Arumi meliuk-liuk mengikuti gerakan dokter Andrew. Tidak terbantahkan, siapapun yang melihat tubuh Arumi, pasti akan menganggap dia seorang peragawati.
Tok ... tok ...
Pintu kamar Arumi diketuk. Arumi pun menyudahi senamnya, lalu menuju arah pintu. Tampaklah dokter Andrew sudah ada di depan pintu kamar Arumi. Kedua mata mereka bertemu, untuk sesaat mereka saling menatap. Keringat di dahi Arumi membuat dia terlihat lebih menggoda.
"Mmm, maaf. Silakan masuk dok." Arumi mempersilakan dokter Andrew masuk. Mendadak mereka berdua menjadi canggung.
"Eh, Iya. Terima kasih." Dokter Andrew melangkahkan kakinya memasuki kamar Arumi.
Arumi mengambilkan minum untuk dokter Andrew. Di dalam kamarnya terdapat lemari es khusus untuk menyimpan minuman dan buah-buahan.
"Silakan dok, diminum." Arumi menyodorkan air mineral untuk dokter Andrew.
"Terima kasih Arumi," ucap dokter Andrew.
***
Sementara itu di rumah Yoga.
"Mas, sudahkah mendapat baby sister untuk Royan?" tanya Gisel sembari memasukkan semua perlengkapan Royan ke dalam tas.
"Kemarin ada yang menghubungi, Mas. Katanya nanti sore mau ke rumah. Kita tunggu saja nanti sore," jawab Yoga sembari memasang dasinya.
"Syukurlah, kalau begitu, Mas. Aku sudah kuwalahan menjaga Royan. Belum lagi sekarang kehamilan kedua ini aku begitu kelelahan," timpal Gisel.
Yoga menatap Gisel yang semakin bertambah berat badannya itu. Setiap hari dia hanya rebahan dan makan saja. Untuk sekedar membantunya memakai dasi pun sekarang sudah tidak bisa.
"Iya, Sayang. Semoga hari ini dia jadi datang," sahut Yoga lagi.
"Sayang, bisa bantu Mas mencarikan kaos kaki?" tanya Yoga.
Yoga menatap istrinya dengan tatapan memohon. Hari ini dia harus datang lebih pagi, selain ada rapat, dia harus mengantar Royan ke sekolahnya. Royan di usianya menginjak empat tahun sekolah di Kindergaten School. Sekolah untuk anak usia kanak-kanak.
Setiap pagi, Yoga sebelum berangkat ke kantor, menyempatkan mengantar Royan sekolah terlebih dahulu. Gisel tidak pernah mau mengantar, alasannya dia sering lemas jika berjalan jauh.
"Mas, bisa kau ambil sendiri kan. Semua dasi sudah tertata rapi di lemari." Gisel memainkan ponselnya. Dia lebih memilih menonton drama Korea di ponselnya, dibanding melayani Yoga.
Yoga hanya bisa menghela nafas, dia mengambil sendiri dasi di lemari lalu memakainya. Saat menatap tumpukan dasi yang tidak beraturan, Yoga tidak sengaja mengingat Arumi. Dulu saat bersama Arumi, dia tidak pernah sekalipun mencari dasi sendiri.
Semua barang kebutuhannya selalu Arumi siapkan, tidak hanya itu saja, lemari sellalu rapi dan wangi. Segera Yoga memakai dasi dan meninggalkan Gisel, dia tidak ingin perasaan bersalah menghantuinya.
"Sayang, Mas berangkat dulu." pamit Yoga sembari mengelus perut Gisel dan mengecup keningnya.
"Iya, Mas. Jangan lupa hari ini Mas transfer uang ke rekeningku. Jatah untuk ke salon sudah habis, Mas." Gisel dengan santainya memerintah Yoga. Dia tetap bergeming memainkan ponselnya.
"Bukannya baru tiga hari, Mas transfer?" tanya Yoga.
"Mas, kan itu beda. Ini jatah untuk perawatan kecantikanku, sedangkan kemarin untuk belanja harian Aku dan Royan." Gisel menatap tidak suka pada suaminya.
"Royan? dimana dia?"Yoga menyadari sedari tadi dia tidak mendengar suara Royan.
"Bukannya dia sedang bersama Bik Ratih? Dasar anak nakal, tidak bisa diam!" Gisel bangun dari rebahannya untuk mencari Royan.
"Biiik ... Biik Ratih ...! Dimana Royan? sudah waktunya dia berangkat!" teriak Gisel.
Bik Ratih yang dipanggil namanya, datang dengan tergopoh-gopoh.
"Loh, Nyonya, bukannya tadi sudah menyusul ke kamar nyonya?" ucap bik Ratih dengan nafas yang tersengal.
Gisel yang merasa tidak ada Royan di kamarnya, membulatkan matanya.
"Bik ... kalau Royan ada di kamar, pasti Saya tidak akan mencarinya, Bik!" sahut Gisel ketus.
"Lalu, dimana dia, Bik?" sambung Yoga. Dia sudah kesiangan.
"Tidak tahu, Tuan."
"Kalau begitu cepat cari, Bik!" hardik Gisel.
Bik Ratih pun segera mencari Royan di seluruh isi rumah. Royan adalah balita usia empat tahun yang sangat aktif, bahkan cenderung hiperaktif. Royan tidak akan pernah bisa diam lebih dari sepuluh menit.
Gisel yang jengah dengan sikap dan tingkah laku Royan, memilih untuk membiarkan Royan berbuat sesuka hatinya. Tidak jarang Royan di sekolah sering memukuli temannya. Hal itu yang membuat Royan harus berganti sekolah. Banyak walimurid yang mengadukan kelakuan Royan yang menyakiti anaknya.
"Den ... Den Royan ... Aden dimana?" teriak bik Ratih mencari Royan.
"Biik ... Royan di sini," jawab Royan. Royan lebih mematuhi kata-kata bik Ratih dibanding dengan kata-kata Gisel. Semenjak kecil, bik Ratih lah yang selalu merawat Royan. Gisel terlalu sibuk dengan teman sosialitanya.
"Aduh, Den Royan. Kenapa Aden main di ruang kerja papa?" panggil bik Ratih pada Royan. Aden adlaah panggilan bik Ratih untuk menghormati Royan. Aden memiliki arti Tuan muda.
"Royan!!! Astaga ... apa yang kamu lakukan di ruang kerja, Papa?" hardik Yoga saat mendapati Royan sudah membuat ruang kerja Yoga berantakan. Kertas dokumen sudah acak-acakan di lantai.
"Papa, Royan mau main, Pa ...." sahut Royan tanpa bersalah. Dia tidka tahu jika amarah Yoga sudah sampai di ubun- ubun.
"Royan!! Bik Ratih, bawa Royan keluar sekarang juga!" teriak Yoga memerintah bik Ratih. Royan menatap takut pada Papanya.
"Maafin Royan, Pa ...." Royan berkata manis meminta maaf pada ayahnya.
Tatapan sendu Royan dan kata manis yang dia ucapkan, mampu membuat siapapun tidak akan sanggup marah.
Yoga menghela nafas kasar, bagaimanapun Royan adalah anak kandungnya. Hampir 90 persen wajah Royan mewarisi paras tampan ayahnya.
"Baiklah, kali ini Papa maafkan! Jika Royan bermain lagi di ruang kerja papa, maka papa tidak akan segan menghukum Royan." tegas Yoga. Dia tidak ingin Royan menjadi anak yang tidak disiplin.
Royan mengangguk senang, dia mampu membuat ayahnya tidak memarahinya. Royan mewarisi kemampuan Yoga dalam berkata manis.
"Royan, sebaiknya kita segera berangkat. Papa sudah sangat terlambat." Yoga mengajak Royan untuk segera berangkat. Semenjak Gisel hamil anak kedua, Yoga sering datang terlambat ke kantor.
Hal ini membuat banyak klien yang enggan bekerjasama dengan Yoga.
Yoga melangkah dengan lesu, hari on mood bekerjanya sudah hancur. Yoga tidak habis pikir, dulu saat bersama Arumi, dia mudah mencapai semua kesepakatan dengan para klien. Sekarang semuanya seperti terbalik.
Brum ...
Yoga melajukan mobilnya kencang menuju sekolah Royan. Saat hendak memasuki gerbang sekolah, dia melihat sesosok wanita yang sangat cantik. Dia berdiri di samping guru kelas Royan. Mata Yoga tak hentinya memandang indah ciptaan Tuhan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Dam Ar
Arumi itu kayaknya
2023-11-20
1