Merasakan tangan Seraphina terlepas dari genggamannya, Jerome langsung menoleh. Di hadapan mereka ada tiga orang laki - laki yang berperawakan besar dengan penampilan seperti tukang pukul. Ketiga orang itu kini berdiri mengelilingi Seraphina dengan tatapan tajam seperti seekor anak domba sedang dikelilingi oleh tiga serigala jahat. Seraphina tampak menelan ludah dengan susah payah.
"Seraphina?" tanya salah seorang pria itu dengan wajah garang.
Seraphina mengangguk, mulutnya terbuka tapi tak bisa mengeluarkan suara. Takut dan gemetar. Dia tahu apa yang diinginkan oleh ketiga pria dihadapannnya ini.
"Kami datang untuk menagih cicilan hutang!"
Seraphina kembali mengangguk - angguk, dengan tangan gemetar mengambil uang yang berhasil dikumpulkan dari bermain piano tadi. Dia meraih semua yang ada di dalam kantong tanpa sisa, lalu memberikan uang - uang tadi kepada si penagih hutang. Dalam hati, Seraphina berdoa semoga penagih hutang bisa segera pergi.
Laki - laki itu menerima setumpuk uang kertas di tangan, meski pun terlihat banyak tapi nominalnya tergolong kecil. Dia menghitung lembaran demi lembaran dan memasukkannya ke kantong baju, wajahnya terlihat sama sekali tidak puas.
"Kamu pikir uang segini cukup untuk melunasi hutang orang tuamu, hah? Untuk membayar bunganya saja masih kurang!" gertaknya sambil mendorong kepala Seraphina dengan telunjuk.
Jerome mengepalkan telapak tangannya. "Hey! Hey! Kenapa kalian begitu kasar terhadap wanita?" tegurnya.
"Kami tidak ada urusan dengan anda. Asalkan gadis ini membayar hutang, maka kami akan pergi." angkuh penagih hutang dengan tompel di pipi.
"Hutang apa? Berapa?" tanya Jerome dengan tenang.
Salah satu penagih mengamati Jerome dari atas hingga ke bawah. "Siapa anda? Sepertinya anda bukan penduduk sini. Apa anda saudaranya?"
"Aku adalah teman Seraphina. Sedikit saja kalian menyakitinya, maka kalian akan berurusan denganku." ucap Jerome dingin.
Salah satu penagih mengeluarkan secarik kertas dari saku celana dan memberikannya kepada Jerome. "Orang tuanya telah meminjam uang sebesar seratus juta rupiah kepada kami. Pembayaran cicilan ketiga sudah lewat dua puluh hari dari tanggal jatuh tempo."
"Seratus juta?" Tanya Seraphina bingung. Hutang awalnya hanya sebesar lima puluh juta. Dan mereka juga sudah dua kali mencicil dengan menjual beberapa barang. Kenapa tidak berkurang dan justru bertambah?
"Kapan kami meminjam uang sebanyak ini? Kalian pasti salah." protes Seraphina.
"Buktinya ada di tangan teman anda. Baca saja. Itu hanya salinan. Yang asli ada di tuan kami. Anda juga bisa memeriksa apakah tanda pengenal dan data pribadi yang tercantum adalah benar."
Seraphina mendekat ke Jerome dan ikut membaca tulisan pada kertas tersebut. Namanya benar, begitu juga foto tanda pengenal disana. Setiap identitas pribadi yang tertera semuanya benar. Seratus juta. Dia tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Mungkin bagi sebagian orang angka lima puluh bahkan seratus juga adalah kecil. Tapi bagi petani seperti mereka, nilai segitu sangatlah banyak.
Matanya membelalak melihat ke deretan angka kematian yang menunjukkan jumlah cicilan setiap bulannya lalu bunga harian apabila cicilan tidak dibayar tepat waktu. Apa Dorris dan Clement tidak membaca ini? Dia hanya tahu orang tua angkatnya itu berhutang senilai lima puluh juta. Mengapa mereka tidak memberitahukan ketentuan ini kepadanya? Pendapatannya dari bermain musik saja tidak akan pernah cukup untuk mencicil.
Tangan Seraphina terasa dingin. Dia menarik napas panjang, jantungnya berdetak dengan cepat dan dia merasakan keringat dingin menetes di pelipis. Dia tak tahu harus bagaimana, Clement dan Dorris juga sudah mengerjakan apa saja untuk menghasilkan uang yang tentu saja habis untuk kebutuhan sehari - hari.
"Aku akan membayar cicilannya secara bertahap. Kalian sudah menyita barang berharga dari rumah kamu sebelumnya, lalu pendapatanku hari ini juga sudah kalian ambil semuanya. Setidaknya beri kami waktu lagi." Seraphina memohon pada mereka, otaknya bekerja keras menemukan pekerjaan apa yang kira - kira bisa dia dapat untuk menambah penghasilan.
"Barang yang kami sita adalah mesin bekas, tidak bernilai tinggi. Apa kamu tidak membaca jumlah uangnya?" Laki - laki itu menunjuk kertas yang dipegang oleh Jerome. "Jumlah itu akan terus bertambah beberapa kali lipat setiap harinya. Sebaiknya kamu bayar sekarang juga!"
"Aku sudah tidak punya uang lagi saat ini. Aku akan mencari pekerjaan tambahan besok. Beri waktu untuk mengumpulkan sisa uangnya." ujar Seraphina dengan suara bergetar. Dia teringat pada Dorris dan Clement yang sudah mulai beruban, mereka tidak lagi muda. Rasanya tak tega membiarkan kedua orang tua angkatnya menanggung semua ini.
"Kamu pikir ini main-main? Itu uang yang besar dan kamu menyuruh kami memberi waktu lebih lama? Ini sudah hampir satu bulan kamu menunda pembayaran. Yang mengatur jadwal disini adalah kami, bukan kamu!" hardik pria itu sambil menunjuk hidung Seraphina.
Seraphina memejamkan mata untuk membantu menenangkan diri.
"Di cafe ini aku masih baru bekerja jadi tak mungkin aku meminta bantuan kepada pemiliknya. Uang yang kami pinjam habis untuk membeli bibit, pupuk dan keperluan tanam yang lain tapi panen gagal. Itu diluar kemauan kami. Kemudian semua mesin dan peralatan sudah kalian sita, orang tuaku tak bisa lagi bekerja. Memangnya apalagi yang bisa aku usahakan selain mencari pekerjaan lain diluar sana? Jadi, tolong beri aku waktu." ucapnya berusaha menjelaskan.
Pria berwajah tompel itu mendekat, Seraphina mundur satu langkah. Jerome maju dengan sikap siaga. Dari tadi dia tak banyak bicara, mencoba membaca situasi yang terjadi. Asalkan gerombolan pria ini tak menyakiti secara fisik, Jerome hanya akan mengamati.
Penagih hutang itu sengaja memperkecil jarak antara Seraphina dan dirinya supaya gadis itu merasa terintimidasi. Tubuh Seraphina yang munggil terlihat seperti seorang kurcaci menghadapi raksasa jahat.
Jerome menggeretakkan geraham dan tangannya mengepal erat, menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan ke pria kurang ajar di hadapannya. Dalam kasus ini pihak Seraphina melakukan kesalahan dengan tidak membaca secara teliti perjanjian yang tertulis. Tapi cara mereka menagih sangat tidak bisa dibenarkan. Laki - laki bertubuh besar di hadapannya itu menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah Seraphina. "Kamu masih punya satu aset yang bisa dijual dengan harga bagus." Matanya dengan lapar menelusuri mulai dari wajah hingga ke tubuh Seraphina. "Wajah kamu cantik dan tubuh kamu bagus. Aku yakin boss-ku mau membayar sekitar sepuluh juta untuk satu malam. Sepuluh malam bersama,... HEGH!"
Suara laki - laki itu terhenti saat merasakan cengkeraman Jerome di kerah bajunya, lalu mendorong tubuh besar pria itu hingga menempel di tembok. Gerakan Jerome begitu tangkas dan terlatih, kemudian dia mengunci leher pria itu dengan lengannya.
"Jika kalian berani menyentuhnya sedikit saja, aku akan membuat perhitungan dengan kalian. Aku tidak pernah main - main dengan perkataanku." ancamnya, aura berwibawa memancar dari sorot mata Jerome.
Pria itu menatap Jerome sesaat, lalu saling bertukar pandang dengan temannya seperti memberi kode. Membaca gerakan lawan, Jerome kembali melanjutkan kata - katanya.
"Jangan berani mendekat, atau aku akan mematahkan leher temanmu. Tentu kalian ingin pulang hidup - hidup bukan? Aku akan membereskan hutangnya. Jadi, lebih baik kalian bekerja sama dan bersikap sopan."
Mereka yang tadinya memasang wajah geram kini berubah serius. Jerome benar, mereka masih ingin hidup dan membutuhkan uang untuk disetor kepada Boss. Lagipula, sepertinya Jerome tidak main - main. Tubuhnya memang tidak besar namun aura dominannya cukup menciutkan nyali mereka.
Jerome melepaskan pria tadi dan mengambil sesuatu dari saku celananya lalu memberikannya pada salah seorang penagih hutang. Pria itu terkesiap. Matanya melihat ke arah Jerome, lalu kembali ke kartu dan sekali lagi menatap Jerome.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
kimraina
Hajar aja ka tuman mulutnya
2023-09-07
3