"Gue pusing banget, Mel." Aliza bersandar disofa ruang tamunya dengan piyama yang masih melekat ditubuh gadis itu.
"Gue bisa bantu apa, Al? Gue juga bingung," ungkap Melia seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sore ini Melia datang ke rumah Aliza untuk menanyakan perihal toko kue sahabatnya yang akan buka di dekat rumahnya.
Apakah jadi atau tidak? Jika Aliza setuju maka dia akan memberitahu pemilik tanah dan akan melakukan negosiasi lebih lanjut antara Aliza dan Bapak pemilik tanah.
Namun, setelah sampai di rumah sahabatnya itu Melia dikejutkan dengan Aliza yang ternyata belum bangun sedari pagi. Dengan wajah bangun tidur gadis itu yang begitu mengenaskan.
Mata bengkak dengan rambut yang berantakan.
Aliza menghembuskan napas lelah.
Matanya terasa panas karena semalaman menangis.
"Apa gue kabur aja?" ucap Aliza tiba-tiba setelah menerima ide yang melintas dalam benaknya.
"Gila! Bukannya nyeselain masalah malah nambah masalah," ucap Melia yang tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu.
"Gue tau lo lagi pusing banget. Tapi plis berpikir positif. Jangan mikir yang nggak nggak yang ujungnya nanti bakalan bikin susah diri lo sendiri." Melia berjalan mendekat kearah Aliza lalu duduk diaamping sahabatnya itu.
"Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng," ucap Melia menggenggam tangan sahabatnya.
"Gue udah setuju sama perjodohan ini, Mel." Aliza menatap gadis disampingnya dengan wajah sendu.
"Tapi gue masih ragu." Aliza menghembuskan napas perlahan. "Gue takut resiko setelah gue menikah. Gue takut kalo Kak Arsen nggak bakalan pernah suka sama gue. Dan akhirnya gue jadi janda," lanjutnya.
Melia menempelkan telunjuknya tepat dibibir Aliza. Namun, segera dihempaskan oleh gadis itu.
"Tangan lo bau terasi!" Aliza segera mengelap bibirnya.
"Enak aja. Gue udah cuci tangan ya." Melia mendekatkan tangannya pada hidung, dan benar bau segar bercampur asam itu sangat menguar dalam rongga hidungnya.
"Seger!" ucap Melia seraya tersenyum dan memejamkan mata.
"Gila!" umpat Aliza.
"Udah ah. Gue mau mandi." Aliza segera bangkit dari duduknya. Dia sangat malas jika sudah melihat Melia seperti itu.
Mending dirinya mandi. Biar seger. Nggak kusut ke baju belum disetrika.
"Ya udah gue tunggu dikamar lo ya. Ada yang mau gue omongin juga." Melia segera berjalan menaiki tangga.
"Lo cuci tangan dulu sebelum ke kamar gue! Kalo nggak, mending lo pulang aja," putus Aliza karena dirinya sudah lelah melihat tingkah Melia yang selalu seperti itu.
Kebiasaan buruknya adalah tidak mencuci tangan menggunakan sabun setelah mekan. Wah, Aliza sudah paham betul itu.
Gadis dengan rambut yang masih berantakan itu mengambil ponselnya diatas meja.
Namun, tiba-tiba nada dering dari benda yang ada dalam genggamannya itu membuat Aliza terkejut.
Dilihatnya nama "Bunda" disana. Tak menunggu lama Aliza segera mengangkat telponnya.
"Halo!"
"Halo! Lagi dimana sayang?" tanya Nita.
"Dirumah, Bun."
"Suara kamu kok kaya orang abis bangun tidur."
"Iya, Bun. Aliza baru bangun tidur."
"Ya ampun Aliza. Anak gadis jam segini baru aja bangun. Ini bukan lagi siang, Al. Tapi udah mau malem lagi."
Ya, Aliza tau pasti bundanya akan mengomelinya habis-habisan.
"Ada apa, Bun? Kok tiba-tiba nelpon?" ucap Aliza segera mengganti topik agar Nita tidak lagi marah dan mengomelinya.
"Katanya anak gadis kok bangunnya sore."
"Oh, ya. Bunda sampek lupa."
"Bunda sama ayah udah netapin kapan kalian bisa menikah. Kemungkinan bulan depan. Jadi, masih ada waktu buat persiapan. Ayah sama Bunda juga udah bahas ini sama orang tua Arsen dan mereka setuju," jelas Nita disebrang.
"Ya udah Bunda tutup ya."
Tiba-tiba sambungan terputus. Aliza belum sempat menjawab apapun. Ya, dia benar-benar hanya seperti manusia yang tidak bisa memilih apa yang dirinya inginkan.
Masalah pernikahan, bukankah itu penting sekali. Menikah itu perjalanan seumur hidup dengan orang yang tepat seharusnya.
Tapi terkadang sebuah pilihan ada yang kurang tepat dan pada akhirnya hanya bisa menerima dan menjalani kehidupan sesuai pilihan.
Namun, berbeda dengan Aliza yang hanya sekedar memilih tentang kehidupan dan masa depannya pun tidak bisa.
Sangat malang.
Ya, memang terkadang pilihan yang dipilihkan orang lain termasuk orang tua terkadang itu jauh lebih baik dari pada pilihannya sendiri.
Mungkin berpikir lebih positif jauh lebih menenengkan untuk Aliza sekarang.
Tapi kenapa harus sekarang dia mendapatkan berita tentang pernikahannya dengan Arsen.
"Aliza!" Suara dari lantai dua, tepatnya di kamar Aliza membuat pemilik kamar terkejut.
"Lo lama banget," teriak Melia kembali.
Aliza tidak menjawab tapi segera menyusul Melia.
***
"Bulan depan?" tanya Melia tidak percaya.
"Cepat banget," lanjutnya.
Aliza hanya duduk dipinggir kasurnya dengan rambut yang masih dibalut handuk.
"Kalian aja belum pdkt," ungkap Melia.
Aliza benar-benar diam. Pikirannya terlalu rumit. Terlalu banyak hal yang dirinya pikirkan.
"Kak Arsen udah tau?" tanya Melia membuyarkan lamunan Aliza.
Aliza tak terpikir sampai kesitu.
"Jangan bilang dia belum tau," tebak Melia.
Aliza menggeleng pelan. "Gue nggak tau."
"Mending lo telepon Kak Arsen dulu. Lo bicarain masalah ini dulu."
Aliza mengambil ponselnya diatas nakas. Setelah mengotak-atik benda pipih menyala itu dia menempelkannya ditelinga. Beberapa menit kemudian sambungan terputus akibat tidak ada jawaban dari Arsen.
"Nggak diangkat."
Melia menghembuskan napas lelah.
"Terus gimana? Lo harus bicarain masalah ini sama Kak Arsen," ucap Melia.
"Biarin dulu deh. Besok gue telepon lagi. Mungkin hari ini dia lagi sibuk."
"Sibuk pacaran kali," cetus Melia.
Aliza melirik tajam sahabatnya itu.
"Bercyandaa. Bercyandaa," ucap Melia cengengesan.
Sebenarnya dia ingin memberitahu Aliza tentang story instagram Risa, pacar Arsen yang sedang liburan bersama Arsen pastinya.
Namun, Melia tidak tega melihat Aliza seperti sekarang. Sahabatnya akan menikah dengan orang yang jelas-jelas masih mempunyai pacar. Dia ingin membantu bagaimana agar Aliza terbebas dari masalah ini tapi dirinya juga tak berdaya.
Ditempat lain Arsen sedang menikmati sunset bersama Risa.
"Sunsetnya indah banget ya." Risa merebahkan kepalanya didada bidang milik Arsen.
"Iya, kaya kamu," balas Arsen dengan senyum yang mengembang tapi segera mendapat hadiah cubitan dibagian perutnya.
"Gombal," ucap Risa lalu memandang sunset kembali.
"Kapan kita nikah?" pertanyaan itu keluar dari bibir Risa tiba-tiba.
Arsen yang bingung serta terkejut hanya bisa berdehem.
"Jawab!"
"Kalo udah waktunya ya. Gue masih mau fokus sama karir dulu," jelas Arsen.
Ya, memang benar jika dirinya ingin fokus dengan karir. Namun, disisi lain juga dia sedang menyembunyikan kabar buruk tentang perjodohannya dengan Aliza.
Untuk sementara biarkan Risa tidak tau. Dia memang sengaja tidak memberitahu pacarnya bahkan kalau bisa Risa tidak perlu tau sampai hubungan pernikahnnya dengan Aliza itu selesai. Namun, itu terdengar mustahil.
Getaran yang berasal dari ponselnya itu mengalihkan fokus Arsen.
Dia segera membuka ponsel ada chat masuk dari Mamahnya.
Dahinya mengkerut setelah membaca chat dari mamahnya. Batinnya menggeram hebat seakan ingin berteriak jika bisa.
"Dunia ini tidak adil!" batinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments