"Kaki-kaki ini terasa begitu menyedihkan..." Asrul tersenyum pahit ketika merasakan kecepatan larinya menggunakan ilmu Langkah Angin tidak berbeda dengan kecepatan lari orang biasa.
Satu perubahan nyata yang dibandingkan kehidupan sebelumnya adalah pertumbuhan fisik Asrul, sebelumnya dia adalah pemuda kurus yang terlihat kurang gizi dan kurang tenaga, sama sekali tidak seperti pesilat pada umumnya namun kali ini dia memiliki nafsu makan besar serta melakukan latihan dengan aktif jadi fisiknya tumbuh menjadi besar dan kuat.
Asrul sedikit merindukan kemampuannya yang mampu berlari secepat angin, tetapi dirinya juga memahami selama dia berlatih cukup keras maka cepat atau lambat dia akan mendapatkan kemampuan itu kembali.
Setelah berlari beberapa saat, Asrul bisa melihat perkampungan di hadapannya.
Asrul duduk bersila di tepi sungai untuk mengatur kembali nafasnya, biarpun stamina yang dia miliki beberapa kali lipat daripada pemuda seusianya tetap saja dirinya begitu kelelahan setelah berlari beberapa saat.
Pandangan Asrul terarah pada sebuah rumah dengan perasaan campur aduk, dia mengetahui bahwa rumah ini akan hancur dalam waktu 20 tahun lagi.
Asrul memandang sekitarnya dan ternyata tidak ada seorangpun yang terlihat, dia tidak terlalu heran dengan kondisi ini karena perkampungan ini di kenal dengan sebutan Markas jin buang anak.
"Hai anak muda! Apa yang sedang engkau lakukan disini? Apakah engkau telah tersesat jalan?" seorang kakek menghampiri Asrul dan menanyakan apakah Asrul memang ada tujuan ke kampung ini.
Asrul mengenal kakek yang di hadapannya. Kakek yang berusia sekitar 70 tahun sesungguhnya telah berusia 160 tahun. Karena ilmu Kanuragan yang dimilikinya, kakek itu tampak lebih muda dari kenyataannya.
Kakek itu adalah pemimpin Padepokan Kun-Billah yang di kenalnya pada kehidupan sebelumnya. Beliau kembali mengambil alih posisi kepemimpinan Padepokan, karena beliau menugaskan Mbah Jena memenangkan jabatan gubernur Batavia. Asrul tidak berkata apa-apa dan hanya bersujud seraya mencium tangan kakek itu.
"Baiklah kalau engkau tidak mau mengatakan tujuanmu kemari. Tapi setidaknya engkau bersedia kan menyebutkan siapa namamu?" kakek itu memaklumi jika Asrul tidak mau mengatakan tujuan kedatangannya.
"Nama saya Asrul kakek."
"Baiklah Asrul, ayo ikut kakek." kakek itu merangkul pundak Asrul dan mengajaknya berjalan menuju danau yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Asrul memandangi beberapa stick pancing yang sedang di tajur ke air danau.
"Apa yang sedang kau lihat Asrul? Kakek yang telah meletakkan pancing itu. Banyak orang yang memancing di sini mengatakan bahwa di sini banyak ikan. Tetapi kakek belum dapat apa-apa."
Asrul mengangkat pancing itu dan di lihatnya kail itu tidak ada umpannya. "Ditungguin sampai berumur seratus tahun juga gak bakalan dapat ikan kalau memancing tidak memakai umpan."
"Kau bilang apa anak muda?" walaupun Asrul berkata pelan, kakek itu bisa mendengarnya dengan jelas. Panca indera kakek ini jauh lebih jelas walaupun usianya sudah ratusan tahun.
"Kakek harus menggunakan umpan untuk memancing ikan itu." Asrul menjawab dengan gugup, karena tidak menyangka ternyata kakek itu mendengar perkataannya yang dikira Asrul tidak mungkin didengar oleh kakek.
"Bukan begitu Asrul, engkau mengatakan kakek akan mendapatkan ikan setelah kakek berumur seratus tahun. Ketahuilah Asrul, umur kakek sekarang seratus enam puluh tahun. Mana ikannya?,"
Asrul tambah terkejut lagi ketika kakek itu mengatakan bahwa umurnya sudah seratus enam puluh tahun.
"Iya kakek, sekarang kakek mungkin akan mendapatkan ikan jika aku membantu kakek memancing." lalu Asrul menggali tanah menggunakan ranting dan mengambil seekor cacing lalu dipasangnya pada kail.
"Asrul, engkau berani mengorbankan makhluk lain demi mendapatkan seekor ikan? Apakah tindakanmu ini dapat di benarkan?"
Kakek itu menguji pengetahuan Asrul soal kehidupan di dunia.
Asrul menangkap alur pembicaraan kakek, dan menjawab dengan ringannya.
"Kakek, cacing termasuk dalam rantai makanan. Cacing di makan ikan, ikan di makan kakek, nanti setelah ajal menjemput, jasad kakek akan di makan cacing."
"Dari segi siklus kehidupan memang yang engkau katakan benar. Kakek tidak membicarakan soal siklus kehidupan. Kakek sedang bicara soal pengorbanan. Engkau akan menghadapi sebuah perjalanan yang persis dengan filosofi memancing. Jangan engkau korbankan yang lemah demi tercapainya tujuanmu."
Asrul mulai berfikir bahwa kakek ini hendak menyampaikan sebuah pesan melalui filosofi kehidupan. Lalu Asrul mulai menyimak apa yang akan dilakukan oleh kakek itu.
"Tolong beri tahu aku kakek, bagaimana cara menangkap ikan tanpa mengorbankan cacing."
Kakek itu mengambil stik pancing yang telah diberi cacing pada kailnya. Lalu cacing itu dilepaskan oleh kakek. Lalu kakek itu melemparkan sepotong roti ke air danau dan kakek itu melemparkan kail tanpa cacing. Dengan cepat pancing itu di tariknya dan ada seekor ikan yang tersangkut pada kail itu.
"Waah luar biasa kakek! Bagaimana bisa kakek melakukannya?" Asrul menjadi tertarik untuk bisa melakukan seperti yang telah di lakukan kakek itu.
"Semua sudah di tetapkan. Tinggal bagaimana caranya agar tidak salah jalan. Dan lagi, seperti yang telah engkau katakan. Jika kakek berumur seratus tahun maka kakek akan mendapatkan ikan. Setelah engkau mengatakan itu baru kakek mendapatkan ikan. Padahal sebelumnya kakek belum pernah mendapatkan ikan."
"yaah. Baru Asrul berniat untuk belajar kepada kakek untuk mendapatkan ikan. Ternyata kakek baru kali ini mendapatkannya."
"Asrul, kakek tau kok sebenarnya umurmu sekarang seratus dua puluh tahun. Engkau berada disini sebenarnya telah kakek nantikan."
Asrul terkejut bukan main dengan perkataan kakek itu. "Sebenarnya kakek siapa? Kenapa kakek mengetahui jati diri Asrul?"
"Kakek pemilik salinan kitab Al Hikam yang berada didalam tubuhmu. Engkau di takdirkan kembali ke usia sembilan belas karena misi yang telah gurumu berikan belum engkau selesaikan."
Asrul langsung tersungkur bersujud kepada kakek itu. Kini Asrul menemukan titik terang kenapa dia di beri kesempatan hidup kembali.
"Perkenalkan, nama kakek Taimiyah. Kakek mengenal gurumu. Bukankah Mbah Jena adalah gurumu? Mbah Jena adalah murid kakek satu-satunya."
"Ya kakek, memang benar guruku adalah Mbah Jena. Tetapi Mbah Jena telah menitipkan aku kepada Gus Mukhlas. Jadi sekarang guruku adalah Gus Mukhlas."
"Tepat sekali. Inilah tujuan dirimu kemari. Engkau akan melanjutkan misi kamu tetapi engkau berperan sebagai pengawal Gus Mukhlas. Kalian berdua harus menyelamatkan salinan Kitab Al-Hikam yang telah kakek simpan di suatu tempat. Kakek khawatir nanti Kitab Al-Hikam itu jatuh ke tangan orang yang salah. Engkau telah memusnahkan Kitab Al-Hikam itu pada kehidupan pertamamu. Itu bukanlah suatu keberhasilan. Kini pada kehidupan yang kedua engkau harus menyelamatkan Kitab Al-Hikam itu tanpa harus memusnahkannya, karena Kitab itu sangat penting untuk keseimbangan perputaran dunia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 698 Episodes
Comments