Mendengar ajakan dariku, untuk sesaat pria itu terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun, tak lama kemudian dia membuka mulutnya untuk bertanya sesuatu,
"Apakah itu tidak masalah?" Tanya dirinya terlihat khawatir akan sesuatu.
Tanpa basa-basi aku menggelengkan kepala, "Tidak… Bahkan aku yakin ibu pasti mengizinkan paman!" Jawabku mencoba untuk membujuknya.
Saat ini aku benar-benar berharap dia menerima ajakan dariku. Pasalnya ada sesuatu yang ingin ku pastikan, walaupun sebagian besar dari diriku juga merasakan perasaan iba dengan kondisinya saat ini.
"Apakah paman tidak menginginkannya?" Tanyaku merasa bosan setelah begitu lama menunggunya yang sedang merenung tanpa sebab.
Sungguh, suhu di luar ruangan terasa begitu dingin saat ini, dan sialnya pria itu malah memperlambat waktu untuk memikirkan hal-hal yang aku pun tidak mengetahuinya.
Bisa-bisa aku terkena hipotermia jika terus menunggunya seperti ini.
Bayangkan saja, mana mungkin ada seorang pembunuh di desa semiskin ini, yang bahkan pisau dapur pun sudah karatan. Ya, walaupun masih terdapat kemungkinan untuk hal itu bisa benar-benar terjadi.
Setelah beberapa saat terhanyut dalam renungan, pria itu mengangguk dengan tangan yang masih menutupi luka di lengan kirinya.
"Baiklah, maaf merepotkan…" Ucap dirinya dalam suara yang tenang.
Mendengar itu, aku tersenyum tipis, lalu kemudian menghampiri pria itu dengan langkah kecil.
"Tidak masalah, Paman!" Sahutku meyakinkan dirinya, "Sekarang mari kita pulang ke rumah!" Lanjut diriku kemudian kami berjalan beriringan menuju rumahku.
Jika boleh jujur, aku benar-benar merasa jijik dengan diriku sendiri yang berlagak seolah masih bocah belasan tahun. Padahal sudah jelas bahwasanya aku merupakan orang dewasa yang tidak sengaja masuk ke dalam raga anak ini.
Namun apalah daya, saat ini aku harus mulai beradaptasi dengan kehidupan yang baru. Walaupun banyak kekhawatiran menumpuk di hatiku, namun aku akan berjuang keras demi takdir yang lebih baik.
Setelah puluhan langkah kami lakukan, akhirnya kami pun tiba di rumahku yang kecil dengan tembok kayu yang syukurnya masih bisa bertahan.
"Akhirnya kita telah sampai, Paman!" Ucapku dengan senyuman lebar sambil menatap wajah pria itu.
Saat ini, aku bisa melihat ekspresi rumit dari wajah pria itu yang kini tengah memandangi rumahku dengan mata birunya.
Ya, mungkin saja dia merasa terkejut akan aura miskin yang terpancar dari rumahku ini. Namun, siapa peduli, untuk sekarang satu hal yang terpenting adalah membiarkannya beristirahat.
"Paman, kau bisa duduk di manapun yang kau suka. Tapi maaf, kami hanya memiliki kursi kayu yang sudah rapuh. Apa kau tidak keberatan untuk itu?" Tanyaku tampak membuyarkan lamunannya.
Dengan gestur canggung dia mengangguk dan berkata, "Y-ya, itu tidak masalah, lagipula saat ini aku hanya ingin beristirahat saja…"
Setelah mendengar itu, aku segera melesat menuju dapur untuk membawakannya teh hangat beserta beberapa peralatan medis.
Namun, tanganku yang kecil ini tak mungkin bisa membawa semua barang itu secara bersamaan. Sehingga dengan terpaksa, aku harus membawanya secara bergiliran.
Ketika semua keperluan telah disiapkan, aku berjalan kembali menuju ruangan tengah, sekaligus ruangan satu-satunya selain kamar dan dapur.
Ketika diriku melewati kamar yang mana terdapat Sylphy yang tengah tertidur lelap, aku memperlambat langkahku demi mengurangi bunyi yang akan keluar ketika lantai kayu ini berdecit.
Ketika sampai di ruang tengah, tampak pria itu tengah memandangi lukanya dengan tatapan tenang. Namun tak lama kemudian, perhatiannya teralihkan kepadaku yang sedang membawakannya teh hangat.
"Diminum Paman…" Ucapku sambil meletakkan gelas di meja, kemudian aku berbalik dan berjalan kembali menuju dapur.
***
Sementara itu, pria asing kini sedang melihat kepergian Azmiel yang kemudian menghilang di balik tembok.
Dia menghela nafas berat, lalu kemudian dirinya menyesap teh yang telah disajikan oleh Azmiel untuknya.
"... Aku baru saja mengetahui bahwa terdapat anak kecil di desa miskin ini," Gumamnya sambil meletakkan kembali gelasnya itu, "Namun, dilihat dari sikapnya yang ramah, mungkin anak itu tidak terlalu berbahaya seperti yang lainnya…" Lanjutnya dengan tenang.
Pria itu tampak sedang membahas sesuatu yang rumit, dan mungkin hanya dirinya saja yang memahami maksud dari ucapannya tersebut.
Setelah bergumam, pria itu kembali memandangi lukanya yang lumayan dalam. Lukanya tersebut terlihat seperti sebuah cakaran dari sesuatu yang besar dan berbahaya.
Sambil meringis, pria itu melebarkan luka tersebut dengan kedua jarinya. "Auch, ini lebih buruk dari yang kukira…" Ucapnya ketika melihat tulangnya berubah menjadi hitam.
Ketika dirinya sedang sibuk memandangi lukanya itu, Azmiel telah kembali bersama dengan peralatan medis yang seadanya.
Menyadari keberadaan Azmiel yang telah kembali, dengan cepat pria asing mengalihkan pandangannya bersamaan dengan sikapnya yang telah kembali menjadi tenang.
***
Cukup memakan waktu lama bagiku untuk membantu pria yang ternyata bernama Glenn itu untuk mengobati lukanya.
Namun semuanya terasa lebih mudah karena Glenn selalu diam ketika aku sedang mengobatinya.
Walaupun pada awalnya Glenn tidak ingin diobati olehku, mungkin karena dirinya ragu oleh kemampuanku, mengingat aku hanyalah bocah miskin yang masih berusia 11 Tahun.
Namun, setelah berdebat cukup panjang, akhirnya Glenn mengalah, dan menyerahkan segalanya kepadaku.
"Terimakasih, aku tidak menyangka kau begitu ahli dalam hal seperti ini…" Ucap Glenn sambil melihat tangannya yang kini telah dibalut oleh perban.
"Yah, itu tidak masalah. Walaupun hidupku seperti ini, aku tetap bisa melakukan hal basic seperti itu!" Jawabku membanggakan diri sambil membusungkan dada ke depan.
Sambil melihatku, Glenn terkekeh, "Kenapa Paman tertawa!? Mungkinkah Paman menertawakan ku!" Sergah diriku kembali bertingkah seperti bocah.
"Tidak, tidak! Hanya saja sesaat kau terlihat seperti anak kecil pada umumnya. Cukup menggemaskan."
Aah… Ternyata dibalik sikapnya yang tenang, Glenn menyimpan sesuatu yang unik. Tapi maaf Glenn, aku adalah pria dewasa yang tak pantas disebut menggemaskan seperti itu!
Ya, lupakan mengenai hal itu, sekarang aku ingin membahas luka Glenn yang terlihat sangat aneh.
Ketika aku meneteskan alkohol ke lukanya, sesaat aku melihat warna gelap, lebih gelap dari darah, yang tampak bersembunyi dibalik dagingnya.
Tentu saja dibalik daging pastinya terdapat tulang yang seharusnya berwarna putih bersih. Namun, mengapa ini bisa berwarna gelap pekat seperti itu?
Tak ingin pusing sendiri, pada akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada orangnya langsung,
"Oh ya, Paman Glenn. Aku ingin bertanya sesuatu mengenai luka Paman…" Ucapku tanpa ingin berbasa-basi.
"...?"
Glenn yang awalnya terlihat tenang, kini tampak sedikit melebarkan matanya. Reaksinya itu semakin memperkuat tebakan ku yang mungkin sedang disembunyikan olehnya.
"... Ah, apakah kau penasaran?" Tanya Glenn setelah mendapatkan kembali ketenangannya.
Tanpa mengatakan sepatah katapun, aku mengangguk kecil, kemudian dengan gestur nya Glenn memintaku untuk duduk disampingnya.
"Baiklah, aku akan menceritakannya atas dasar balas budi karena kau telah menolongku…" Ucap Glenn ketika diriku telah duduk disampingnya.
Setelah itu Glenn mengalihkan pandangannya ke arah langit malam, yang kebetulan saat ini kami sedang berada di teras rumah, Glenn mulai menceritakan pengalamannya mengenai asal-usul luka tersebut.
Sepanjang cerita, ekspresi ku terus berubah-ubah dengan perasaan yang ikut campur aduk. Entah mengapa aku merasakan kejanggalan dari setiap cerita yang dijelaskan oleh Glenn.
Tentu saja aku mempercayai ucapannya, namun karena mempercayainya, aku merasakan banyak kejanggalan yang terjadi. Padahal aku bisa mengingat jelas, bahwasanya cerita di dalam novel tidak pernah menyinggung mengenai hal ini
Ini sungguh membingungkan…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments