Aku masih terpaku sambil menatap wajahnya yang begitu cantik. Namun, hal itu harus terganggu oleh luka milikku yang berhasil membuat wajah pucat nya semakin memucat.
"Nak…!" Lirih khawatir ibuku sambil perlahan menghampiriku, "Apa yang telah terjadi padamu!?" Khawatir dia melanjutkan.
Mendapati pertanyaan seperti itu, aku hanya terdiam sambil melirik ke arah tangannya yang tengah menyentuh bagian pelipis kiri ku.
Tangannya begitu lembut, sehingga berhasil membuat mulutku tertutup rapat oleh kenyamanan yang diberikannya.
"Nak…" Ucapnya kembali sambil mengubah arah pandang ku untuk menghadap kepadanya, "Katakan pada ibu, apa yang telah terjadi padamu? Apakah kamu terlibat perkelahian!?" Tanya dirinya secara beruntun tanpa memberikanku pilihan lain selain menjawabnya.
"Emm… Ya, begitulah adanya…" Aku menjawab dengan suara rendah dan menunduk karena tak berani menatap wajahnya.
Ini adalah reaksi tak terduga. Walaupun jiwa dalam raga ini telah diganti olehku, namun respon tubuhnya masih sejalan dengan semestinya.
Sekarang aku bisa merasakan keresahan dan ketakutan yang Azmiel rasakan ketika melihat reaksi ibunya yang khawatir akan kondisinya.
"..." Mendengar jawabanku, dia yang awalnya terkejut, tampak kembali mengubah ekspresinya menjadi lembut disertai dengan senyuman tipis.
"Ah… Anak ibu telah berani berkelahi." Ucapnya tak terduga sambil menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya, "Tapi, lain kali Miel tidak boleh melakukan itu lagi. Sebab ada ibu yang akan khawatir dengan kondisimu…" Lanjutnya bersuara rendah.
Mendengar dan melihat reaksinya itu, aku hanya bisa terdiam kembali. Namun di dalam hatiku aku mulai menyimpan satu tujuan yaitu:
"Aku harus menyelamatkannya dari penyakit itu!"
***
Setelah mengompres luka ku dengan air hangat dan kain tipis, ibu berkata akan mengambil sesuatu di dapur, sehingga meninggalkanku sendirian di ruang tengah.
"Dia ibu yang baik…" Gumam diriku secara tidak sadar.
Namun jujur saja, kesan pertamaku mengenai dirinya berakhir sangat baik. Dan juga, aku sangat yakin bahwa orang-orang akan merasakan hal yang sama jika mereka berada di posisiku saat ini.
Sylphy, tokoh karakter yang akan memulai dan mengakhiri perannya pada satu chapter secara bersamaan. Chapter itu tak lain adalah chapter prolog yang merupakan bagian paling menarik dari novel ini.
Sylphy diceritakan akan mati okeh ganasnya penyakit yang perlahan memakan vitalitas kehidupannya. Namun, dalam pertengahan cerita terungkap bahwasanya Sylphy tidaklah sakit, melainkan dia terkena kutukan mematikan.
Kutukan itu berasal dari sesuatu yang belum terungkap hingga akhir novel ini. Namun aku sangat yakin bahwa kutukan tersebut memiliki sangkut pautnya dengan Azmiel.
Mari mengesampingkan hal itu.
Kutukan yang ku maksud mematikan itu ternyata memiliki sebuah penawar yang berupa potion. Barang tersebut akan dijual pada pelelangan di hari bulan purnama, sehingga aku tak boleh menyia-nyiakan.
Setelah menunggu beberapa saat, kini terlihat batang hidung Sylphy yang telah kembali dari dapur, dan saat ini ditangannya terdapat sebuah mangkuk kecil yang mengeluarkan asap-asap putih.
"Miel pasti lapar, jadi makanlah ini dulu, ya?" Ucap Sylphy sambil perlahan meletakkan mangkuk tersebut di hadapanku.
"Sup ayam? Darimana ibu mendapatkan ini?" Tanyaku kebingungan saat melihat makanan yang terbilang cukup mewah untuk kalangan miskin.
Mendengar pertanyaan ku, dia membalasnya dengan senyuman, namun kemudian dirinya menjawab, "Itu ibu dapatkan dari kepala desa, katanya dia mendapatkan bantuan dari pengunjung yang secara sengaja datang ke desa kita hanya untuk berbagi bahan makanan…" Jelasnya dengan tenang.
Mendengar penjelasannya, aku hanya bisa mengangguk kecil walaupun merasa kebingungan dengan maksud dari orang-orang baik itu.
Sup ayam yang Sylphy masak masih belum ku makan dikarenakan isi kepalaku yang terus mengingat-ingat mengenai situasi saat ini.
"Miel… Kenapa kamu masih belum memakannya, apa kamu tidak menyukai itu?" Tanya Sylphy khawatir sambil memandang lekat diriku.
Dengan cepat aku menggelengkan kepala atas pertanyaannya, dan segera aku menjawab, "Tidak, hanya saja Miel ingin mencium aroma masakan ibu lebih lama lagi…" Jawabku canggung karena terpaksa berbohong.
Tanpa menaruh kecurigaan lebih, dia tersenyum manis kemudian menjulurkan tangannya untuk mengelus pucuk kepala ku. Itu memang nyaman, namun terasa sedikit memalukan untuk pria dewasa sepertiku.
"Miel memang anak paling hebat dalam menyanjung ibu!" Ungkapnya disertai kasih sayang yang berhasil tersalurkan ke dalam hatiku.
Ya, tidak ada salahnya untuk menikmati momen seperti ini...
***
Malam harinya kami pun mulai beristirahat, namun berbeda dengan Sylphy yang sudah tertidur, aku justru memilih untuk keluar dari rumah dan mencari udara segar sambil melihat-lihat sekeliling desa.
"Ini terasa menenangkan..." Gumam diriku dalam kesendirian sambil melihat langit malam yang kini telah gelap.
Berjalan menyusuri jalan yang belum diaspal, aku menengok ke samping dan melihat bangunan-bangunan atau rumah yang tak layak untuk dihuni lagi.
Terdapat perasaan iba ketika melihat kondisi désa yang memprihatinkan. Namun, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah bertingkah layaknya anak kecil pada umumnya.
Belum saatnya aku menunjukkan jati diriku yang sebenarnya.
"Hmm?"
Ketika sedang berjalan dengan tenang, tiba-tiba saja terdengar suara erangan dari arah kanan yang merupakan sebuah tempat gelap yang langsung menyambung dengan hutan.
Sedikit mengernyit, aku berjalan ke arah tersebut untuk mencari tahu sumber suara itu. Walaupun terasa sedikit menakutkan, aku tetap memaksakan diri untuk memastikan kebenarannya.
Ketika jarak di antara kita sudah menipis, suara tersebut kembali terdengar, namun dengan frekuensi lebih tinggi.
"Ngghh..."
Suara tersebut terdengar seperti suara manusia, namun dalam nada yang rendah. Dengan begitu bisa disimpulkan bahwa ada seseorang yang tengah terluka hingga beristirahat di tempat gelap seperti ini.
"Halo..." Aku dengan sengaja membuat suara untuk memberitahukan kepadanya bahwa aku bukanlah seekor predator.
Setelah membuat suara, aku bisa melihat siluet manusia perlahan berjalan keluar dari kegelapan. Hanya dengan siluetnya, bisa terlihat postur tubuh dari orang tersebut yang terbilang cukup tinggi dengan bahu yang lebar, namun kali ini posturnya sedang dalam keadaan membungkuk sambil memegangi bahu bagian kanan.
"... Kau," Lirih orang tersebut yang kemudian menampakkan diri sepenuhnya, "Kau hanyalah seorang anak kecil?" Lanjutnya dalam ekspresi lega.
Orang itu adalah seorang pria yang kemungkinan masih berusia 20-an. Kulitnya putih, berambut putih dengan pupil berawarna biru laut.
Dia terlihat seperti perwujudan dari seorang tokoh utama dalam sebuah cerita novel. Sungguh tampan dan tampak elegan, ditambah dengan codet di sudut mulutnya yang membuat karismanya semakin bertambah.
Setelah merasa cukup, aku kembali dalam peran semula, "Ah, apa paman tidak apa-apa?" Ucapku dengan suara kekanakan sambil membuat gestur khawatir.
Melihat reaksi diriku, pria itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, "Tidak, Paman tidak dalam masalah. Hanya mendapati luka kecil dan kelelahan saja." Jawabnya mencoba untuk menutupi rasa sakitnya.
Walaupun akting ku telah diterima, tetap saja aku merasa tidak tega untuk mengabaikannya dalam kondisi seperti ini.
"Jika seperti itu, apakah paman ingin beristirahat sejenak di rumahku?" Usul ku dengan wajah polos.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments