Jangan membuang darah sembarangan, bila kau sedang masa haid maka jangan sesekali keluar pada malam hari, apalagi saat menjelang magrib. Dia mengincarmu, mengincar saat kau sedang kotor. Maka bersholawatlah atas nama nabimu. Tuhan melindungi umat-Nya yang mencintai nabi-Nya.
_____________
Pukul 18:40 menjelang azan Magrib, gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Vanesa, sedang berjalan keluar tanpa mempedulikan orang-orang yang sedang sibuk untuk mempersiapkan ibadah shalat atau mereka yang juga sibuk masuk ke dalam rumah secepatnya, agar tidak ke-magrib-an di jalan. Mitos berkembang hingga sekarang, apalagi sejak kejadian minggu lalu, ketika insiden kehilangan bayi di wilayah itu. Mereka percaya bahwa lewat pukul 4 sore, maka di situlah para pemangsa bayi berkeliaran. Seperti halnya yang dilakukan Vanesa, gadis itu juga keluar tanpa disadarinya. Berjalan tanpa tujuan, pandangannya kosong, hanya menatap ke depan. Menuruti setiap kemauan sang iblis. Tidak biasanya iblis yang merasukinya mencari mangsa dengan membawa tubuh lengkap gadis itu, apa rupanya yang sedang dipikirkan olehnya.
Arsa tersentak saat sedang membuka pintu kost-nya. Vanesa, gadis itu sudah ada di hadapannya, sedang tersenyum manis padanya.
"Mana bayi yang kamu janjikan itu?" tanya gadis itu tanpa ada basa-basi sama sekali.
Arsa tidak menjawab, hanya saja sikapnya menunjukkan bahwa ia sedang ingin gadis itu mengikuti langkahnya. Vanesa diam saja, ia memandang pemuda itu, yang ke luar dari kamar kost-nya dan mengarah ke kamar sebelahnya. Saat pintu terbuka, gadis itu menyerigai. Nampak taringnya mulai tumbuh memanjang. Ia lapar ketika melihat para ibu muda yang sedang hamil di sana. Saat gadis itu membungkus semua janin ke dalam bungkus plastik berwarna hitam gelap, saat itu pula suara azan berkumandang. Vanesa panik bukan main. Ia segera berlari meninggalkan mayat yang berserakan di tempat itu. Bersembunyi di dalam WC adalah hal yang biasa dilakukanya. Saat melihat toilet, yang ada dibenaknya adalah isinya, terlihat lezat baginya, tapi menjijikkan buat kita. Sembari menunggu azan Magrib, gadis itu tidak kuasa, ia meminum air di dalam kloset. Riuh suara di toilet membuat siapa saja yang ingin atau secara tidak sengaja mendengar, pasti ketakutan, seperti suara ular yang sedang memakan mangsanya.
Jam 3 sore tadi sebelum kejadian
Arsa pemuda itu mendengar bisikan di telinganya. Suara yang tidak asing baginya.
"Arsa aku lapar sayang ... aku haus, kamu tahu, kan mauku itu apa?" bisik suara itu.
Arsa tidak menjawab, tidak pula menolak keinginan suara itu. Ia meminta Anggara untuk pulang lebih dulu tanpa mengantarnya ke rumah seperti biasa yang mereka lakukan selama ini(selalu pulang bersama).
Pemuda itu berbelok ke kiri jalan di mana arah yang berlawanan dari kantornya berada. Di sana sudah ada ibu-ibu yang sedang menunggu kedatangannya. Mereka adalah ibu muda yang usia kandungannya paling tua adalah tiga bulan.
"Kami sudah menunggu dari tadi loh," keluh salah satu ibu muda yang berbadan sedikit kurus dengan mengenakan daster berwarna hitam, bermotif kupu-kupu.
"Kalau bukan karena, dapat bea lahiran geratis dan uang saku, mana kami mau berjemur begini. Seharian lagi!" timpal Ibu muda berbadan gemuk, berpakaian gamis warna coklat. Ekspresi-nya terlihat jengkel.
Ibu lain pun semua mengeluh sakit karena harus berdiri terlalu lama. Arsa hanya tersenyum dan meminta maaf. Ia meminta mereka masuk ke dalam mobil hitam yang sudah disiapkannya. Sebenarnya apa yang terjadi? Sebelumnya esok hari setelah kejadian Vanesa mendatanginya. Ia dibisikkan bahwa Arsa harus menyediakan tumbal untuknya, agar ia bisa bersamanya selamanya.
Malam Sebelum Kejadian
Pemuda berprofesi sebagai polisi itu sedang membasuh wajahnya di wastafel. Cermin yang dipajang di depannya dipandanginnya sembari menekan jerawatnya yang mulai tumbuh di sekitar pipi dan dagunya.
"Kok banyak jerawat sih, perasaan tadi gak ada?" Ia mendadak kesal dan mencubit keras-keras jerawat itu. "Aw!!
Sakit dodol!" umpatnya pada diri sendiri.
Arsa mengusap wajahnya yang sakit sembari meringis. Ia pandangi cermin lagi, tapi yang terlihat malah sebaliknya, wajah Vanesa begitu cantik di sana. Arsa kaget dan berbalik memandang ke arah belakangnya kemudian memandang cermin lagi. Bayangan Vanesa telah berganti menjadi dirinya.
"Oh, gila ini, pasti aku udah gila. Mana mungkin Vanesa ada di sini," gumamnya penuh dengan rasa heran.
"Apa yang kamu pikirkan sayang?" tanya sebuah suara tepat di bekangnya.
"Vanesa?!" Arsa berbalik untuk melihat gadis itu.
Angin kencang memasuki ruangan itu, pintu toilet terbuka dan tertutup sendiri. Tidak ada Vanesa, hanya hembusan angin yang kini menerpa wajahnya. Arsa terkesiap dan mencoba menetralkan jantungnya yang berdegup lebih
kencang dari biasanya.
"Gara-gara mengagumi perempuan itu, aku sampai segila ini," katanya.
Arsa kembali ke kamar tidurnya untuk istirahat. Tidak lupa ia menyingkap tirai jendela terlebih dahulu untuk melihat suasana di luar. "Van?!!" Arsa berteriak saat melihat gadis itu kini berada tepat di luar kamarnya sedang tersenyum manis sembari memetik bunga krisan.
Arsa segera berlari untuk mendatangi gadis itu, tapi setelah tiba gadis itu sudah tidak ada lagi. Hembusan angin kencang menerbangkan dedaunan dan debu. Arsa menutup wajahnya dengan sebelah tangan untuk melindungi wajahnya dari debu.
"Hey," Suara Vanesa.
Arsa seketika berbalik karena suara gadis itu tepat di belakangnya.
"Cari aku?" tanya Vanesa sembari mendekati Arsa yang sedang melamun. "Apa yang kamu pikirkan tentang aku? Apa yang kamu inginkan dariku?" Gadis itu mengusap wajah Arsa yang mulus tanpa kumis itu.
"Ti-tidak ada," jawab Arsa gugup.
"Bohong, semua lelaki itu pendusta ya ... tidak jujur," ucap Vanesa seraya berjalan memutari Arsa. "Apa aku cantik?" tanyanya.
"I-iya," jawab Arsa.
"Jawab yang tegas dong," goda Vanesa.
"Iya, kamu sangat cantik. Cantik sekali," kata Arsa penuh keyakinan.
Vanesa tersenyum sembari mengusap bibir Arsa. "Hihihi … kalau begitu gilalah kamu untukku," ucapnya sembari menjauhi Arsa dan menghilang.
"VANESA! VANESA!!" Arsa berteriak dan mencari cari gadis itu hingga dirinya lelah dan tak sadarkan diri.
****
TEPAT pada pukul 6 pagi Vanesa bangun dan mandi, kemudian berangkat ke Rumah sakit. Kegiatan rutin yang disebut pekerjaan itu membuatnya harus segera siap siaga bila diperlukan. Sesampainya di Rumah sakit ia dihadapkan oleh sesuatu yang paling dihindarinya, yaitu Kuntilanak yang sedang berjalan mengiringi seorang ibu hamil yang sedang mengecek keadaan kandungannya. Seperti tahu Kuntilanak itu menatap sinis pada Vanesa yang berjalan melewatinya. Vanesa tidak mau mengadu kekuatan lagi dengan bangasa jin itu. Baginya sudah cukup ia terlibat dalam persaingan antar sesama iblis.
"Vanesa sini!" panggil Dokter Radit.
Vanesa langsung mengalihkan perhatiannya pada pria berbadan tegap dan lumayan tampan itu. "Iya Dok," jawab Vanesa seraya berjalan lebih cepat.
"Tolong kau periksa ibu yang sedang berada di ruangan saya itu, saya sedang ada urusan lain," pintanya dengan wajah memelas sembari menyerahkan catatan pada gadis itu.
Vanesa menghela napas. "Oke deh," jawabnya enggan.
"Tolonglah Van, saya sedang sibuk sekali, kalau kamu perlu bantuan lain kali saya akan bantu." Radit menepuk lembut bahu gadis itu.
"Oke," jawab Vanesa pasrah.
Dari catatan data yang diberikan padanya adalah catatan perkembangan kehamilan. Makanya gadis itu enggan menerimanya, selain takut ia akan lepas kendali juga ternyata perempuan hamil itu yang tadi diiringi oleh penunggu janinnya.
"Astaga. Nasib sudah," keluhnya sembari menepuk jidatnya dengan catatan itu dan sekarang ia justru berulang kali
membenturkan kepalanya ke tembok. "Bodohnya kenapa kuterima. Gila!" Ia menyesali keputusannya sendiri.
Kriet. Vanesa membuka pintu ruangan Radit. Di sana sudah duduk manis seorang ibu muda yang ditafsir sudah menjalani usia kandungan empat bulan.
"Ah, kue enak sekali." Tanpa sadar Vanesa bergumam ketika melihat janin yang berada dalam kandungan ibu muda itu. "Astaga!" umpat gadis itu yang seketika sadar dari emosinya untuk melahap janin.
Vanesa segera duduk tepat di hadapannya, terlihat Kuntilanak itu sedang mengelus perut ibu muda itu. Sialan, dia sengaja memanasi aku! Vanesa berbicara dalam hati, tetapi di luar ia malah tersenyum dan membahas hal lain. "Nama Ibu di sini ... Alini ya?" tanya Vanesa.
"Iya Dok," jawab Alini.
"Saya Vanesa, dokter yang biasa mengontrol Ibu sekarang sedang ada urusan, makanya saya menggantikannya," ucapnya.
Alini mengangguk paham sembari mengusap perutnya. Wajah Alini tampak meringis seperti menahan nyeri.
"Kenapa, Bu?" tanya Vanesa. Vanesa tahu benar kalau penyakit yang dirasakan Alini adalah penyakit yang datang dari jin itu. Ia mencoba menyedot darah sang janin.
"Tidak tahu ini, rasanya nyeri mulai dari semalam," jawab Alini.
"Boleh saya pegang?" tanya Vanesa sembari menghampiri Alini.
Vanesa tidak menunggu jawaban, ia langsung menangkap tangan kuntilanak itu. Bagi yang tidak melihat akan memandang Vanesa hanya sekadar menepuk biasa perut Alini.
Kuntilanak itu terkesiap, matanya membesar dan wajahnya terlihat sedang murka. "Jangan ikut campur urusanku, cari mangsa lain. Ini buruanku!" kata Kuntilanak itu dengan suara serak dan besar.
Vanesa tidak menanggapi ia malah membimbing Alini untuk berbaring dan memeriksanya. Ia lebih fokus bekerja ketimbang yang lain-lain. Bahunya dicengkram dari belakang dan Vanesa tahu siapa pelakunya, tapi demi bersikap normal dan kesopanan, ia menahan rasa nyeri akibat kuku yang menembus bahunya.
"Silakan Ibu datang lagi minggu depan, obat dan yang lain silakan tebus di apotik ya, Bu," ucapnya dengan ramah.
"Baik, Bu." Alini segera ke luar dari ruangan itu.
Kuntilanak itu ingin mengejar mangsanya tapi dihalagi Vanesa. "Mau apa kamu?" tanya gadis itu.
"Menyingkir!" teriak Kuntilanak itu.
"Terus lukaku ini bagaimana?" tanya Vanesa dengan suara tegas.
"Salahmu sendiri. Kenapa menghalangiku," katanya.
Vanesa tersenyum mengejek, "Kamu sudah melukai rumahku, bagaimana aku tidak marah. Lagipula aku juga menginginkan janin itu," kata Iblis dalam diri Vanesa.
"Cari makananmu sendiri, jangan suka merebut makanan orang," tandasnya.
"Bagaimana kalau kamu yang jadi makananku, hihihi... bagaimana mau tidak?" tanya Vanesa dengan wajah berubah lebih menyeramkan.
"Huh. Ngaur! Kamu itu manusia mana mungkin menang melawan bangsa kami," ejek Kuntilanak itu.
"Yang kuat yang berkuasa, itu sudah ketentuannya bukan." Vanesa berjalan mengelilingi kuntilanak yang tampak
was-was akan gelagat tidak baik dari gadis itu. "Kamu pikir aku lemah, kau lihat minyak tubuhku bisa mendatangkan kesaktian, kekayaan dan kamu tahu, virusku berbahaya, kalian pasti pernah mendengar bahwa aku juga bisa menghidupkan orang mati. Hihihi... mana yang lebih kuat dariku, kita sama-sama perempuan, tapi aku lebih cantik darimu." Vanesa menjauh dan tertawa bangga.
"Biar saja!" Kuntilanak itu ingin pergi, tapi Vanesa segera menariknya dan menghempaskannya ke dinding.
Kuntilanak itu terhempas menembus tembok. "Sialan! Awas kubalas nanti dia!" sumpahnya saat ia terhempas dan ternyata sudah berada di parkiran.
Vanesa tertegun mengingat kejadian tadi. Ia merasa kesal pada kuyang itu yang sudah menguasainya tadi.
Bermaksud menghindari malah ia yang berbuat ulah duluan. Lagi-lagi gadis itu mengambil handpohone-nya
untuk mencari tahu cara mengeluarkan Kuyang Kalimantan Timur itu. Sebuah suku Dayak pedalaman yang sangat sakti dan sulit dimusnahkan. Tidak lama ia membenturkan kepalanya ke meja kerjanya. Merasa kesal karena tidak mendapat apa-apa dari pencariannya di internet.
***
Anggara segera menghubungi Vanesa, ternyata tidak begitu sulit baginya, tanpa harus menunggu, gadis itu selalu mengangkat teleponnya tepat pada saat dibutuhkan.
"Saya selalu siaga dan selalu ada saat Anda memerlukan bantuan saya" ucap Vanesa pada setiap orang yang selalu diberi nomor kontak olehnya, dan sekarang ucapan itu menjadi selogan yang melekat di setiap ada yang memerlukannya, seperti saat sekarang, ketika Anggara menghubunginya.
Anggara dapat menarik napas lega, karena sebentar lagi gadis itu akan ke tempat di mana Arsa sedang dirawat. Pemuda itu nampak menelongsorkan tubuhnya pada bangku tunggu rumah sakit. Ia menerawang jauh, hingga tanpa sadar tertidur. Rasa lelah akibat pikiran dan syok mendalam, membuatnya sangat mengantuk dan tanpa sadar tidak menyadari bahwa gadis yang ditunggunya telah duduk di sampingnya, sedang menatap ketampanan pemuda itu. Tampak Vanesa menikmati setiap lekukan wajah yang sempurna milik Anggara.
"Aku ingin mati rasanya," ucap gadis itu lirih setelah menyadari posisinya.
Vanesa tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun juga, apalagi sampai menikah. Itu sebabnya gadis itu tetap sendiri dan selalu sendiri. Apa yang ia pikirkan, kalau tahu aku ini? Batin gadis itu. Ia mendesah pasrah. Matanya memandang semu ke arah pintu, di mana Arsa sedang gelisah memanggil namanya. Pemuda itu seakan tahu bahwa Vanesa sedang di dekatnya.
Apa yang kamu pikirkan? Pemuda itu harus disingkirkan, harus!
Vanesa diam, ia menghela napas kemudian bersandar di kursi. Ia menatap lagi wajah Anggara kemudian tertawa simpul. Gadis itu mendengar, tetapi tidak ingin mengubris perkataan Kuyang tadi.
Cinta bisa membunuhmu, Vanesa! Cinta hanya akan menyusahkan kita.
Vanesa menegakkan kembali tubuhnya, gadis itu menghirup napas sadalam- dalamnya lalu menghembuskannya kuat-kuat. "Bisakah dia menjadi pengecualian?" tanya Vanesa lirih dalam desahan.
"Tidak!" teriak Kuyang itu. Ia memerlihatkan dirinya di hadapan Vanesa.
"Kenapa? Kaubunuh ayahku, ibuku. Sekarang dia dan barusan kamu menyakiti temannya! Apa kamu kurang puas, hah?!" Vanesa murka. Ia menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Matanya menyipit, memerah ingin menangis dan ada rasa sakit terlihat di wajahnya. "Kenapa?
Kuyang itu tidak berbicara, ia malah lenyap begitu saja. Kini yang terlihat hanya para perawat yang berjalan melakukan aktivitasnya masing-masing. Vanesa menyeka kedua matanya. Tersenyum saat ada yang lewat di hadapannya. Sebisa mungkin menetralkan jiwa, meneguhkan hati yang tersiksa. Ditatap lagi wajah Anggara yang terlihat damai. Ingin rasanya menyentuhnya, tetapi sungguh tak mampu. Seandainya mampu kuraih rembulan pasti kan kudapat kamu. Andai kautahu rasa ini apakah akan terbalas, dan akhirnya biarlah kupendem risalah ini hingga mati.
Vanesa bersandar di kursi kemudian menutup kedua matanya sejenak. Beberapa menit kemudian membuka karena merasakan sesuatu yang aneh. Darah berdesir, jantung terpompa lebih cepat dari biasanya.
"Vanesa! Vanesa!" panggil suara dari kamar Arsa. Suara sekarat yang memohon agar gadis itu mendatanginya.
Vanesa refleks memegang erat lengan Anggara. Pemuda itu tetap tidak bangun dan sepertinya tidak ada yang menyadari keanehan itu. Semakin suara itu memanggil dengan suara serak, semakin Vanesa mendekatkan diri pada Anggara. Diam, sunyi tiada suara lagi. Suasana menjadi tenang. Saat sadar akan perbuatannya ia segera panik dan menjauhi Anggara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
xixixi
aku jg baca tahun 2021:v
2021-10-21
1
Auria Stellary
ku baca tahun 2021:v
2021-10-21
1
May Maemunah
aku sedikit bingung
2021-04-06
1