TITISAN PUTRI KUYANG
Prolog Kelahiran yang dinanti sepasang suami istri keluarga Pak Riko, adalah hal yang paling dinanti saat ini. Bagaimana tidak sudah tiga puluh tahun mereka mendambakan seorang anak. Inilah akhirnya dan tiba saatnya mewariskan yang mereka miliki selama ini.
Suara tangisan bayi memenuhi isi rumah itu. Sang ayah yang sedari tadi mondar-mandir tidak karuan, akhirnya ia menghentikan langkah kakinya dan segera memandang pintu kamar yang terkunci dari dalam itu dengan penuh haru. Namun keharuan itu berganti jadi sambaran petir yang menusuk hati dan menghilangkan semua harapan selama ini.
Seorang dukun beranak keluar dengan berteriak ketakutan. "Kuyang! Kuyang! Anakmu dibawa kuyaang!"
"Ti-tidak! Kamu bohong, 'kan Bu? Tidak mungkin anakku hilang?" Riko masih berusaha menenangkan pikirannya.
"Tu-tuan!" Dukun beranak itu menuding di pojok ruangan.
Riko segera memandang arahannya dan betapa terkejutnya ia. Ada seorang wanita dengan kepala
serta usus yang bergelantungan dibawanya melayang. Kuyang itu menatap sekilas mereka berdua, kemudian segera melayang menembus dinding.
Uwe... uwe.... Suara bayi mengagetkan mereka berdua dari keterpanaannya. Riko dan dukun beranak itu segera berlari ke dapur dan mendapati bayi itu tergeletak di meja makan. Tubuhnya bersih tidak berdarah sama sekali. Diduga kuat Kuyang itu menjilatnya hingga bersih dan anehnya bayi itu dibiarkan hidup
begitu saja. Riko segera menggendong anaknya untuk menemui istrinya yang sedang beristirahat di kamar dan menidurkannya di samping ibunya. Keanehan terjadi tiba-tiba saja bayinya bisa membuka matanya dan bercahaya merah menyala.
----------------------------------------------------------------------
TITISAN PUTRI KUYANG
25 tahun kemudian
G A D I S berusia dua puluh lima tahun, cukup matang dengan bibir yang ranum dan pipi yang bulat seperti apel namun kecil dan mungil. Dengan rambut dicepol asal-asalan, berpakaian putih dan sedang memandang pasien yang sedang terbaring di ruang operasi dengan sedikit liar. Gadis cantik itu menelusuri setiap lekuk tubuh pasien itu dengan mata liarnya. Saat sebuah tangan menyentuhnya ia baru sadar akan keterpanaannya.
"Hey, Van, apa kita bisa memulai operasi ini?" tanya seorang pria bertubuh sedikit gemuk dan memakai kacamata.
"Tunggu! Saya keluar sebentar, udara di sini sedikit gerah," ujar Vanesa.
Gadis itu keluar dan segera menuju kamar kecil. Ia membasuh wajahnya dengan air sebanyak-banyaknya kemudian memandang pada cermin cukup lama.
"Aku merasakan hal yang sama seperti itu," gumamnya.
"Kenapa tidak kaunikmati saja dia?" Wajah di cermin mirip dengannya bertanya.
"Tidak! Aku bukan kamu!" teriak gadis itu.
"Hihihi ... mau tidak mau kau juga harus melakukannya, hihihi ...." Wajah di pantulan cermin itu berubah menjadi sesosok Kuyang berkepala buntung dengan jeroan yang menjuntai di lehernya.
Prang!! Suara kaca cermin pecah.
"Tidak lagi!" Vanesa segera keluar setelah memecahkan kaca cermin kamar kecil itu dengan tangannya.
Vanesa segera berlari ke ruangannya. Ia mengambil kotak P3K untuk merawat tangannya yang terluka
akibat pecahan kaca. Namun belum sempat ia menyeka darah, sebuah lidah terjulur panjang menjilati lukanya. Vanesa terkejut, ia terlonjak dan segera menghindar sembari menutupi lukanya.
"Pergi!" usirnya.
"Kenapa kaututupi luka itu Vanesa, Aku sangat lapar? Ingin makan," ucap Kuyang itu sembari mendekati Vanesa dengan cara melayang setinggi pinggang orang dewasa.
"Aku bukan makanan, bukan pula budakmu. Pergi jangan lagi merasukiku!" Vanesa segera mundur
dan ternyata ia tertubruk meja dan terjatuh.
Kuyang itu merendahkan terbangnya sehingga usus yang menjuntai terseret ke lantai dan menyisakan darah segar.
Vanesa mundur perlahan dan mencoba bangkit berdiri. "Mau apa kamu?!" Vanesa berteriak ketakutan.
"Vanesa kamu kenapa?" tanya sebuah suara yang Vanesa sudah akrab dengan suara itu.
"Kak!" Vanesa berteriak dan segera berlari keluar.
"Kamu kenapa, Van?" tanya Gina.
Vanesa memandang ke dalam ruangannya, tidak ada lagi iblis itu di sana. Kemudian ia memandang Gina perempuan bertubuh sintal yang sangat manis itu dengan tatapan terima kasih.
"Kamu kenapa Van, kok berteriak?" tanya Gina lagi seraya memandangi gadis itu dengan heran.
"Ah, it-itu ... tidak apa. Saya hanya terjatuh," jawab Vanesa gugup.
"Ya sudah, bukannya hari ini kamu ada operasi, kenapa lama di sini? Yang lain sudah menunggumu."
"Baik, saya akan ke sana," jawab Vanesa sembari mengambil baju operasi di kursinya.
°°*°°
Operasi dilakukan dengan tenang dan teliti. Sesekali Vanesa berkeringat, tetapi Anton asistennya selalu menyeka keringatnya.
"Tolong gunting bedah ukuran sedang," pinta Vanessa pada Anton.
Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu dengan sigap menyiapkan sepaket peralatan steril yang akan dipakai oleh Vanesa.
Gadi situ memilih sendiri gunting yang ingin ia gunakan. Dengan menghela napas dulu sebelum melakukan pengguntingan. Ia berusaha menetralkan gejolak rasa laparnya karena melihat darah segar yang kini berada di hadapannya.
"Apa bisa kita mulai Dokter Vanesa?" tanya Hariadi. Pemuda yang mengenakan kacamata bening dan berwajah tampan dengan kemilau kulit yang bersih terawat.
"Iya, kita lanjutkan," jawab gadis itu sembari mengenakan masker dan menggulung lengan bajunya ke atas untuk memudahkannya melihat dengan jelas.
"Kamu yakin, dengan memotong bagian ini tidak berbahaya untuk pasien?" tanya Anton ragu. Walaupun ia hanyalah asisten tapi sedikit banyaknya ia tahu soal operasi.
"Kalau begitu kau sajalah yang kerjakan." Vanesa merajuk. Ia bahkan membuka masker dan memberikannya pada Anton.
"Eh, bukan begitu maksud saya," jawab Anton kelabakan.
"Ini sebenarnya ada apa? Mau kita operasi atau kita bunuh saja pasien ini.
Kalian malah menekan kematian pasien begitu cepat," tegur Hariadi dengan nada tegas.
Vanesa melotot pada Anton sebelum merampas maskernya. "Sini!" ucapnya sinis.
Hariadi geleng-geleng kepala. Ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Vanesa yang tadinya haus darah akhirnya bisa fokus juga. Diam-diam ia juga berterimakasih pada Anton yang tadi sudah mengalihkan perhatiannya.
Setelah semua beres, Vanesa keluar dari ruang operasi dengan lega. Ia melakukan perenggangan otot tangan dan lehernya. Vanesa menyadari sesuatu dan tak sadar mengusap lehernya yang tergores sedikit. Gadis itu meraba-raba hingga ke seluruh lehernya.
"Ini pasti perbuatan iblis itu!" gumamnya perlahan.
Vanesa yakin Kuyang itu sudah merasukinya dan menyebabkan ia harus memutus kepala dari badannya. Sudah pernah berobat ke dukun dan ustad sekalipun, tapi tidak satu pun berhasil. Ada yang bilang ia memang terlahir sebagai Kuyang sejati. Tetapi menurut pengakuan kedua orang tuanya, ia bukan keturunan dari penganut ilmu sesat, tapi mengapa Kuyang itu malah memilihnya? Inilah yang jadi pertanyaan Vanesa sedari dulu. Sempat ingin bunuh diri tapi ia ingat Tuhan dan ingat orang tuanya. Menjadi dokter juga bukan kemauannya, hanya cita-cita ibunya yang mulia yang perlu diwujudkan. Ia tahu itu sulit bila harus berhadapan dengan darah dan ia pun tidak punya pilihan untuk membahagiakan mereka yang sudah berkorban merawatnya sedari kecil. Bagaimana menderitanya mereka ketika harus bolak-balik ke Rumah sakit, ke dukun, ke tabib. Hanya untuk membuat Vanesa diam dan mau makan. Orang tua mana yang tidak cemas melihat bayinya tidak makan dan minum dan kerjanya hanya menangis tiada hentinya? Itulah Vanesa sekarang gadis yang dulunya sewaktu bayi sempat dihampiri Kuyang dan telah terbiasa melihat arwah halus di dekatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
May
hlo
2022-03-18
1
Kang Mager
p
2021-11-17
1
NityShu
Aku mampir, Thor
Lanjutkan ceritanya💪😊
2021-11-07
1