Senyum Dua Bidadari
Judan mengunjungi rumah sakit sore hari ini. Ini sudah menjadi sebuah rutinitas baginya. Selain memeriksakan diri, dia juga ingin mengunjungi seseorang.
Pintu ruangan salah satu dokter yang menjadi sahabatnya, sudah mulai terlihat. Namun ada yang membuatnya menoleh ke arah lain. Mengalihkan pandangan pria ini dari pintu dokter yang ingin dikunjunginya. Seorang wanita berpakaian putih tengah melintas di lorong. Bola mata Judan tidak berhenti memandang. Karena terus saja di awasi, wanita itu menoleh. Tatapan mereka beradu.
"Tunggu!" panggil seseorang. Perempuan itu mengalihkan pandangan terlebih dahulu dari Judan karena panggilan seorang perawat. Judan mengerjapkan mata. Bola matanya mengikuti arah perempuan itu berada. Dia masih terus memandang ke arah perempuan yang terasa tidak asing di matanya.
Kenapa aku merasa pernah bertemu dengannya? batin Judan yang masih tetap merasa ia pernah bertemu dengan dokter itu di suatu tempat sebelum ini. Setelah melihat dengan seksama lagi ketika perempuan itu bicara dengan perawat, bibir Judan tersenyum miring. Aku benar. Aku pernah bertemu dengannya. Dia perempuan yang ada di bar itu. Perempuan yang tiba-tiba mendekatkan diri secara aneh padanya.
Tanpa banyak berpikir lagi, kaki Judan bersiap mendekat untuk mendekat. Menunggu waktu jeda mereka bicara karena tidak sopan jika menyela. Apalagi isi pembicaraan mereka terdengar penting.
Namun sungguh ketika dalam sekejap perempuan itu menghilang padahal ia hanya mengalihkan perhatian sejenak pada ponselnya.
Kemana dia? Judan kelimpungan. Tidak ada perempuan itu di lorong tadi. Rupanya perempuan itu sudah berjalan menjauh. Terlihat dari punggungnya yang sudah berada di ujung lorong. Perawat tadi juga sepertinya masuk ke dalam kamar pasien. Tidak mungkin dia memaksa masuk hanya untuk bertanya siapa wanita tadi. Kaki Judan terus menyusuri lorong mengejar perempuan itu.
"Dia harus aku temukan. Perempuan aneh yang mendekatkan diri padaku dan meminta tolong. Dia harus menepati janji untuk mengabulkan permintaanku karena sudah menolongnya," gumam Judan.
Bruk! Tanpa sengaja, karena terus saja fokus pada punggung perempuan itu, Judan menabrak seseorang.
"Oh, maaf," ujar Judan tanpa menoleh ke arah orang yang ditabraknya. Dia hendak bergegas mengejar perempuan itu lagi.
"Hei Judan," tegur seseorang seraya mencegahnya pergi. Fokusnya mencari perempuan itu langsung buyar mendengar ada seseorang menyebut namanya. Apalagi itu suara yang ia kenal. Judan menoleh cepat. Ternyata itu Gio, pria yang menjadi dokter pribadinya sekaligus sahabatnya.
"Ah, Gio."
"Kau ke sini untuk mencari ku bukan?" tanya Gio.
"Eh, itu ..." Judan kesulitan menjawab. Dia masih mengedarkan pandangan ke sekitar lorong rumah sakit berharap menemukan perempuan itu. Sayang, punggung perempuan itu tidak terlihat lagi. Entah belok ke kanan atau ke kiri. Atau bahkan mungkin masuk ke dalam salah satu kamar pasien di lorong ini.
Gio menaikkan alisnya menunggu jawaban Judan. Pria ini tampak kebingungan. Menoleh ke arah temannya, kemudian ke arah lorong secara bergantian. Gio melihat itu sedikit aneh.
"Hei, apa yang kau lakukan?" tegur Gio lagi.
Sial, umpat Judan dalam hati.
"Kau sedang mencari seseorang?" tanya Gio ikut mengedarkan pandangan ke arah lorong rumah sakit dengan tatapan heran. Judan melirik ke arah Gio yang ikut melakukan hal yang serupa dengan dirinya.
"Tidak," ujar Judan cepat.
"Benarkah? Aku lihat kamu terus saja melihat ke arah sana." Dagu Gio menunjuk ke arah lorong di mana sejak tadi menjadi pusat tatapan mata Judan.
"Aku datang untuk mencari mu. Aku mau ke ruangan mu, " ujar Judan mengakhiri pencariannya. Memutus kalimat Gio untuk menanyakan tentang siapa yang ia cari.
"Oh, ya? Apa kamu mulai lupa dimana ruangan ku sekarang?" cibir Gio yang merasa aneh Judan kelimpungan mencari ruangannya. Karena ini bukan pertama kalinya dia datang ke rumah sakit ini memeriksakan diri.
"Bukan begitu." Bibir Judan tersenyum. Pria ini sadar sepenuhnya kalau dia terlihat sangat aneh tadi. "Aku sedang kebingungan sejenak karena lelah. Ayo, kita ke ruangan mu sekarang. Obat penenang ku sudah habis. Aku ingin mendapatkannya lagi." Judan menggiring pria ini untuk menuju ke ruangannya.
"Baiklah. Ayo," ujar Gio. Judan membalikkan badan untuk kembali ke tempat tadi. Namun mata Judan masih melirik ke arah lorong, berharap bertemu wanita itu lagi.
Aku yakin bisa menemukan dia lagi. Karena dia dokter, pasti ia akan mudah di temukan di rumah sakit ini. Bersiaplah, perempuan. Aku akan menagih janjimu.
***
"Apa kamu masih merasa sakit kepala yang berlebihan?" tanya Gio sambil melihat ke arah layar komputer di depannya. Sementara itu, Judan berbaring di atas ranjang pemeriksaan.
"Ya." Mata Judan terpejam.
"Bukankah ini sudah tujuh tahun," kata Gio yang kembali mengingatkan waktu yang sudah berlalu setelah hari kematian itu.
"Ya, tapi untukku terasa masih kemarin Gio," desah Judan terasa sedih. Gio melirik ke arah ranjang. Pria yang masih muda darinya itu, masih memejamkan mata. Lalu Gio melihat ke arah layar komputer lagi.
Rasa sakit di kepala Judan akibat kematian kakaknya masih terasa. Kejadian itu masih teringat jelas di ingatannya. Tidak akan pernah hilang dan tetap membayangi dirinya. Itu membuat trauma dalam diri Judan.
"Tidurmu juga masih terganggu?" tanya Gio.
"Tentu. Justru di malam hari itu adalah waktu yang paling menyiksa," jawab Judan. Gio mengangguk. Dia sangat mengerti keadaan adik temannya ini. Kematian kakak yang sangat disayanginya membuatnya terpukul. Apalagi sebelumnya mereka sudah terpisah lama.
Gio melirik ke arah foto mereka berdua. Dimana ada dia dan Aryan, kakak Judan. Pria itu memilih pergi dari rumah ketika cintanya ditentang keluarganya. Dia memilih hidup dengan perempuan yang amat dicintainya.
"Aku akan menambah resep obat tidurmu Judan," kata Gio. Judan membuka mata. Pria ini lebih muda enam tahun dari Gio, karena dia adalah adik temannya. "Tapi aku harap, kamu bisa tidur tanpa obat penenang. Sangat tidak baik mengandalkan obat itu."
"Aku tahu, tapi aku terus terjaga sepanjang malam jika tidak mengonsumsi obat itu, Gio." Ini sebuah bantahan dari Judan. Gio tahu itu. Dia hanya menyarankan. Judan bangun dari ranjang dan duduk di kursi depan Gio. Bibir Gio bungkam mendengar bantahan itu.
Sungguh sulit bagi Judan ketika tahu kakak yang lama telah hilang, kemudian muncul dalam keadaan tidak sehat. Tidak lama setelah itu meninggalkan dirinya selama-lamanya.
Bingkai kecil yang ada di meja Gio membuat Judan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Itu foto Gio dan kakaknya.
"Apa kamu pikir, jika dia tidak menikah dengan perempuan itu, dia akan tetap hidup sampai sekarang?" tanya Judan dengan sorot mata sedih tetap memandang ke arah foto yang ada di tangannya.
"Ini jalan yang sudah ia pilih, Judan. Dia pasti ingin menikah dengan perempuan yang dia cintai," kata Gio bijak.
"Sepertinya begitu." Judan tersenyum pedih.
...___________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Yani Inaya Emerald Msi
selalu suka karya mu thor
2024-01-15
1
范妮·廉姆
ak mampir jgn lpa mampir di karya ak jg ya
2024-01-07
0
Diahayu Ayu
ak mlipir di lapak baru mu kakak😍
2023-10-18
2