AZZAM
“Mess..”
“Suture..”
Azzam terus memberikan alat medis yang diminta Arsy. Kakaknya itu sedang berlatih menjahit dengan menggunakan boneka yang dirobek bagian perutnya. Azzam tak henti memperhatikan Arsy yang masih menjahit boneka.
“Cut.”
“Cut.”
Azzam menggunting benang setelah sang kakak selesai menjahit. Wajah Arsy nampak puas melihat hasil jahitannya, walau belum terlalu rapih, dan waktu yang dihabiskan cukup lama, namun gadis itu sudah merasa puas.
“Emang kak Arsy mau jadi dokter bedah?” tanya Azzam.
“Belum tahu juga. Tapi kayanya ngga deh. Kakak ngga cukup kuat mental untuk jadi dokter bedah.”
“Terus ngapain kak Arsy belajar beginian?”
“Dokter umum itu harus siap dengan semua keadaan. Apalagi kalau ditugaskan di daerah terpencil. Pasien datang dengan luka terbuka, kemungkinannya besar. Makanya kakak mau sedikit-sedikit belajar juga.”
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan Azzam. Arsy kemudian menyalakan laptopnya. Dia membuka gambar-gambar peralatan medis yang sering digunakan di rumah sakit maupun ruang operasi. Gadis itu menerangkan apa saja fungsi dari peralatan tersebut. Dengan serius, Azzam menyimak semuanya.
“Kamu udah bisa RJP?’
“Udah, yang waktu itu kakak ajarin.”
“Coba lagi. Tuh pake boneka aja.”
Azzam mengambil boneka teddy bear berukuran kecil, lalu memposisikannya seperti berbaring. Dia menyatukan kedua tangannya, kemudian menaruh di atas dada boneka tersebut. Dengan perlahan dia mulai memompanya. Arsy memperhatikan apa yang dilakunan sang adik. Beberapa kali dia membenarkan posisi tangan adiknya.
“Bagus, kamu udah lancar sekarang. Pasti latihan itu berguna buat kamu di lapangan nanti.”
“Iya, kak.”
“Kamu beneran mau jadi taruna?”
“Kakak udah berapa kali nanya itu? Kan aku udah lulus ujian, udah daftar ulang aja. Lusa aku berangkat ke Yogya. Masih kurang jelas, kak?” Azzam terkekeh setelahnya.
“Jadi abdi negara, khususnya TNI itu ngga mudah, Zam. Kamu harus punya mental yang kuat dan tekad baja. Kehidupan di asrama ngga semudah dan seenak saat kamu di sini. Kamu juga harus menanggalkan nama besar Hikmat. Begitu kamu masuk ke sana, kamu hanyalah taruna baru yang harus tunduk pada sistem hierarki.”
“Iya, kak. Aku tahu, kok. Aku juga tahu kalau jalanku ngga akan mudah. In Syaa Allah aku udah siap dengan segala konsekuensinya. Kakak doakan aja aku, mudah-mudahan aku bisa menyelesaikan kuliah dengan benar dan aku bisa jadi pilot pesawat tempur, seperti yang aku impikan.”
“Aamiin.. udah pasti, kakak akan selalu doain kamu. Kakak pasti bakalan kangen banget sama kamu.”
Azzam memeluk kakak perempuannya ini. Sebentar lagi dia akan meninggalkan kota kelahirannnya, meninggalkan keluarganya, demi mencapai cita-citanya sebagai pilot pesawat tempur sekaligus abdi negara. Sebuah keputusan yang tidak mudah, dan sempat mendapat tentangan dari mama, KiJo dan kedua neneknya. Namun dukungan Abi dan Kenzie, membuatnya semakin membulatkan tekadnya.
“Azzam!” terdengar suara Nara memanggil namanya.
“Iya, ma.”
“Ada temanmu, nih.”
Azzam segera bangun dari duduknya, kemudian keluar dari kamar. Dengan langkah cepat, dituruninya anak tangga. Tangan Nara mengarah pada ruang tamu. Di sana tamunya duduk menunggu.
“Sora,” panggil Azzam.
Seorang gadis cantik mengenakan hijab berwarna merah muda langsung berdiri ketika Azzam mendekatinya. Soraya adalah teman Azzam sejak mereka berada di sekolah menengah pertama, hingga mereka masuk ke sekolah menengah atas yang sama. Sekarang mereka tidak akan satu lembaga pendidikan lagi, karena Azzam memilih mengikuti pendidikan angkatan udara di Yogyakarta.
“Tumben ke sini, ada apa?”
“Lusa kamu berangkat ke Yogya?”
“Iya.”
“Aku ke sini mau ajak kamu jalan. Anggap aja perpisahan sebelum kamu ke Yogya.”
“Ehmm.. boleh. Kamu mau kemana?”
“Enaknya kemana?”
“Ke More and Most Coffee aja, gimana? Kalau udah masuk asrama, ngga bakalan bisa hangout lagi di café.”
“Boleh.”
“Kamu ke sini naik apa?”
“Tadi diantar bang Fikri.”
“Bentar kau ganti baju dulu.”
Dengan cepat Azzam kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dia tidak mungkin menolak ajakan Soraya. Gadis itu adalah satu-satunya teman berjenis kelamin perempuan. Selama ini dia hanya bergaul dengan teman laki-laki saja. Sedang untuk Soraya adalah penecualian.
Di matanya, Soraya adalah gadis baik yang tidak pernah melakukan hal aneh. Dia juga senantiasa menjaga auratnya dan juga tidak pernah membiarkan pria menyentuhnya, walau hanya kulit tangannya saja.
Tanpa Azzam sadari, diam-diam Soraya memendam perasaan padanya. Hanya saja gadis itu tidak berani mengungkapkan perasaannya. Dia hanya bisa mengagumi dalam diam saja. Baginya, berteman dengan Azzam, dan pria itu bersikap baik padanya, itu sudah cukup. Soraya tidak berani berharap lebih pada lelaki itu.
Mendengar kabar Azzam akan menempuh pendidikan sebagai taruna angkata udara, tentu saja membuat Soraya sedih. Dia tidak bisa lagi bertemu dengan pemuda itu lagi. Tapi Soraya juga tidak punya hak untuk melarang. Anggap saja ini sebagai penguji perasaannya. Apakah cintanya pada Azzam akan bertahan lama, atau akan hilang seiring dengan waktu.
“Ayo..”
Kedatangan Azzam membuyarkan lamunan Soraya. Untuk sesaat gadis itu terpana melihat ketampanan pemuda di depannya. Azzam mengenakan kaon oblong lengan pendek yang dilapisi sweater berhoodie berwarna abu muda. Kakinya terbungkus celana jeans warna hitam. Di mata Soraya, penampilan Azzam tidak pernah ada cacatnya.
Azzam mengajak Soraya menuju garasi. Dia meminjam mobil milik mamanya untuk pergi bersama Soraya. Setelah memakai sabuk pengamannya, pemuda itu mulai menjalankan kendaraannya. Sesekali Soraya mencuri lihat pada Azzam, yang tengah berkonsentrasi dengan kemudinya. Tujuan mereka adalah More and Most Coffee yang ada di daerah Dago atas.
🌻🌻🌻
Suasana More and Most Coffee sudah ramai didatangi pengunjung. Sebagian besar yang datang adalah kawula muda. Mereka senang menghabiskan waktu di café ini sambil menikmati makanan dan minuman yang disediakan. Fasilitas yang disediakan café ini, bukan hanya wifi saja. Tapi ada beberapa permainan lain seperti football table, ring basket, hokey game table dan shoot the zombie.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Azzam.
“Aku mau vanila latte aja sama triple chocolate.”
“Ada lagi?” tanya pelayan yang mencatat pesanan mereka.
“Caramel Machiato sama cheese cake,” lanjut Azzam.
Setelah mencatat pesanan, pelayan tersebut segera meninggalkan meja yang ditempati Azzam dan Soraya. Mata Azzam melihat sekeliling café. Kemudian pandangannya terhenti pada mesin permainan shoot the zombie yang kosong.
“Mau main itu?” tawar Azzam sambil menunjuk pada mesin permainan yang ada di dekat mereka.
“Boleh.”
Sambil menunggu pesanan mereka selesai, keduanya segera menuju mesin permainan shoot the zombie. Terlebih dulu, Azzam mengisi kartu permainan di kasir, kemudian menggesekkannya ke tempat kartu yang ada di mesin permainan. Masing-masing dari mereka memegang senjata yang akan digunakan untuk menembak zombie yang ada di layar di depan mereka.
Azzam terus membidikkan senjata di tangannya pada zombie yang mendekat padanya. Sesekali terdengar teriakan Soraya ketika ada zombie yang mendekatinya. Beberapa kali Azzam membantunya membunuh zombie, namun karena banyaknya zombie yang mengepung, pria itu kesulitan juga. Soraya harus menyerah ketika karakter yang dipilihnya mati tergigit oleh zombie.
Kini hanya Azzam yang berjuang sendirian melawan para zombie tersebut. Pria itu berhasil melewati level satu dengan aman. Namun langkahnya harus terhenti di level tiga saja. Keduanya segera kembali ke meja. Di sana pesanan mereka sudah siap.
“Seru banget itu permainannya. Deg-degan juga, berasa dikejar zombie beneran,” cerocos Soraya sambil menyeruput minumannya.
“Bikin penasaran. Sayang cuma bisa sampai level 3.”
“Itu ada berapa level sih?”
“10 kalau ngga salah.”
“Pasti levelnya tambah naik, tambah susah.”
“Pastinya.”
Azzam menyeruput macchiato miliknya. Matanya kembali memandangi sekeliling café. Ternyata banyak pengunjung yang datang berpasangan, termasuk dirinya dan Soraya.
“Kamu rencananya mau ambil korps apa nanti?”
“Pesawat tempur.”
“Wah keren banget, Zam. Mudah-mudahan apa yang kamu inginkan bisa tercapai, ya.”
“Aamiin.. kamu sendiri gimana? Mau ambil jurusan apa?”
“Aku mau ambil keguruan, PGSD tepatnya.”
“Sukses ya. Aku yakin, kamu bakalan jadi guru yang baik. Yang sabar ya kalau ngajar anak SD.”
“In Syaa Allah. Tapi kalau muridnya lempeng kaya kamu, ngga jamin juga.”
“Hahaha.. ada-ada aja kamu.”
Setelah menikmati minuman dan camilan, Azzam mengajak Soraya untuk pulang. Waktu juga sudah hampir jam sembilan malam. Pria itu mengantarkan Soraya sampai di kediamannya. Rumah milik keluarga Soraya nampak sepi.
“Rumah kamu sepi banget. Udah pada tidur?”
“Papa sama mama lagi nengok kak Bila di Bekasi. Bang Fikri kayanya belum pulang.”
“Ooh..”
“Makasih ya, Zam. Aku harap kamu betah selama di asrama. Belajar yang benar, dan semoga cita-cita kamu sebagai pilot pesawat tempur tercapai.”
“Aamiin.. kamu juga. Semoga kamu bisa jadi guru yang baik. Yang bisa mendidik generasi penerus bangsa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”
“Aamiin.. kalau kamu pulang ke Bandung, kabar-kabari ya. Biar kita bisa hangout bareng lagi.”
“Ok..”
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Soraya segera keluar dari mobil yang dikemudikan Azzam. Dia melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam rumah. Dari balik gorden jendela, dia melihat kendaraan roda empat yang membawanya pulang tadi bergerak meninggalkan kediamannya.
“Bye, Zam.. semoga kita bisa bertemu lagi. Dan saat kita bertemu nanti, aku harap di hatimu sudah ada perasaan untukku.”
🌻🌻🌻
Haiii... Azzam sudah hadir membawa kisahnya. Jangan lupa like, komen dan rate bintang 5 nya ya😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
ˢ⍣⃟ₛ ƈٱMѻՇˢ
waduuuh baru nunguuul asha dah dapat saingan 🤣🤣🤣🤣, sabar ya shaaa...... 🤣🤣🤣🤣
2023-09-01
27
Noora Iyyah
i'm back setelah 2 kali baca KPA sm NR. cari karya mamake yg lain
2024-07-14
1
reza indrayana
Ngikutin....👍🏻👍👍🏻😘😘😘💙💙💛💙💙😘😘😘
2024-01-14
2