Masa lalu yang indah..

Perpustakaan itu begitu sunyi sehingga Stella bisa merasakan kulitnya bergetar karena semua suara tertahan yang ingin ia keluarkan. Dia melirik dan melihat Lidia, dengan mata merah dan menguap, membungkuk di depan buku pelajaran biologinya.

Dia melihat kembali catatan Sejarah dan menghela nafas. Dia menyelesaikan makalahnya selama satu jam dan pergi ke tinjauan ujian, tetapi ternyata itu membuatnya bosan lebih dari apa pun.

“Stella, bisa stop gak sih?” Lidia mendengus, kesal dan memelototi sahabatnya.

Stella menatap tangannya karena terkejut. Dia segera mengangkat ibu jarinya dari atas pena tinta yang tanpa sadar dia klik dan menatap temannya dengan pandangan meminta maaf.

“Sorry Lid, gue cuma bosen.” Dia berkata dan kemudian meringis ketika pustakawan yang lewat memberinya tatapan jijik dan menyuruhnya diam.

"Serius? Gak ada orang lain di sini!” Dia membentak.

“Perpustakaan akan tutup sepuluh menit lagi.” Kata pustakawan mengingatkan sambil menyipitkan matanya.

"Kayaknya kita ini murid yang paling gak disukai sama dia deh.” Stella berbisik kepada Lidia yang memutar matanya sambil tersenyum.

“Mungkin itu karena Lu hampir robohin seluruh rak buku bulan lalu.”

“Gue kesandung waktu itu!” Stiles tergagap, pipinya memerah karena malu. Jelas bukan salah satu momen terbaiknya. 

“Udahlah, pergi yuk?”

Lidia menghela nafas dan mengangguk. Dia menutup buku pelajarannya dan mengumpulkan buku-buku dan bahan-bahan yang telah dia gunakan dari perpustakaan. Melemparnya begitu saja ke sebelah meja mereka, dia menoleh ke Stella. 

"Udah malem, kayaknya gue udah gak bakal bisa menyerap lagi tentang biologi malam ini. Atau malam apa pun.”

Dia tampak sedih dan hal itu meningkatkan sikap protektif Stella terhadap temannya.

“Hei, Lu bakal lulus percaya deh.”

“Stel, gue harus dapet nilai bagus biar bisa jadi dokter hewan. Gak tau kenapa, kayaknya nih tahun sulit banget buat gue.”

Dia menghela napas frustrasi dan mengusap rambut hitamnya. Stella memperhatikan lingkaran hitam di bawah matanya dan betapa lelahnya Lidia.

“Apa ini ada hubungannya sama drama keluarganya Dani lagi?” Stella bertanya dengan ragu-ragu.

Lidia tidak segera menjawab dan hanya menghela nafas.

"Mungkin. Pokoknya gue harus ngerjain tugas ini dengan baik, tapi susah banget buat konsen tau gak lu. Dan gue berharap gue punya separuh otak lu.” Lidia berkata tetapi terlihat sedikit lebih bahagia dibandingkan beberapa menit sebelumnya. 

"Kalau bisa gitu kan gue bisa lulus ujian ini dengan gemilang.”

"Yah..." Stella mengangkat bahunya tetapi sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, telepon Lidia mulai berdering.

Pustakawan itu membanting buku-buku yang telah dia periksa ke mejanya dengan tatapan tajam.

“Heii, bisa diam tidak? ini perpustakaan.”

Stella menyindir ketika mereka melewatinya. Lidia mengerang ketika dia menjawab teleponnya dan menarik temannya.

Stella tahu itu Dani tanpa Lidia perlu menyebutkan namanya. Dia bisa mengetahuinya dari wajah sahabatnya, dan itu membuatnya sedikit sakit.

Dia bahagia untuk mereka berdua, dan dia tahu itu. Mereka cocok untuk satu sama lain.

Itu hanya membuatnya merindukan satu-satunya orang yang membuatnya merasakan penampilan Lidia saat ini.

“Oke, sampai jumpa. I love you." Lidia berkata sambil menutup telepon. Dia melihat ke arah Stella sambil meletakkan ponselnya.

“Dani bakal balik buat tugas akhirnya dan pengen ketemu malam ini…” Dia tampak malu dan canggung.

“Bagus, sana pergi temuin Dani.”

“Tapi… Stell.”

"Apa?" Stella bertanya, pipinya memerah karena malu. Saat-saat seperti inilah yang membuat Stella menyesal memberi tahu Lidia tentang cintanya yang tak berbalas…atau…yah, orang yang berbagi ciuman di malam wisuda…tapi itu terjadi dua tahun lalu.

“Stella…”

“Gue baik-baik saja, Lid. Itu udah lama banget. Adrian pergi dan it's Ok. Dia pantas keluar dari kota ini sama seperti kita. Gue cuma perlu lupain dia.”

“Gak, bukan itu yang pengen gue bilang.” Lidia berkata, tampak bingung.

“Lu udah telpon dia?”

"GAK LAH. Itu bakal ngehancurin seluruh konsep 'lupain dia'.” kata Stella. 

“Lu butuh tumpangan gak buat ke Dani?”

“Gak, dia udah ada di pojokan cafe. Kenapa lu gak gabung aja sih sama kita?” Lidia bertanya, masih terlihat ragu untuk pergi.

“Walaupun gue suka sama Dani, tapi sorry gue gak mau jadi obat nyamuk.” Dia menepuk punggung Lidia dan mengangguk agar dia pergi.

“Kayaknya gue bakal pulang ke asrama dan langsung tepar.”

“Ok, sampai jumpa besok.” Lidia berkata, masih menatap Stella dengan tatapan tidak yakin.

“Udah sana Lid..” Stiles tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Yaa Dani udah beneran nunggu.” Ketika Lidia akhirnya mengangguk dan pergi, Stella menghela napas.

Dia menghargai kepedulian Lidia terhadap kesepiannya, atau kekeraskepalaannya karena tidak bisa melepaskan Adrian dan menjadi teman yang baik. Tapi sekarang, dia hanya ingin diam.

Dia memperhatikan hanya ada satu mobil tersisa selain mobil tuanya di tempat parkir dan melihat kembali ke perpustakaan. Dia tidak melihat orang lain disekitarnya. Dia melompat ke dalam mobil dan kemudian mengerang pelan saat mesin mati.

“Ayolah, jangan malam ini.” Dia mencoba lagi dan lagi. Tidak ada apa-apa.

Dia menghela nafas lalu keluar dari mobil, membuka kap mesin, dan melihat sekeliling. Tidak ada asap yang keluar, sepertinya tidak ada yang salah.

"Butuh bantuan? Kok sendirian?"

Stella melompat, mengumpat pada suara tak terduga itu. Ketika dia berbalik, dia sejenak terpana melihat betapa tampannya pria yang berdiri di depannya. Butuh beberapa saat, tetapi dia menyadari bahwa dia mengenalinya. Namanya samar, tapi dia ada kelas psikologi bersamanya.

“Belajar larut malam, kamu sendiri?”

Pria itu tertawa, mengangguk.

“Ya, kayaknya gue kelebihan belajar, karena sekarang otak gue berasa panas.”

"Eh sorry, gak apa-apa kan kalau nyebutnya Lu Gue?"

Pria itu ragu-ragu.

"Eh.. Ya. Gak papa, gue juga lebih nyaman gini sih."

Dia menunjuk ke mobil Stella.

"Mau gue cek in gak? Bokap gue mekanik, mungkin bisa tau apa yang salah sama mobilnya.”

Stiles mengalihkan pandangannya ke mobil lalu mengangkat bahu. Dia tidak akan rugi apa-apa.

"Boleh, Gue udah berusaha lakuin perbaikan, cuma akhir-akhir ini dompet gue lagi gak ngehasilin duit.”

Stella menutup mulutnya saat dia melihat pria itu mendekati mobil. Kenapa dia menceritakan semua ini pada orang asing?

"Ok, gue ngerti." Pria itu berkata, suaranya teredam saat kepalanya berada di bawah kap mesin. 

“Mobil tahun berapa ini?”

“88.” Kata Stella sambil berkedip dan berusaha menahan kenangan tentang ibunya.

"Seriusan?" Pria itu berbalik, menyeringai pada Stella yang sedikit bingung melihat betapa menakjubkannya pria ini.

“Gue bahkan kaget ini masih bisa jalan. Jadi ini mobil pertama donk?”

“Sebenarnya, itu adalah mobil pertama ibu gue yang kemudian berubah menjadi mobil pertama gue” Stella menjelaskan, tanpa sadar menggaruk bagian belakang lehernya.

"Keren." Dia berkata dengan senyum yang sama.

Stella berpikir pria ini harus mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan senyuman seperti itu.

 “Ngomong-ngomong, baterainya habis, dan nama gue Chris.”

“Oh ya Chris!” Kata Stella sambil mengangguk.

“Gue tahu huruf depannya C.”

Chris tertawa. "Dan kamu Stella?”

"Ya. dari kelas Psikologi.”

“Nama yang gak terlalu sulit buat dilupain.” kata Chris.

“Itu karena mirip pengharum mobil dan fakta bahwa semua orang mungkin membenci keberanian gue di sana.” Stella berkata, bingung kenapa mudah berbicara dengan pria ini.

Tapi dia jujur, dia tahu teman-teman sekelasnya yang lain merasa kesal karena dia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan di depan kelas.

“Jujur aja, mungkin bahkan profesornya benci.”

Chris menggelengkan kepalanya. “Gue gak benci kok, itu mengesankan malah.”

Stella berhenti. "Mengesankan? tidak mengganggu, kompulsif, tidak menentu?”

Alis Chris berkerut dan dia melipat tangannya di depan dada. Stella merasakan sentakan kesedihan karena familiarnya ekspresi dan sikap itu. Itu mengingatkannya pada Adrian.

“Mungkin juga menambahkan hal yang menyedihkan ke dalam daftar hidup gue” Stella bergumam.

“Lu bukan salah satu dari hal-hal menyedihkan.” Chris berkata, dan dia terdengar khawatir.

Stella melirik ke arahnya, merasa malu karena berbicara terlalu banyak.

"Maaf. Ya seperti yang lu tau ini udah mau liburan dan tugas akhir yang numpuk… banyak hal yang terjadi. Gue gak bermaksud buat mencurahkan semuanya sama orang baru kenal.” 

Stella menghela nafas dan mengusap matanya. Dia sangat lelah dan hanya ingin kembali ke asrama dan tidur.

"Ya it's Ok." Chris mengangguk.

Dia menunjuk ke mobil lain yang sepi di tempat parkir. “Gue punya beberapa kabel jumper, jadi gue akan coba sambungin.”

Stella mengangguk dan memperhatikan saat dia melakukannya, memasang kabel dari baterainya ke mobil Stella. 

"Coba sekarang." Stella memutar kunci dan lega mendengar deru mesin.

“Terima kasih, Chris.” kata Stella sambil melangkah keluar dari mobil.

 “Gue bakal pastiin dapet baterai baru sebelum pulang.”

"Bagus." Chris mengangguk.

“Dan omong-omong, menurut gue kecerdasan lu gak mengganggu, kompulsif, atau tidak menentu. Menurut gue itu luar biasa.”

“Yah, itu baru.” Stella berkata, senyumannya menembus kabut sedih malam itu.

“Dan biasanya hanya disebut sok tahu dan cenderung mengganggu orang lain.”

“Menurut gue orang yang sok tahu itu seksi. Jadi." Chris mengangkat bahu dan tersenyum.

Stella berkedip padanya. Apakah dia baru saja merayunya?

“Lu tinggal di asrama?”

“Ya, sama temen.” kata Stella. Dia memainkan kunci di tangannya dan mengangguk ke mobil. 

"Yang mana gue juga harus cepet balik. Badan gue kayak teriak buat jatuh ke tempat tidur dan tidur sampai tugas akhir Sejarah nanti.”

“Ok, senang akhirnya bisa berbicara dengan orang di kelas.” kata Chris sambil mengedipkan mata.

“Pastiin buat ganti baterai sebelum perjalanan jauh. Lu gak mau terdampar di mana pun kan.” Dia melambai ketika dia masuk ke mobilnya dan Stella mengawasinya pergi.

Merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi, dia masuk ke dalam mobil dan pergi ke asrama.

*

“Stel?”

Stella bangkit dari tempat tidur dan melihat sekeliling.

"Apa?"

Lidia tertawa ketika dia masuk ke kamar. 

“Hei, gimana tadi malem?”

“Uh… Ok… baterai mobilnya mati dan gimana gue bisa dapet duit buat bayar, hanya Tuhan yang tahu. Kemudian gue bertemu dengan seorang pria yang sangat seksi dan sulit dijangkau dari kelas psikologi, dan dia muncul entah darimana dan sejenak gue pikir bakal nyerang gue.” Stella mengoceh, menyeka kantuk dari matanya.

"Seriusan?" Lidia berkata sambil nyengir.

“Jadi, lu ngasih nomor telepon lu gak?”

"Kenapa?"

"Kenapa? Apa maksudnya kenapa?” Lidia bertanya sambil mengangkat alis.

“Gue bahkan gak tau dia lagi ngerayu gue Lid, dan apa lu lewatin bagian di mana gue berkata dia sangat seksi dan tidak mungkin tercapai? Karena itulah dua kata yang harus jadi fokus saat ini.”

Lidia memutar matanya. “Lu tuh gak menghargai diri sendiri."

"Lu bakal temuin dia hari ini, kan?”

Stella melihat jam dan tersentak.

"Sialan! Gue telat!" Dia membuka selimutnya dan berlari ke kamar mandi, sambil memaki-maki Lidia yang sedang tertawa.

“Gue bakal nemuin dia lebih cepat dari yang kita duga.”

“Bagus, minta nomor teleponnya kali ini!” Lidia berteriak ketika dia berjalan keluar untuk membuat kopi.

Empat puluh menit kemudian, Stella berlari ke kelas dan duduk di kursi terdekat yang tersedia. Ia menghela nafas panjang dan berusaha tetap tenang, ia berhasil tepat waktu meski harus berlari kesini. Dia hampir tidak mendengarkan profesor memberi mereka obrolan 'jangan curang dan selamat berlibur' saat dia membagikan tugas akhir.

Stella berkedip dan melihat sekeliling. Dia melihat Chris melihat kertasnya, fokus dan memaksa dirinya untuk fokus pada ujiannya sendiri. Terkadang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Mengunyah bibirnya, dia menjawab halaman pertama, lalu halaman berikutnya dan berikutnya. Dia merasa lega setelah selesai dan menyerahkannya.

Saat dia keluar kelas, dia mendengar suara Lidia menyuruhnya untuk mendapatkan nomor telepon Chris. Dia tahu temannya bermaksud baik dan dia ingin Stella bahagia. Tempatkan dirinya di luar sana. Tapi itu sulit dan menakutkan, dan bagaimana mungkin Chris bisa tertarik padanya?

"Hai!"

Stella berhenti, berbalik untuk melihat Chris berlari.

“Hei, udah selesai ujiannya?”

“Ya, dan ujian akhir semester gue yang terakhir.” Chris berkata, satu tangan di saku jeans dan satu tangan lain mengamankan tas bukunya.

“Gue masih punya tiga lagi.” Stella mengerang.

“Selamat Natal kalo gitu.” Dia mengangguk dan pergi ketika suara Lidia kembali terdengar di kepalanya. Meringis, dan tiba-tiba Stella yang gugup berbalik.

“Hei…uh…Gue mau nanya, apakah…” Sial, bagaimana orang bisa melakukan ini?

“Um, maksudnya.. gue tahu maksud lu tadi malam. Um.”

Chris menyeringai dan tampak seperti berusaha menahan tawa. Dia tampak sangat terhibur.

“Gue yakin lu udah terbiasa diajak kencan sama cewek.” Stella akhirnya berkata tanpa berpikir, bingung. Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya. Satu-satunya ciumannya adalah dengan pria yang dicintainya, dan mereka berdua sedang mabuk. Ini adalah kejadian yang tidak aman, dan dia merasa seperti sedang mengujinya, hal yang tidak perlu.

“Gue yakin lu gak membutuhkan seseorang seperti gue dalam hiduplu… jadi uh, gue cuma mau bilang…”

“Stella, hei, its Ok.” Kata Chris, senyuman jatuh dari bibirnya dan ekspresi kekhawatiran yang sama seperti tadi malam muncul. 

“Jangan merendahkan diri lu, lu tuh cantik. Gue udah lama pengen ngajak kencan sejak awal semester.”

"Hah?" Stella bertanya, terkejut. Dia berkedip lagi lalu menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"

Chris tampak semakin khawatir. “Karena kamu lucu, pintar, dan imut.”

Stella tetap diam yang bahkan mengejutkannya. Dia pasti berada di perairan yang tidak aman. Tidak ada seorang pun yang pernah mengatakan hal seperti ini padanya, apalagi tentang dia. Ini sungguh tidak nyata, dia seperti ingin mencubit dirinya sendiri hanya untuk memastikan ini bukan semacam mimpi demam.

“Dan tadi gue lari karena gue mau kasih ini.” Chris berkata, dan Stella terkejut melihatnya tampak gugup dan sedikit malu saat dia mengulurkan selembar kertas yang terlipat.

Stella mengambilnya dan membukanya untuk melihat nomor telepon. "Wow." Seorang pria tampan dan Hot memberikan Stella, nomor teleponnya.

“Jangan merasa gak enak buat hubungin gue.“

"Gue cuma mikir, mungkin nyoba buat langkah awal buat pertemanan kita.”

Stella mengangguk, masih sedikit terkejut dan mulut ternganga.

“Butuh tumpangan gak?”

Sekali lagi, Stella mengangguk, dan Chris tersenyum.

Apa yang terjadi?

Beberapa menit setelah perjalanan dengan mobil, Stella menyadari bahwa dia tidak mengatakan apa pun kecuali wow karena Chris telah memberinya nomor telepon dan betapa tidak adilnya hal itu bagi Chris.

Dia menjilat bibirnya yang kering dan menelan ludahnya dengan susah payah. “Gue bakal ngehubungin lu.”

"Apa?" Chris bertanya sambil melirik.

“Nomor teleponnya, gue bakal ngehubungin lu.” Stella mengulangi. Sekarang kedengarannya sangat canggung dan dia menggigit bibir memikirkan semua kemungkinan yang bisa dia katakan untuk memecah kesunyian. Namun, Chris tertawa dan tampak lega.

"Cool."

"Ya."

Keduanya diam sampai mereka saling memandang dan mulai tertawa. Ini terasa menyenangkan, Stella harus mengakuinya. Hanya bersama seseorang yang menganggapnya manis dan mudah diajak bicara. Siapa yang melihatnya tidak hanya pintar, tapi cerdas. Itu berbeda.

"Oh! Gue suka lagu ini." seru Stella sambil memutar lagu Natal yang dinyanyikan Justin Bieber dengan keras. Chris mengangkat alisnya dan memandang ke arah Stella yang memberinya tatapan tidak percaya. 

"Oh, jangan bilang lu salah satu dari orang-orang itu!”

“Salah satu dari orang-orang apa?”

“Orang-orang yang ngaku benci musik Natal dan menilai orang lain yang membencinya.” kata Stella.

“Yah, bukannya saat ini lu menilai gue karena gak suka?”

Stella terdiam lalu tertawa. "Kayaknya gitu deh. Yah, Gue suka. Gue bisa dengerin lagu-lagu kek gini sepanjang tahun!”

Chris menggelengkan kepalanya, tertawa, dan terus mengemudi hingga dia tiba di alamat yang diberikan Stella kepadanya.

“Selamat bersenang-senang di rumah, Stel. Mungkin kita bisa tetap berhubungan selama liburan dan terhubung sampe kita berdua balik ke kampus?”

"Ya. i like that." kata Stella.

Dia memperhatikan bahwa Chris tidak pernah meminta nomor teleponnya, jadi dia tahu bahwa bola ada di tangannya. Dia menyaksikan untuk kedua kalinya pada hari itu ketika Chris pergi sambil tersenyum.

"Bagus."

Stella melompat, berbalik untuk melihat Lidia dan Dani.

 “Oh jadi lu nguntit gue sekarang, trus coba menjalankan kehidupan cinta gue?”

“Jalankan kehidupan cinta lu? Apa sih yang gue lewatin?” Dani bertanya, alisnya terangkat ke arah pacarnya.

“Stella bertemu dengan seorang kesatria berbaju zirah tadi malam dan sekarang dia mengantarnya pulang.” Lidia berkata, menikmati setiap detiknya.

Stella menyipitkan matanya.

 “Gue harap lu minta nomer teleponnya sekarang.”

Stella mengangkat selembar kertas itu. “Dan sebagai informasi, dia yang ngasih ke gue.”

Lidia hanya nyengir dan Dani tampak geli di antara keduanya.

“Yah, Lidia sama gue harus belajar besok. mau gabung bareng kita dan memberi tahu tentang situasi hot boy Anda yang mulia Stella?”

“Meskipun kedengarannya menggoda, banyak hal yang harus gue pelajari sendiri.”

“Ya, dan mengirim pesan.” Lidia bergumam, berteriak ketika Stella mengambil batu untuk dilemparkan ke arahnya.

*

Tugas akhir telah selesai. Stella merasa dia bisa bernapas lebih lega. Chris dan dia sedang melakukan percakapan terbaik yang pernah dia lakukan sejak lama. Bukan bermaksud menghina sahabatnya, namun akhir-akhir ini topik pembicaraan lebih banyak tertuju pada Dani dan keluarganya. Senang rasanya mengobrol tentang film, serial, aktor, buku favorit, dan apa pun yang dibicarakan Stella.

Chris membuatnya merasa begitu dilihat dan didengar dan itu hampir membuat dia kewalahan. Stella tidak pernah memusatkan perhatian seseorang padanya. Atau seseorang yang benar-benar ingin mengetahui segala hal yang menjadikannya dirinya. Itu menyanjung sekaligus menakutkan.

Dia tersenyum ketika mendengar teleponnya berdering dan membuka pesan itu tepat ketika pintu berdengung. Stella melihat jam. Lidia masih memiliki satu jam tersisa untuk tugasnya dan kemudian berencana menjemput Stella bersama temannya Boy dan Dani.

Ponselnya berbunyi lagi dan dia membuka pesannya.

'Jangan marah.'

Adalah yang pertama dan paling tidak menyenangkan.

'Aku punya sesuatu untukmu.'

Tunggu..

Sejak kapan Chris berganti memanggil 'Aku dan Kamu'.

Stella melihat pesan itu dan kemudian berjalan ke pintu. Sebuah paket tergeletak di trotoar dan ditandai untuknya. Dia tidak mengharapkan pengiriman apa pun, jadi ini pasti yang disinggung oleh Chris juga. Dia mengambilnya dan menyadari itu berat dan berjalan kembali ke asrama. Dia bersyukur mereka tinggal di lantai dasar karena dia membawa paket tersebut dan menghindari siswa lain yang tinggal di sana.

Dia membuka kotak itu dan menatap. Itu adalah aki mobil. Itu adalah aki mobil.

"Apa-apaan." Stella berbisik. Mengapa Chris melakukan itu? Dia pasti mengeluarkan uang ekstra untuk mencari baterai sesuai umur mobil tua ibunya.

Dia mengangkat teleponnya dan menekan nomornya.

“Jadi…apa kamu marah?” Chris bertanya, terdengar tidak yakin dan ragu-ragu.

“Gak…tapi kenapa kamu lakuin ini? Aku akan berhasil dapet uang pas liburan. Aku gak mau kamu abisin uang sebanyak ini untukku.” Stella berkata, sambil memelintir kaosnya dengan satu tangan dan menggenggam telepon erat-erat dengan tangan lainnya.

Ok, kenapa dia jadi mengikuti Crhis memanggil Aku kamu, apa yang terjadi?

“Gak banyak kok; ayahku seorang mekanik, inget? Dia punya bagian yang tergeletak sepanjang waktu dan banyak jual kendaraan tua. Aku cuma minta bantuan.” Chris menjelaskan.

"Tapi kenapa?" Stella bertanya, bingung. Sungguh liar baginya bahwa seseorang begitu peduli dengan begitu cepat.

“Karena kamu berharga, Stel, dan aku ingin memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Naik bus gak aman dan aku gak tahu. Anggap aja ini sebagai hadiah Natal awal buat cewek cantik yang sangat menyukai musik.”

Stella tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Terserahlah, itu artinya aku belum mati di dalamnya.”

Saat dia dan Chris bertengkar soal musik Natal, Stella melepaskan kegelisahannya dan membiarkan kehangatan seseorang yang melakukan sesuatu yang baik untuknya menetap di perutnya. Ini bagus. Dia tidak bisa menyangkal hal itu. Dan rasanya menyenangkan berbicara dengan Chris, menyenangkan dan mudah, dan terasa begitu alami.

Mungkin memang memang demikian adanya. Lihatlah Lidia dan Dani. Sejak hari pertama Lidia tergila-gila padanya dan Dani tergila-gila padanya. Mungkin memang seharusnya begitu. Dan tidak merindukan seseorang yang tidak bisa atau tidak mau merasakannya kembali.

“Terima kasih Chris.” Stella berkata ketika ada jeda dalam percakapan. 

"Tidak hanya untuk baterainya, tapi untuk menjadikan Natal ini sedikit lebih istimewa.”

“Sama-sama, Stel. Maksudku seperti apa yang aku bilang sebelumnya. Kamu berharga. "

Stella mengangguk, tapi dia masih tidak percaya.

*

​“Ini makanan yang enak.” Kata Barry sambil mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut putrinya.

Dia tertawa ketika Stella mengeluarkan suara antara meremehkan dan terkejut.

“Ayah tidak tahu apa yang akan ayah lakuin kalau kamu gak pulang buat masak makan malam Natal.”

“Ya, yah, jangan khawatir. Stella selalu bisa diandalkan.” Stella berkata sambil tersenyum pada ayahnya.

Dia dan ayahnya memiliki tradisi masing-masing saat Natal. Yang mereka ikuti sampai ke surat itu. Memastikan bahwa mereka melakukan ini membuat Claudia ibunya tetap hidup untuk mereka berdua.

Stella dan ayahnya akan bangun dan membuat pancake kayu manis dan vanila. Stiles tidak lagi kuliah tentang kolesterol selama liburan, lalu segelas besar coklat panas karamel, lalu mereka menonton It's A Wonderful Life. Stella akan memulai makan malam sekitar pukul dua dan kemudian mereka akan membuka hadiah dan makan sekitar pukul lima. Itu sama setiap tahun, dan suatu kenyamanan setiap tahun.

“Dia akan sangat bangga padamu, Stella.” Kata Barry, seolah dia bisa membaca pikiran putrinya. “Dan aku sangat bangga padamu.”

“Aku tahu ayah.” kata Stella.

“Ayah rasa belum cukup mengatakannya, tapi memang benar.” Dia menarik putrinya untuk dipeluk, senang ketika Stella membalasnya, dengan sepenuh hati.

 “Nah, apa yang diceritakan Melissa kepadaku tentang seorang pemuda bernama Chris?”

Stella mengerang dari bahu ayahnya. "Ayah."

"Apa?" Barry menarik diri, ekspresi puas di wajahnya. “Apa ayah tidak boleh penasaran siapa yang cukup beruntung untuk menarik perhatian anak kesayangan ayah?”

Stella memutar matanya dan menggelengkan kepalanya.

“Aku akan membunuh Lidia.”

Barry tertawa, tapi melipat tangannya. Dia tidak akan membiarkan topik pembicaraannya hilang begitu saja.

"Jadi?"

“Kami baru bertemu dua minggu lalu dan kami berbicara. Itu aja." Stella berkata sambil mengangkat bahunya. Barry mengalah, menyadari itu adalah salah satu jurus pertahanan Stella. Dia merasa tidak nyaman membicarakan anak laki-laki ini, dan Barry mengira, dia tidak bisa menyalahkannya jika itu terjadi secepat itu.

“Oke, ayah tidak akan membahasnya. Tapi jangan berpikir jika dia tetap berada di dalam foto sampai kelulusan, ayah akan melepaskannya sekarang.” Barry memperingatkan, Stella menyeringai dan membiarkan bahunya terjatuh.

*

“Lidia! Gue harap lu tau kalo lu bakal mati ditangan gue!.” Stella berteriak kasar saat dia masuk ke rumah Lidia.

Melissa ibu Lidia tertawa kemudian memeluknya dan mencium pipinya. Saat dia meletakkan dagunya di bahunya, Stella menatap sahabatnya dan mengucapkan Dead Girl Walking.

Lidia tidak tampak malu atau malu, hanya menyeringai pada Stella.

“Jadi…ada rencana untuk Malam Tahun Baru malam ini?” Melissa bertanya sambil menjauh, menatap Stella penuh pengertian. Karena dia tahu bahwa Stella dan Lidia sedang menuju ke cafe bar bersama teman-teman mereka, dia berasumsi dia memberi isyarat tentang Chris.

“Gak lebih dari itu tante, Lidia dan Dani mungkin akan saling memeluk sepanjang malam dan menghilang sekitar pukul 12:01 buat bener-bener rayain Tahun Baru.” Stella berkata, seringai di wajahnya saat dia melihat Lidia memerah dan ibunya memberinya tatapan tajam.

Dia masih menertawakan Lidia saat mereka masuk ke cafe. Melissa tidak kenal lelah dalam rentetan pembicaraan tentang hubungan yang aman, dan dia sebaiknya bersikap aman dan apa yang akan dia lakukan jika dia membuat Lidia hamil dan seterusnya.

Ya Sahabatnya sangat marah dalam perjalanan ke cafe favorit mereka, tetapi Stella mengingatkannya bahwa dia hanya membalas budi.

“Apa yang lu lakuin tuh lebih buruk.” Lidia berkata, matanya menyipit saat dia mencari Dani dan Boy.

“Jauh lebih buruk!.”

Mereka bertengkar sampai ke meja kosong dan duduk. Stella meletakkan ponselnya di atas meja dan mengabaikan getarannya.

“Terus kenapa lu ngasih tau ibu lu tentang Chris?” Stella balas membentak.

“Gak tau, gue cuma seneng akhirnya lu mau ngomong sama seseorang… move on.” Lidia berkata, terlihat jujur ​​dan sedikit malu. 

"Lu pantas buat bahagia."

Stella menghela nafas, semua kekesalannya pada sahabatnya menghilang. “Sorry, kayaknya gue ngambil satu langkah terlalu jauh dengan seluruh urusan Tahun Baru.”

Lidia mengangguk tetapi bahunya tetap terbentur. “Kita baik-baik aja, tapi bisa gak lu periksa hp geter terus tuh, bikin gue gila.”

Stella menatap ponselnya, sedikit terkejut. Dia lupa memeriksanya lebih awal. Faktanya, dia sangat sibuk sepanjang hari sehingga dia hampir tidak memeriksa teleponnya. Matanya membelalak ketika dia melihat hampir tiga puluh pesan tak terjawab dan dua panggilan. Semua dari Chris.

"Ada yang salah?" Lidia bertanya, prihatin melihat raut wajah Stella.

“Um, gak ada apa-apa.” Stella menggeleng, dan mengembuskan napas yang ditahannya.

“Cuma dari Chris yang belum dibaca. Mungkin dia khawatir.”

Dia membuka pesannya, sebagian besar berisi tentang kelas yang mereka rencanakan untuk diambil, Malam Tahun Baru, dan yang terakhir hanya berkata, lihat ke atas.

Stella melakukannya dan merasakan mulutnya ternganga ketika Chris berdiri di ambang pintu. Dia tampak malu dan sedikit tidak yakin.

“Chris ada di sini.” Stella berkata, kata-katanya terlontar bahkan sebelum dia sadar apa yang dia katakan.

"Hah?" Lidia mendongak dan mengikuti garis pandang Stella.

 “Oh, gimana dia bisa tau lu ada disini? Dimana lu tinggal?"

"Gue yang bilang." Stella mengangkat bahu.

"Oh. Dan lu minta buat dateng?” Lidia bertanya, sesuatu dalam nadanya membuat Stella mengalihkan pandangannya dari Chris ke Lidia.

"Gak, emangnya kenapa? Mungkin dia mau kasih surprise ke gue.” Stella berkata, sedikit tegang.

“Ya, tapi apa itu gak aneh?” Lidia bertanya, nadanya membuat Stella kesal.

“Lu kan yang dorong gue buat minta nomernya, dan seneng gue udah move on!” Dia mendengus.

Lidia tampak bingung tetapi mengangguk. “Ya, gue cuma mikir itu akan lebih banyak tentang ngobrol dan semacamnya. Tapi lu benar. Maksud gue, cuma pengen lu bahagia dan move on. Dan itu gak aneh… Dani dan gue sering nongkrong bareng sejak awal.”

“Ya…” kata Stella, matanya kembali menatap Chris, dan dia melambai dan berdiri. Dia mengangguk lagi. Itu tidak aneh. Dia mungkin merasa sedikit tertekan atau cemas, tetapi itu hanya karena masih terasa aneh jika seseorang berusaha keras demi dia. Itu saja. "Bentar ya."

"Hai." Stiles berkata sambil tersenyum ketika dia menghampiri Chris dan menariknya ke dalam cafe dan menjauh dari pintu. “Ini kejutan.”

“Apakah aku ganggu rencana kamu?” Chris bertanya sambil menggigit bibirnya. 

"Aku bolak-balik nanya apa aku bisa datang tapi aku benaran pengen ngasih surprise buat kamu.”

“Gak kok gak, ini keren.” kata Stella sambil tersenyum.

“Aku seneng kamu ada di sini.”

"Beneran?" Chris bertanya sambil nyengir.

“Bagus, aku mau ngasih hadiah Natal.”

“Tapi kamu kan udah ngasih, serius, Chris beliin aku baterainya aja udah lebih dari cukup.” kata Stella sambil menelan ludahnya dengan susah payah.

“Ini bukan sesuatu yang saya beli, ini adalah sesuatu yang saya buat.” Kata Chris sambil mengeluarkan tas.

Stella mengambilnya dan melihat ke dalam. Dia mengeluarkan kanvas kecil di dalamnya dan menatap. Itu adalah gambar padang rumput, titik-titik bercahaya berserakan di seluruh rumput. Di tengah lapangan ada tiga orang perempuan dan tiga orang anak. Itu adalah adegan favoritnya dari A Wrinkle in Time.

“Gimana kamu…” Stiles mendapati dia tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya, jadi dia hanya menatap Chris.

“Kamu pernah bilang di kelas bahwa A Wrinkle in Time adalah buku favorit kamu dan adegan ini selalu menjadi favoritmu. Jadi aku baca buku itu dan coba gambarin buat kamu” Chris terdengar seperti sedang mengoceh, dan itu lucu. Kegugupannya terhadap hal indah yang telah dia lakukan, ciptakan, buat, dan dengarkan untuk Stella.

“Ini adalah hal terbaik yang pernah dilakukan siapa pun ke aku.” Stella berbisik.

“Aku bahkan gak tahu harus ngomong apa.”

Dia bingung bagaimana seseorang bisa melakukan ini untuknya atau cukup peduli untuk melakukan itu untuknya hanya dalam waktu dua minggu. Tapi mungkin itu sudah lebih lama bagi Chris. Dia jelas sudah mendengarkan lebih lama.

“Kamu ingat aku ngomong hal ini? Itu udah lama banget. ” kata Stella sambil menenangkan diri. Tiba-tiba musik keras, asap memenuhi oksigen, dan cahaya redup menerpa dirinya.

Oh ya, dia masih di cafe bar. Saat itu Malam Tahun Baru, dan orang-orang membanjiri sekelilingnya.

“Ya, aku selalu dengerin apa yang kamu bilang, Stel.” kata Chris sambil tersenyum.

“Apakah kamu menungguku di perpustakaan?” Stella bertanya tiba-tiba. Matanya membelalak. Dia tidak bermaksud menanyakannya secara blak-blakan, tapi sekarang sepertinya masuk akal. Chris jelas tertarik padanya lebih lama dari malam itu.

"Mungkin." Chris mengangguk; dia tampak sedikit berhati-hati sekarang. Stella tidak bisa menyalahkannya; pertanyaan itu terdengar menuduh.

“Tetapi sumpah, aku gak rencanain kok. kamu ada di sana dan aku nyoba beraniin diri buat ngasih nomor telepon aku. Aku takut dan kemudian takdir mengambil alih.”

Stella mengangguk, mungkin takdir mengambil alih.

Mungkin dia perlu melepaskannya dan menyerah pada keajaiban apa pun yang terjadi di sini malam ini. Semakin mudah dia mengabaikan segala keengganan saat dia berbicara dengan Chris. Dan lukisan itu.

“Kamu ingin bertemu Lidia dan teman-temanku yang lain secara resmi?” Stella bertanya sambil nyengir. Chris mengangguk, dengan antusias dan bergandengan tangan mereka berjalan kembali ke meja tempat Lidia, Dani, Boy, dan yang lainnya telah tiba.

TBC..

...****************...

PERINGATAN:

Ok, cerita ini memang alurnya lambat dengan penggambaran kejadian di masa lalu dan masa sekarang.

Semoga yang baca gak pusing. hehe..

Terpopuler

Comments

Sagara Sanosuke

Sagara Sanosuke

Ending yang mantap. 👏

2023-08-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!