Sihir api.
Ayah menyarankan agar aku tidak datang ke kelas untuk sementara hingga energi sihirku stabil. Karna api itu terus membara setiap dua jam sekali. Datang ke Ayah juga tidak memberikan jawaban bagus mengenai siapa aku. Karna Ayah berkata kalau Bunda sama sepertiku. Rupa fisiknya seperti Iblis, tapi inti energinya hampir sama besar seperti Dewa.
Aku menghabiskan waktuku di ruang rahasia lagi. Akhir pekan ini ku habiskan dengan mempelajari sihir Api. Tapi di luar dugaanku, ini lebih sulit di banding saat aku mempelajari sihir teleportasi. Di tambah lagi warna pada elemen api menunjukkan perbedaan yang di miliki setiap Ras.
Sihir api milih Roh berwarna putih, sihir api milik Iblis berwarna ungu kehitaman, mermaid tidak memiliki kemampuan untuk belajar sihir api, Peri memiliki sihir api berwarna biru kehijauan, sedangkan Dewa memiliki sihir api berwarna emas.
Dan api yang aku miliki ini bervariasi. Terkadang jingga seperti api biasa. Tapi terkadang hitam yang mana itu tidak sesuai dengan jenis api sihir ras manapun. Ini tidak menjawab keraguanku ataupun pikiranku yang kusut.
Ini adalah hari ke tiga aku belajar sihir Api. Ayah juga menyarankan agar aku tidak memberi tau sembarang orang tentang aku yang mampu melakukan sihir. Selain itu, aku tidak menemukan titik terang agar aku bisa mengendalikan api sihirku.
"Di sini kau rupanya. Aku pikir kamu sakit. Mengapa kamu tidak datang ke kelas? Ardan dan Xinfey tidak mengatakan apa-apa padaku." Mayra muncul dan menanyaiku.
Ia melihat buku yang ku baca. "Buku apa ini? Mengapa aku tidak bisa membaca tulisannya sama sekali?"
"Aku tidak tau... Aku sudah sangat lelah..." Aku baringkan kepalaku ke meja.
"Sebenarnya kamu kenapa? Jangan bilang kamu membolos ya Aris?"
Tidak lama setelahnya api kembali membakar diriku. Api itu membara dan membumbung tinggi, tapi tidak melukaiku atau siapapun. Seakan api itu mendesak agar aku mengendalikannya.
"Wah! Kamu berapi!"
"Aku belajar sihir pada akhir pekan kemarin. Aku mampu menguasai sihir teleportasi. Tapi api tiba-tiba datang kepadaku seperti ini, Ardan bilang mungkin atribut Api ingin aku mampu mengendalikan sihir Api. Tapi aku sama sekali tidak bisa mengendalikan sihir api! Aku benar-benar frustasi..." Aku berujar kesal.
"Ya ampun... Malangnya temanku ini... Kamu mau aku kenalkan kepada seseorang?" Entah mengapa kalimat yang di ucapkan Mayra membuat bulu kudukku berdiri.
"Tunggu hingga hari ke lima, jika aku masih tidak bisa mengendalikannya, kenalkan orang itu kepadaku." Aku berujar saat aku bangun sebentar.
"Hm... Oke, Princess juga mengenal orang itu, kamu bisa tanya Princess nanti ya." Kalimat Mayra terlalu misterius. Orang yang dia sebutkan itu tidak ku tau siapa dia, tapi setiap kali Mayra menyebutkannya aku merasa merinding tanpa sadar.
"Kamu sudah makan?" Mayra yang duduk di depanku bertanya saat ia melihat jam tangannya.
"Suhu tubuhku terlalu tinggi, sendok meleleh sebelum makanan sempat ku telan. Kalau memakan buah, buahnya hangus duluan sebelum aku memakannya." Aku benar-benar sedih... Belakangan ini aku hanya makan buah hangus dan minum es batu. Karna es batu akan meleleh begitu masuk mulutku.
Mayra tidak mengatakan apapun selain menghela nafas panjang di sertai gelengan kepala. Lalu dia menghilang. Ah, apa mungkin gadis itu kecewa?
Haaah... Aku muak dengan api. Mengapa pula si atribut Api ini ingin aku menguasai sihir api. Ahhh! Aku lapar...
"Nih."
Mayra tiba-tiba muncul untuk memberikan sepiring makanan. "Bukankah itu hal yang sia-sia..."
"Ini peralatan makan milik seorang Dewi Api. Dia temanku. Kau pikir sepanas apa tubuh Dewi api? Sudah makan saja, atau kau perlu aku suapi?" Mayra tampak seperti Ibu-ibu yang memarahi anaknya sebab anaknya tidak mau makan.
Aku segera menggeleng. Aku sudah dewasa, tak perlu lagi di suapi. Apalagi di suapi oleh seorang teman perempuan. "Terima kasih! Apa kamu yang memasaknya?"
Mayra mengangguk. Aku memberinya dua jempol sebagai pujian. Rasanya benar-benar enak! Ah! Istri idaman! "Dengan menelan masakanmu, aku jadi punya semangat untuk belajar!"
Hari itu aku belajar dengan semangat yang sama membaranya dengan apiku. Tapi hasilnya nihil, ini adalah hari ke lima. Seperti saran Mayra, aku meminta bantuan pada Princess. "Memangnya siapa orang itu?"
"Tentu saja aku." Suara yang sangat ku kenali meski aku hampir melupakannya. Itu adalah Maya!
Tentu, dia kan seorang Dewi. "Mengapa Mayra dan Princess bilang kamu mungkin bisa membantuku? Aku tak merasa kamu bisa membantuku."
"Ya ampun... Aku sedih karna kamu meragukanku sayang." Maya yang melayang-layang memegangi wajahku.
Aku menyingkirkan tangannya. "Kamu tidak terlihat mampu melakukan sihir itu."
"Aku memang tidak mampu, tapi aku yang menciptakan dunia ini, ingat?" Setelah Maya mengingatkan aku juga tiba-tiba teringat saat-saat aku datang ke dunia ini.
"Oke, kamu mungkin bisa membantuku. Tapi bagaimana caranya?" Aku bertanya sambil memijat dahiku.
"Kamu hanya harus mengikuti cara Iblis." Maya tersenyum lebar.
"Tapi warna apiku tidak serupa dengan milik Iblis."
Maya tersenyum. "Mungkin tidak sama, tapi teknik pernapasan Iblis cocok denganmu bukan? Ini menandakan semua sihir Iblis mungkin bisa kamu lakukan. Patokannya adalah Iblis."
"Memangnya aku Iblis?" Tanyaku.
Maya melayang-layang mengelilingiku saat dia berujar. "Tidak, aku bisa menjamin kamu bukan Iblis. Tapi kamu memiliki kecocokan seratus persen dengan Iblis. Bagaimana kalau kita mulai?"
Aku mengangguk. Mengikuti lagi apa yang tertulis di buku itu, aku kembali mempraktekkan sihir api. Tapi masih saja gagal. "Sudah ku duga. Sebenarnya sihir api adalah sihir yang sudah kamu bawa sejak kelahiranmu. Berbeda dengan mahluk Ras lain yang harus mendapat pengakuan dari atribut Api jika ingin mengendalikan sihir api."
"Lalu bagaimana aku bisa mengendalikannya?" Aku bertanya dengan semangat yang sisa setengah.
"Biar ku ingat dulu. Karakter Abang adalah karakter istimewa. Ah, itu dia. Biarkan aku membimbingmu, sayang." Maya tersenyum lebar.
Aku merasa jantungku berdebar sebab gugup. Maya berhenti melayang dan turun ke lantai. Ketukan hak sepatunya mengenai lantai dan menimbulkan irama tertentu. Aku di minta berdiri tegap. Lalu Maya memelukku dari belakang. Tangannya meraba-raba perut dan dadaku.
"Kamu ngapain? Niat membantuku tidak sih?!" Aku agak kesal.
"Jangan berpikiran negatif dong. Aku sedang mencari dimana letak inti energimu. Selain itu tubuhmu bagus juga untuk ukuran remaja enam belas tahun." Maya berujar santai.
"Berisik."
Lalu tangannya berhenti di dada kiriku. Itu tepat di posisi jantung. Aku jadi teringat saat itu, saat dimana dia menusuk jantungku dengan jemarinya. "Ka-kamu tidak akan menusuk jantungku lagi kan?"
Hanya tawa yang ku dengar dari belakangku. "Tidak kok. Oke, ikuti arahanku."
Aku mengangguk. "Rasakan asal dari energi itu. Jangan hanya membayangkan, tapi rasakan bagaimana dia bersirkulasi. Kumpulkan seluruh energi sihir api yang mengelilingi tubuhmu. Lalu pusatkan ke tanganmu. Ingat, rasakan di dalam dadamu."
Aku mengingat dan mencoba melakukan hal yang Maya katakan. Cara yang dia katakan lebih mudah di pahami di bandingkan cara di buku. Saat aku membuka mataku, api hitam berhasil terkumpul di genggaman tanganku.
"Oke, aku paham. Lalu bagaimana aku menghilangkannya?" Aku bingung karna mau aku gerakkan tanganku seperti apapun, tanganku tetap saja berapi.
"Bayangkan kalau apinya menghilang, lalu sebar partikel sihir yang terpusat itu."
"Wah! Aku berhasil!" Segala rasa Frustasiku selama lima hari belakangan terbayar dengan ini.
"Sayang, kamu senang terlalu awal. Api bukan satu-satunya atribut sihir yang kamu bawa bersama dengan kelahiranmu. Tapi jangan khawatir, selama kamu menggunakan cara yang ku ajari, kamu akan tetap aman." Maya tersenyum.
Aku menganggukkan kepalaku. "Terima kasih! Aku benar-benar tidak tau bagaimana harus membalasnya."
Saking terharunya aku berujar demikian. Tapi seringai Maya membuatku tidak nyaman. "Siapa bilang bantuanku gratis?"
Maya mendorongku ke belakang. Aku terduduk sebab dorongannya. Sebelum aku sempat bangun dari dudukku, Maya sudah memegang wajahku dan mencumbu bibirku. Sialnya tubuhku tidak bisa ku gerakkan. Tangan satunya dia gunakan untuk meraba perut hingga dadaku.
Sialan.
Aku seharusnya tau akan begini.
Maya melepaskanku saat aku hampir kehabisan nafas. Saat aku mendapat kendali atas tubuhku, aku menyeka bibiku dengan sedikit kasar. Lalu melirik Maya dengan tatapan kesal. "Hehehe..."
Hanya tawa mesum yang ku lihat di wajahnya. Saat dia ingin pergi, aku menarik tangannya. "Wah? Apakah kamu ingin lebih?"
Seringai mesum di perlihatkan lagi di wajah cantiknya. "Bukan. Aku ingin tanya. Kenapa apiku berwarna hitam dan terasa dingin?"
"Hm? Itu berhubungan dengan identitasmu. Dan aku tidak bisa mengatakannya hingga kamu mengetahui segalanya sendiri." Lalu dia menghilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments