Siren berlari. Ia masih sangat takut. Bukan karena kehadiran Violetta yang di awal perjumpaan sudah menyakiti wajahnya, ia lebih takut lagi dengan perawakan Aksa yang belum bisa ia lupakan.
Melihat wajah Aksa, melihat senyuman liciknya itu, mengingatkan bagaimana di malam dan di tempat yang asing itu Aksa menggaulinya. Bahkan masih terbesit bagaimana nyeri di hati tatkala tuntutan hukum pun tak bisa menusuk lelaki anak konglomerat itu. Di luar negeri pun lelaki itu dikebalkan oleh hukum. Beberapa kawan Siren yang melapor malah dituntut balik. Hingga pada akhirnya mereka terpaksa mencabit segala laporan mereka terhadap Aksa akan tabiat gilanya itu.
Sambil menangis Siren berlari. Ia ingin segera sampai di sebuah gudang yang selama ini sudah disulap oleh sang ibu agar menjadi tempat tinggal mereka. Yah, paska penghancuran rumah susun itu terjadi, Siren dan sang ibu pun memohon pada sang majikan agar dibiarkan tinggal di salah satu bangunan milik mereka. Bahkan mereka bersedia membersihkan sendiri ketika majikannya menyebut salah satu gudang milik mereka yang letaknya ada di belakang kandang burung beo kesayangan mereka.
"Bu!"
Dengan napas tersengal-sengal Siren menghampiri ibunya. Beruntung tak ada lagi air mata yang ia pertahankan di wajahnya kalau itu. Hingga sang ibu pun tak perlu merasa khawatir dengan kedatangannya.
"Ada apa, Nak?" tanya Bu Dewi kepada putrinya.
Dengan wajah resah yang tak bisa ia sembunyikan itu ia menatap mata ibunya. Ia meraih kedua tangan Bu Dewi dan seketika mengundang raut keheranan di wajah Bu Dewi.
"Bu, kita tidak bisa tinggal di sini, Bu!" tukasnya kemudian.
Bu Dewi seketika itu melepas genggaman putrinya. Ia menatap sang putri dengan tatapan dingin. Baginya, tidak ada lagi tempat setelah banyak kerabat yang menolaknya ketika ia meminta bantuan. Maka usul Siren pun sedikit terkesan sangat melukai benaknya. Benak wanita yang sedang putus asa dengan hidupnya.
"Kamu bisa menjamin kita tinggal di rumah yang layak jika keluar dari sini?" tanya sang ibu sinis.
Siren yang cemas kembali meraih kedua tangan ibunya. Kembali menggenggam tangan yang berusaha melepaskan diri dari dirinya.
"Siren janji akan kerja paruh waktu, Bu! Siren janji akan kerja sekeras mungkin setelah membantu pekerjaan ibu di rumah ini!" jawab Siren. "Ku mohon, Bu! Sekali saja dengarkan aku! Aku..."
"Permisi..."
Sayang perkataan Siren terhenti ketika suara berat mengisi gumam resah di antara mereka. Siren langsung bersembunyi di balik tubuh ibunya ketika melihat sosok Aksa berdiri di mulut pintu tempat singgah mereka.
Lelaki itu tersenyum ramah. Bersikap seolah ketakutan Siren bukanlah karena dirinya. Bersikap seolah ia tak pernah melakukan hal menjijikkan kepada anak pembantunya itu.
"Tuan Aksa! Ke-kenapa Tuan kemari? Di sini sangat kotor Tuan!"
Tentu Bu Dewi menyambut anak majikannya itu dengan sangat ramah. Bahkan ia mengabaikan Siren yang berusaha menahan dirinya. Ia mengabaikan Siren yang mencoba untuk menghalangi langkahnya untuk menghampiri anak majikannya itu.
"Gak papa kok, Bi! Aku ke sini hanya sekedar ingin menyapa Bibi!" ujar Aksa seraya masuk ke dalam ruangan yang ukurannya sama persis dengan bilik kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya.
Lelaki itu mengamati sekelilingnya. Mencoba menilai bagaimana pembantu dari kedua orang tuanya itu seketika menyulap gudang yang semula kumuh nampak lebih rapi. Lalu mengangguk-angguk, menyempurnakan penilaiannya setelah senyuman ia benamkan saat pemilik ruangan itu ikut memperhatikan sikapnya.
"Wah, aku tak menyangka jika gudang seburuk itu bisa menjadi tempat tinggal yang sangat rapi seperti ini." ujarnya kemudian. "Bibi sungguh hebat!"
"Ah, tidak seberapa Tuan. Saya malah sangat malu karena merasa tidak tahu diri meminta gudang ini sebagai tempat tinggal kami." respon Bu Dewi.
Siren masih terdiam di tempatnya ketika lelaki itu berdiri di sampingnya. Ia seketika gemetaran dan langsung menundukkan wajahnya ketika Aksa pun meliriknya.
"Aku juga sangat kagum dengan anak Bibi!" tukas Aksa sembari melirik ke arah Siren yang sudah menyembunyikan wajahnya.
"Ya Tuan?" respon Bu Dewi dengan rasa keingintahuannya.
"Aku dengar dari Papa jika anak gadismu ini sangatlah pintar dan layak mendapat beasiswa dari perusahaan kami!" tegas Aksa yang kemudian melepas senyumannya pada Bu Dewi.
Bu Dewi dengan wajah sumringah itu langsung merangkul putrinya. Ia merasa sangat bangga mendengar bagaimana Aksa yang juga terkenal sangat cerdik dan pandai berbisnis sejak usia 17 tahun itu memuji putri kesayangannya. Kebanggaannya itu pun membuatnya tak menyadari bagaimana wajah resah kian nampak pada Siren yang masih tertunduk karena belasan trauma yang ia ingat tentang perbuatan Aksa terhadapnya di Australia.
Aksa setengah membungkuk untuk menatap mata Siren. Membuat Siren terbeliak dan semakin ketakutan karenanya. Lalu dengan wajah yang sangat ramah, ia kembali menatap Bu Dewi yang masih sangat menyambutnya dengan sangat baik.
"Bibi, bisakah Bibi membelikan aku beberapa minuman di mini market dekat rumah?" ujarnya kemudian.
"Mi-minuman?" tanya Bu Dewi meyakinkan.
"Aku tahu jika ada bermacam minuman di kulkas, tapi tidak ada satu pun yang aku suka!" jelasnya.
"Ah, begitu. Kalau begitu, minuman apa yang bisa saya belikan untuk Tuan?"
"Ini, Bi!" Aksa menunjukkan contoh produk dalam ponselnya. "Jika tidak ada, ku mohon Bibi berusaha mencarinya di beberapa swalayan ternama di dekat sini!" imbuhnya.
"Baik, Tuan! Saya akan..."
"Biar saya saja Tuan!" potong Siren kemudian. Ia berpikir akan lebih baik jika ia yang pergi dari ruangan itu sebelum Aksa melancarkan aksi yang sudah bisa Siren terka.
Aksa tersenyum, lalu menggeleng kepala.
"Akan lebih canggung jika aku menunggu di sini dan berbincang dengan wanita yang seusia ibuku." jawab Aksa pelan. "Aku saja masih sangat kaku bicara dengan ibuku. Jadi, akan lebih baik jika aku berbicara denganmu yang nyata lebih muda dariku. Dan pastinya akan lebih menyenangkan! Bukankah begitu Bibi?!"
Melihat keadaan yang semakin runyam itu, Bu Dewi pun akhirnya menarik tangan Siren karena khawatir akan memancing kemarahan anak majikannya. Ia tak mau jika kemarahan itu membuat dirinya kehilangan satu-satunya tempat tinggal.
"Maafkan anak saya Tuan! Tuan benar, biar saya yang pergi!" ujar Bu Dewi yang seketika membuat kedua mata Siren yang berada di balik tubuh kerempengnya itu terbeliak.
"Terimakasih, Bi! Ini uangnya!" lalu Aksa memberikan beberapa lembar uang kepada pembantunya itu.
Secepat mungkin Bu Dewi menerima uang itu, lalu berlari keluar dari kediamannya. Kepergian Bu Dewi pun memancing kelicikan Aksa yang tertunda. Lelaki itu langsung menutup pintu rumah dan menatap Siren yang sudah memucat dengan senyuman lebar.
"Jika kau ingin mendapatkan beasiswa itu, maka kau harus melayani hasratku sampai akhirnya aku benar-benar mengurungmu dalam pernikahan, Nona Sirena..."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
dina marlina
semoga siren ada yang menolong dari si aksa
2023-09-22
1
Cha
siren kasian yh... butuh perlindungan tp gak bisa
2023-08-25
0
Cha
orang ber uang selalu kebal hukum😅
2023-08-25
0