STK 4

"Obat sakit kepala sama demam apa, Bu?" Sejak membaca pesan Rasya kemarin aku ikut-ikutan sakit kepala. Bukan demam juga, pusing saja bagaimana cara menolongnya.

"Ibuprofen." Ibu menghadap ke arahku yang sedang menunggunya di dekat kompor. "Kamu sakit kepala?" Keningku di raba untuk memastikan. "Kok nggak panas?" ujarnya keheranan, dan segera ku jelaskan.

"Bukan Ametha yang sakit, tapi .... " Bingung juga cara memberitahu Ibu. Karena semua orang yang membaca kisah ini juga sepertinya sama kebingungannya dengan diriku, yang masih bertanya sampai detik ini apa alasan Rasya mengeluh sakit ke padaku? Kenapa tidak ke ....

"Rasya yang sakit." Aku mengeluarkan ponsel, membaca lagi pesan yang dia kirim kemarin. Jahat juga aku tidak langsung membalas. "Dia demam katanya, sampai nggak bisa bangun dari tempat tidur." Ini semakin saja aku merasa menjadi orang jahat setelah membaca pesan yang baru dia kirim.

"Irasya anaknya tante Mae?" Ibu melepaskan perlengkapan memasaknya. "Kenapa dia ngasih tau kamu? Kan dia punya ibu." Wajah ibu tampak berkerut heran. Kepalanya menggeleng kecil beberapa kali. Percayalah, aku sama kagetnya dengan ibu, tapi aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengintrogasi pelakunya.

"Entahlah? Iya ibu kan tau semenjak kepergian tante Mae, dia seperti apa?" Informasi untuk kalian semua. Meskipun aku tidak pernah bertemu dengan Rasya selama 16 tahun, tapi beberapa informasi tentangnya cukup lengkap ku terima. Seperti ketika ayahnya menikah lagi, dan dia kabur dari rumah. Bukan punya informan khusus, hanya saja ... pewaris seperti dia itu memang rajin sekali dibicarakan oleh orang-orang sekampung.

"Aneh banget si dia. Emang dari mana kalian saling tau? Terakhir ketemu 16 apa 15 tahun lalu deh?" Pisang goreng buatan ibu tercium aroma nya. Baru ditiriskan dari penggorengan.

"Ketemu aja, nggak sengaja." Ibu tidak akan mengerti jika ku sebutkan sosial media. Wanita berwajah Arab itu hanya tahu cara menjawab telpon dan menelpon. Sisanya, maka akulah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

"Ya udah, suruh dia minum Ibuprofen deh sama Paracetamol kalo ada." Ibu itu bukan dokter atau perawat. Tapi karena seringnya aku keluar masuk rumah sakit, dia hafal betul jenis-jenis obat yang sering ku konsumsi jika sedang dalam mode tidak bisa diganggu. Sakit.

Mencomot satu pisang goreng, aku berjalan ke luar sambil mengetikkan balasan untuk Rasya. Kali ini ku balas via whatsapp agar lebih cepat. Kasihan juga dia jika lewat facebook, agak lambat karena aku tidak punya aplikasi messenger.

"Punya Ibuprofen sama Paracetamol nggak?"

Aku duduk di teras rumah sambil menikmati legitnya rasa pisang yang telah dibungkus dengan tepung buatan ibu. Sore begini apalagi yang lebih nikmat selain pisang goreng dan kopi hitam?

"Siapa?"

Ah iya, aku lupa memberitahunya nomor whatsapp ku.

"96"

"?"

"Ametha, kelahiran 96. Ih!"

"Ametha aja cukup."

Ini dia masih sakit apa udah nggak si? Sempat-sempatnya untuk berdebat.

"Masih sakit nggak?"

"Masih, aku nggak bisa bangun dari tempat tidur. Belum makan juga."

"Terus gimana? Emang lagi sama siapa?"

Bocah ini paling bisa membuat jantungku seperti kehilangan detaknya.

"Sendiri. Di kos. Temen pada pulang kampung."

Nah ini yang salah informasi siapa si? Bukannya dia di rumah ya kemarin? Kenapa Winda dan Handa ceritanya berbeda?

"Sebenarnya lagi di mana?"

"Yogya."

"Bukannya pulang?"

"Iya aku pulang. Ini rumahku."

Bukan. Bukan itu. Entah seperti apa aku membahasakannya? Bagaimana mungkin seorang perjaka menganggap tempat rantauan menjadi tanah kelahiran?

"Maksudku Jakarta."

"Itu bukan rumahku."

Sedikit kaget, entah kenapa aku merasa dia sedang tidak baik-baik saja. Bukan hanya fisik tapi psikis. Iya aku mengerti, tidak ada seorang anak yang akan rela posisi ibu kandungnya digantikan oleh siapapun. Hanya saja, mengingat kejadian yang cukup lama itu, apakah dia masih tidak bisa terima sampai sekarang?

Kini aku hanya memandangi tulisan pesan darinya, tanpa tahu harus membalas apa? Pasalnya ini terlalu sensitif, dan aku bukanlah manusia yang pandai mengalihkan pembicaraan. Jadi ini bagaimana?

"Temenin ya?"

Pesan masuk itu berhasil membuatku berhenti mengunyah. Kemudian mengelap tangan dengan ujung baju.

Temenin gimana si maksudnya nih bocah?

Umurku sudah bukan remaja lagi yang mudah terkena sindrom bernama geer, tapi ini kenapa malah aku merasa semua wajah memerah si? Sesuatu di dalam dada itu juga, tiba-tiba seperti ada yang terbang, berputar, menari dan entah apalagi? Tergelitik saja.

"Maksudnya?"

"Temenin aku sampe tidur, biar pusingnya agak reda."

Bisakah ku bilang jika sekarang otakku tiba-tiba melambat? Seperti seseorang yang terserang dehidrasi, butuh ion lebih banyak untuk menjadi normal kembali.

"Bisa."

Hanya itu yang bisa ku katakan. Sebenarnya tidak mengerti juga menemaninya dengan cara seperti apa? Jika berbalas pesan ini diteruskan, jelas dia tidak bisa istirahat dengan baik.

"Irasya?" Ibu duduk dengan pisang goreng dan jahitannya. Ku Jawab dengan anggukan kecil. Membaca tulisan mengetik pada percakapan kami. "Kok bisa ya dia nemuin kamu setelah sekian tahun?"

"Metha yang nemuin," jawabku. Mengernyit membaca pesan yang baru saja ia kirim.

"Intinya kalian saling menemukan. Ya kan?" Iya, entah bagaimana ceritanya juga kami dipertemukan kembali setelah 16 tahun lalu? Meski jika memakai logika manusia, hal itu kecil sekali kemungkinannya. Entah, apakah Tuhan sudah bosan melihatku seperti anak kecil kehilangan mainannya? Tak kenal waktu untuk mencari. Parahnya lagi, aku tidak mau diberikan ganti.

"Kebetulan, Bu." Itu yang paling masuk akal. Meski pernah dengar juga jika tidak ada kebetulan di dunia ini. Tapi menyebut pertemuanku dengan bocah bergigi hitam itu sebagai takdir setelah sekian tahun, juga sepertinya terlalu berlebihan.

"Garis takdir, kalian memiliki garis takdir yang sama mungkin? Ingat, daun yang jatuh dari pohon saja sudah ada tulisannya di lauhul mahfuz. Apalagi tentang pertemuan dua orang yang telah lama terpisah. Jika bukan takdir, berarti jodoh."

Kalimat terakhir itu berhasil membuat nafsu makanku hilang. Berhasil membuat rasa legit pisang goreng ibu jadi hambar tanpa rasa. Hanya terasa tepungnya saja yang tidak matang sempurna. Bagaimana mungkin ibu tega berbicara seperti itu terhadap anaknya, yang tengah berusaha move on ini? Ayit tidak mesti diganti oleh Rasya kan? Masa iya, sepatu kotor langsung diganti sepatu yang lain? Lalu apa gunanya jeda kalau tidak untuk menunggu semuanya akan membaik seperti sedia kala?

"Jodoh dan takdir sama kali, Bu. Kalau orang berjodoh ya itu berarti takdir."

"Kalau begitu ibu do'akan jodoh. Amiin."

"Ametha akan minta pada Tuhan supaya malaikat hari ini pada libur jadi tidak ada yang mencatat do'a ibu."

"Do'a seorang ibu langsung sampai pada Tuhan, jadi tidak perlu malaikat untuk mencatat." Beginilah kalau berani debat dengan mahluk yang surga saja Tuhan titipkan di kakinya itu. Tak akan pernah menang.

"Aku nggak akan bilang amin," seruku memilih untuk masuk kamar.

Tidak akan secepat itu hati manusia bisa menerima hati yang lain, setelah bertahun-tahun lamanya memelihara sebuah hati yang pernah ia pilih. Selain percuma, itu hanya akan membawa petaka. Pasalnya, hati kerap kali tak bisa diajak berbohong, ia kerap kali menjadi mudah terluka ketika dipaksakan menerima sesuatu yang terasa asing. Jadi sakitnya akan terus terasa.

Ayit itu sudah ku jadikan tujuan. Jadi langkahku hanya akan terus menujunya. Sampai di sini jelas?

BERSAMBUNG....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!