Bukan Aku, tapi Dia

#Kesalahan sekali dapat menghapus jutaan kebaikan, karena kertas putih lebih mudah ternoda...

Dengan tergesa-gesa Si Pengendara motor melepas jaket kulit dan helmnya, diletakkannya di atas motor lalu bergegas melempar kunci kepada seorang sopir yang menaiki mobil S*ort.

"Amankan motor dan helm, jangan sampai ada orang yang menemukannya. Jika sampai ada yang menemukan maka nyawa taruhannya." Bisik Si Pengendara motor kepada sopir itu.

"Baik Tuan Muda." jawab sopir itu patuh. Namun baru saja Dia akan mengendarai motornya tiba-tiba HPnya berdering dan ketika tangannya membuka layar tertera nama Nyonya Bos, tentu saja memaksa sopir itu untuk mengangkat telpon sambil mengambil posisi duduk di atas jok motor.

"Pak Hamid, mana Devan, cepat suruh Dia mengangkat panggilan Mamahnya, atau berikan HP Pak Hamid padanya, cepat!" suara dari Nyonya Besar dari ujung sana membuat sopir itu tambah panik, lalu dihirup udara di sekitarnya untuk membantu menenangkan fikirannya.

"Nyonya Bos, maaf ini ada sedikit masalah, tapi tenang pokoknya hari ini Saya jamin Tuan Muda pulang ke istana. Kalau sampai janji Saya tidak bisa ditepati Nyonya Bos boleh menghukum Saya. Maaf Nyonya Bos, Saya harus segera melanjutkan pengejaran " kata Pak sopir dengan nada setenang mungkin dan sambil membayangkan kira-kira hukuman apa yang akan diterimanya jika Tuan Mudanya tidak mau pulang. Lalu Pak Hamid, sopir keluarga Devan ini melajukan motor menuju tempat yang sekiranya tidak bisa ditemukan oleh siapa pun.

Di sepanjang jalan Dia berfikir sekiranya tempat yang aman untuk menyimpan motor Tuan mudanya. Lalu muncul ide diotaknya dengan kecepatan penuh Dia menuju rumah ibunya yang letaknya di pinggiran kota dan tinggal di dekat pembuangan sampah. Setelah dekat dengan rumah ibunya yang lebih layak disebut gubuk, Pak Hamid mematikan mesin motor, kendaraan Roda dua itu didorong dengan cepat lalu menyimpan motor, jaket, dan helm Tuan Mudanya di bagian dapur rumah ibunya.

Ditemuinya ibunya yang sedang memberi makan ayam piaraannya di belakang rumah, diciumnya punggung tangan ringkih itu, lalu Pak Hamid mengeluarkan uang pecahan seratus ribu dan mengepalkan pada tangan Ibunya sambil berbisik "Doakan keselamatan untuk putramu ini Ibu"

Ibunya mengusap kepala anaknya dengan lembut sebagai jawaban atas permohonan putranya itu. Dia sangat faham pekerjaan anaknya tidak mudah, anaknya tidak sekedar menjadi sopir di istana megah itu, tetapi menjadi orang kepercayaan Nyonya Bos. Ini sudah menjadi resiko yang diterima dirinya dan anaknya ketika dari awal Dia telah menyerahkan anaknya untuk bekerja di istana itu setelah Dia ingin pansiun setelah mengabdikan dirinya selama 17 tahun merawat dan mengasuh putra mahkota istana itu. Dia menolak untuk tetap tinggal di istana itu, Dia ingin menjalani kehidupan sederhana jauh dari gelimang harta yang membuat hidupnya penuh tekanan. Dia pun menolak ketika putranya mengajak ikut dengan keluarganya menempati paviliun yang disediakan majikannya itu. Dia ingin kembali ke masa-masa sederhana sambil mengenang kehidupannya dengan suaminya dua puluh tahun yang lalu, mengais sampah menjadikan rupiah untuk menopang ekonominya yang serba kekurangan namun tetap disyukuri karena baginya keluarga adalah kekayaannya.

Hamid memeluk Ibunya dan mencium telapak tangan ibunya berulang kali. "Hamid nitip motor Tuan Muda, Ibu lebih tahu apa yang harus dilakukan jika ada yang akan mengambil motor itu. Tolong jaket dan helm ini bakar saja Bu." Pinta Hamid kepada Ibunya. Ibu menerima jaket dan helm dari tangan putranya, Dia pun faham dengan apa yang diminta putranya, karena jika terdesak, tidak hanya jaket dan helm yang harus dimusnahkan, motor majikannya pun harus dimusnahkan yang akibatnya akan membakar gubuknya juga. Resiko ini sudah dari awal siap Ibu hadapi karena keselamatan anak adalah hal terpenting dalam hidupnya saat ini.

Mengemban amanat dari suaminya merupakan tugas yang berat untuk Ibu. Ibu pernah berniat untuk pergi dari istana itu, tapi semuanya sia-sia karena keluarga itu punya cara yang elegan untuk mempertahankan mereka.

Hamid kecil dijadikan teman bermain Tuan muda istana itu, segala kebutuhan Hamid dipenuhi, bahkan apa yang dimiliki Tuan Muda, Hamid pun memilikinya, bahkan kasih sayang dari Papa dan Mama memenjarakan Hamid di istana itu.

Ketika menjelang dewasa, Hamid sudah menampakkan jiwa pengabdian yang tidak jauh dari Bapaknya, ini sempat membuat Ibu sangat takut, Ibu takut nasib malang Bapak menimpa pada anak laki-lakinya juga. Ibu sangat khawatir setiap kali Hamid pergi bersama Devan, yang sesungguhnya lebih tepatnya mengawal dan melindungi tuannya, walau Ibu tahu kemampuan bertanding di ring, Devan lebih jago, tapi tekad dan kesetiaan Hamid tidak ada tandingannya.

"Ibu, ada hal penting yang akan Kami sampaikan kepada Ibu." tutur Nyonya dari istana itu. nyonya dari rumah megah yang tak layak di sebut rumah.

"Iya, Nyonya, ada apa, mohon maaf jika Hamid melakukan kesalahan, mohon ampuni Dia." Ibu sangat cemas memenuhi panggilan Nyonya, Ibu khawatir ada sesuatu yang terjadi pada anak semata wayangnya.

"Ibu tidak usah khawatir, Hamid sudah kami anggap sebagai anak kami." ujar Tuan

"Terima kasih yang tidak terhingga atas kasih sayang yang Tuan berikan kepada anakku, Saya menyerahkan segala hal yang berhubungan dengan Anakku selama Kami masih dibutuhkan di keluarga ini." ucap Ibu.

"Begini, Hamid sudah besar, dan Kami punya rencana untuk menjodohkan Hamid dengan keluarga Handoko. Ini kami lakukan sejak awal agar Hamid belum punya kekasih. Perjodohan ini tentunya diharapkan menjadi jalan kerja sama keluarga kita dengan keluarga Handoko, dan harapan terbesar kami adalah dengan bersatunya dua perusahaan besar ini akan menguntungkan kedua pihak untuk menguasai bisnis yang kita jalankan." ujar Nyonya.

"Untuk masalah ini, Ibu setuju saja, Ibu yakin Tuan dan Nyonya lebih tahu yang terbaik untuk Kami." ujar Ibu sambil tertunduk pasrah.

"Baiklah, kalau Ibu sudah setuju, biar Kami yang menyampaikan ini kepada Hamid." ujar Nyonya.

Ibu hanya bisa pasrah, toh menolak pun tidak mampu. Ibu permisi untuk beristirahat di kamarnya. Sebuah kamar pembantu tapi lebih mirip dengan kamar hotel bintang lima.

Sejak Ibu memilih tinggal sendiri, sebuah syarat yang diajukan ketika Hamid benar-benar harus menjadi keluarga Tuan dan Nyonya, anggota keluarga yang sesungguhnya. Ibu beralasan sudah tenang melihat Hamid hidup di tempat yang seharusnya, dan Ibu tidak mau menjadi beban bagi Hamid dalam meraih kebahagiaannya di dalam keluarga kecilnya.

Tubuh ringkihnya berbaring di dipan beralas kasur tipis dengan kain sprei bermotif bunga yang sudah pudar warnanya. Tapi di sinilah Ibu menemukan kedamaian, jauh dari telunjuk yang kapan saja teracung, jauh dari masalah yang bertubi-tubi muncul tiada henti.

Terpopuler

Comments

Ara Mae Alisoso Engbino

Ara Mae Alisoso Engbino

Bener-bener jleb!

2023-08-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!